Senin, Desember 15, 2008

Mengalahkan Thailand Bukan Beban

MINGGU pagi kemarin, saya diundang hadir di acara Apa Kabar Indonesia (Akhir Pekan) yang ditayangkan stasiun televisi tvOne. Setelah malam sebelumnya tampil dalam siaran langsung Liga Primer, menghadiri acara sepagi ini jelas cukup “menyiksa” mata saya. Tapi, setelah syutingnya berjalan, rasa kantuk itu perlahan hilang dan berganti semangat yang menyala-nyala.

Bagaimana tidak, yang jadi topik adalah laga semifinal pertama Piala AFF di Stadion Utama Gelora Bung Karno, besok malam. Tim nasional Indonesia bakal menjamu musuh bebuyutannya, Thailand, pada leg pertama. Sebelum melakoni laga tandang di Phuket, empat hari kemudian.

Tak dinyana, obrolan yang seperti “preview” pertandingan itu ternyata jadi ajang unjuk optimisme yang menggebu-gebu. Mantan pemain seperti Yeyen Tumena, Venard Hutabarat, hingga para suporter tim nasional semua mengumbar keyakinan bahwa kita bakal mampu menggilas Thailand. Kalau tidak 2-0, minimal 2-1!

Terbawa oleh suasana, saya pun memupuk keyakinan serupa dengan rekan-rekan saya ini. Saya bilang, untuk laga pertama di Jakarta, kita harus yakin bisa menang. Tinggal memikirkan bagaimana caranya menghadapi laga berikutnya di Bangkok.

Moga-moga saja, keyakinan kami semua tidak menjadi beban bagi Charis Yulianto dan kawan-kawan saat memasuki lapangan nanti. Sebab, konon, salah satu “penyakit” pemain kita, semakin diyakini menang justru makin kehilangan kepercayaan diri dan permainan terbaiknya.

Di Senayan, besok malam, saya ingin melihat Charis dan kawan-kawan main lepas seperti saat duel pertama penyisihan Grup A lawan Myanmar, 5 Desember lalu. Bagi saya, itulah penampilan terbaik kita sejauh ini di Piala AFF 2008.

Yang menarik, para pemain kita bisa tampil bagus justru karena beban mental yang lebih ringan. Dua kali kekalahan di ajang “pemanasan” Grand Royal Challenge Cup membuat “Tim Merah Putih” tampil lebih rileks meladeni Myanmar. Hasilnya, mereka menang 3-0 dengan permainan yang meyakinkan.

Pada laga berikutnya, saat semua pihak yakin kita bakal “melumat” Kamboja, pertandingan justru jadi lebih sulit. Kita hanya bisa mencetak satu gol pada babak pertama sebelum menambah tiga lagi pada paruh kedua. Itu pun lebih banyak karena permainan dan kematangan individual para penyerang kita.

Puncaknya adalah perebutan posisi teratas Grup A. Keyakinan dan harapan publik yang sangat menggebu membuat tim asuhan Benny Dollo malah gugup dan akhirnya menyerah 0-2. Menariknya, dua gol Singapura masing-masing dicetak pada awal babak pertama dan kedua saat pemain kita seperti masih sibuk merapatkan barisan.

Saya pun jadi “menyesali” harapan saya yang terlalu menggebu-gebu menjelang laga semifinal ini. Terbayang betapa beratnya beban mental yang kini disandang Firman Utina dan kawan-kawan menghadapi permainan cepat Teerasil Dangda dan kawan-kawan.

Kalau begitu, mungkin sebaiknya saya kembali saja ke “semangat” Piala Asia 2007. Saat itu, saya tak mengharapkan kemenangan dari tim nasional kita. Bukan meremehkan, melainkan karena saya menyadari benar posisi kita di peta persepakbolaan Asia.

Saat itu, saya hanya berharap mereka main penuh semangat, berjuang sampai menit terakhir, sehingga –apapun hasilnya— tidak bikin malu bangsa Indonesia. Hasilnya, mereka tampil dengan permainan terbaik yang pernah kita lihat dalam satu dekade terakhir.

Hanya saja, tak seperti Piala Asia, di ajang sekelas Piala AFF hasil akhir tentunya juga penting. Karena inilah barometer paling pas untuk memetakan posisi kita di tingkat regional. Jadi, apa boleh buat, “terpaksalah” kali ini saya pun menuntut para pemain kita untuk tampil gigih sekaligus menang! Tolong, jangan anggap ini sebagai beban….
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 15 Desember 2008)

Selasa, Desember 02, 2008

Menunggu Hasil “Renungan” Nurdin Selama 14 Bulan di Salemba

MESTINYA, ini menjadi “kabar gembira” bagi seluruh insan sepak bola Indonesia. Hore, PSSI kembali memiliki ketua umum dalam arti yang sebenarnya setelah Nurdin Halid dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (27/11) lalu.

Praktis, selama 14 bulan terakhir ini, sepak bola Indonesia seperti kehilangan muka di pentas pergaulan dunia. Betapa tidak, Nurdin yang jadi orang nomor satu di PSSI malah meringkuk di balik terali besi akibat kasus penyelewengan subsidi minyak goreng.

Pada 17 September 2007, Mahkamah Agung memvonis Nurdin dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dinyatakan bersalah dalam pendistribusian minyak goreng Bulog senilai Rp 169,7 miliar saat menjabat sebagai Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia.

Sepanjang masa itu pula, sepak bola Indonesia seperti perahu yang berlayar mengarungi badai. Guncangan dan hantaman ombak silih berganti. Konflik dan polemik tiada henti. Sampai-sampai Menegpora Adhyaksa Dault meminta Nurdin secara ksatria mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI demi kemajuan sepak bola nasional.

Permintaan Adhyaksa kala itu dilontarkan seiring datangnya tekanan dari FIFA terhadap legitimasi kepemimpinan Nurdin. FIFA juga menyoal sejumlah pasal dalam statuta PSSI yang tidak memenuhi Standar Statuta FIFA. Makanya, isu Munaslub sempat menggelinding kencang.

Hebatnya, Nurdin sama tak terusik oleh semua itu. ”Tidak ada munaslub dalam waktu dekat. Komposisi pengurus atau apa pun tidak perlu diubah, kecuali pada Munas 2011. Semuanya tetap berjalan sampai akhir periode,” kata Nurdin menanggapi semua itu (Kompas.com, 27/2/2008).

Dan, sejauh itu pula, Nurdin sanggup membuktikan pernyataannya itu. Tak ada Munaslub, tak ada perubahan komposisi anggota Komite Eksekutif, apalagi pergantian Ketua Umum PSSI!

Kiranya, dengan jujur kita harus mengakui bahwa Nurdin memang sosok yang “luar biasa”. Kesanggupannya mempertahankan jabatan ketua umum dari balik terali besi saja sudah menggambarkan keuletan dan daya cengkeramnya terhadap seluruh jajaran pengurus PSSI di pusat maupun daerah.

Dengan segala keluarbiasaannya itu, saya berharap pengalaman 14 bulan di Rutan Salemba “melewati malam-malam sunyi dan sendiri” memberi Nurdin waktu yang cukup untuk merenung. Ya, merenungkan kembali banyak hal tentang dirinya, keluarga, usaha, karier politik, serta –tentu saja— posisinya di PSSI.

Isyarat awal yang positif sudah dikemukakan Kadir Halid, adik kandung Nurdin. Menurut Kadir, kakaknya tak mau lagi masuk dalam wilayah politik praktis apalagi menjadi anggota DPR.

Jika benar demikian, itu sudah awal yang sangat baik. Selanjutnya, saya berharap Nurdin juga tergerak hatinya untuk tak mau lagi masuk dalam wilayah sepak bola praktis, apalagi menjadi Ketua Umum PSSI. Fokus hanya mengurusi bisnis dan keluarga mungkin akan jauh lebih bermakna bagi dirinya.

Tekad itu, semoga saja, datang dari hati nuraninya yang terdalam –bukan karena tekanan FIFA maupun Menegpora. Sehingga proses penyempurnaan statuta dan kemudian disusul pergantian ketua umum PSSI bisa berjalan lancar, terhormat, dan diakui legitimasinya.

Kita tunggu saja bagaimana hasil perenungan “Puang” selama menjalani hari-hari yang panjang di Salemba. Yang pasti, kita tentunya berharap itu semua membawa kebaikan bagi persepak bolaan nasional. *

Senin, Desember 01, 2008

Ironi Rasionalisasi Gaji Pemain

SALEH Ismail Mukadar akhirnya bertemu Bejo Sugiantoro dan kawan-kawan. Setelah sekian lama, Ketua Umum Persebaya Surabaya itu akhirnya “menemukan” waktu luang yang tepat untuk bertemu para pemainnya sendiri, Jumat (28/11) lalu. Itulah pertemuan yang sudah lama dinantikan para pelatih dan pemain “Tim Bajul Ijo”. Bahkan sempat diwarnai aksi gebrak meja oleh pelatih Freddy Mulli yang kehilangan kesabaran menghadapi persoalan internal timnya.

Sedikit aneh tapi nyata, memang. Tapi begitulah adanya. Keinginan para pemain dan pelatih Persebaya untuk bertemu langsung dengan ketua umumnya sendiri begitu sulit diwujudkan. Bahkan ada kesan para pengurus teras klub asal ibukota Jawa Timur itu ramai-ramai menghindar.

Tapi sikap Saleh dan pengurus Persebaya bisa dimengerti. Memang sulit harus bertemu pemain dan pelatih manakala gaji mereka belum terbayarkan. Lebih sulit lagi karena manajemen tim berseragam hijau-hijau itu harus menjelaskan pula alasan mereka merasionalisasi gaji pemain.

Ya, Persebaya memang menjadi tim kesekian yang menerapkan kebijakan rasionalisasi gaji. Inilah langkah tidak populer yang sedang menjadi “tren” di kalangan klub-klub Liga Indonesia –ISL maupun Divisi Utama— dan pada awalnya diterapkan di Persik Kediri.

Tidak hanya Persebaya dan Persik yang mencanangkan rasionalisasi gaji pemain. Kebijakan serupa juga sudah dijalankan tim-tim lain, seperti PSS Sleman dan PSM Makassar. Bahkan, tak mustahil, Persitara atau tim mapan seperti Persib Bandung pun pada akhirnya mengikuti. Apalagi Badan Liga Sepak Bola Indonesia sudah “merestui” dan menganjurkan langkah ini.

Bukan berarti tim-tim lain yang tak menerapkan rasionalisasi lebih baik kondisinya. Pemain Persibom, contohnya, sudah dua bulan ini gajinya selalu terlambat. “Tim Macan Kemayoran” Persija juga baru bisa melunasi uang panjar dan tunggakan tiga bulan gaji pemainnya pada awal pekan lalu.

Yang agak ekstrem Persikota. Ketua Umum Wahidin Halim bahkan menegaskan bahwa isu pembubaran timnya bukan sekadar wacana, melainkan sudah dipikirkan secara matang. Sebab kebutuhan tim per musim mencapai Rp 12 miliar, sedangkan pendapatan dari sponsor hanya Rp 1,2 miliar. Suntikan dana dari APBD sulit diharapkan karena terganjal Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Begitu pelik, memang, problematika finansial yang dihadapi klub-klub kita. Sebab, jujur saja, saat ini tak ada klub yang bisa menghidupi dirinya secara profesional. Dalam arti, seluruh pengeluarannya bisa dibiayai oleh dana yang masuk hasil pencarian sponsor, penjualan tiket masuk, jual-beli pemain, dan usaha-usaha lain yang sah.

Bagi klub seperti Arema Malang atau PKT Bontang, pembiayaan klub bisa dimasukkan dalam pos anggaran promosi atau biaya sosial yang setiap tahun memang dikeluarkan oleh perusahaan sponsornya. Tapi tidak demikian bagi tim semacam Persik atau Persebaya. Dana APBD masih menjadi “dewa penolong” bagi tim-tim seperti ini.

Maka, ketika keran APBD tersumbat, kucuran gaji dan pembayaran kontrak pemain pun ikut terhambat. Dan ketika kepastian tentang perolehan dana APBD tak kunjung datang, konsekuensinya ya rasionalisasi gaji atau bubar!

Inilah realitas buram sepak bola Indonesia. Dengan bangga kita bisa mengirimkan Sriwijaya FC (SFC) sebagai satu-satunya wakil ASEAN di babak utama Liga Champions Asia 2009. Tampilnya SFC adalah refleksi pengakuan AFC terhadap “kualitas” kompetisi kita –peringkat kedelapan menurut penilaian mereka.

Namun, di sisi lain, kemegahan kompetisi kita sesungguhnya dibangun di atas fondasi yang rapuh. Bahkan untuk sekadar mengarungi satu musim kompetisi, sebagian besar klub tak punya “business plan” yang matang. Sehingga, ketika berhadapan dengan krisis, mereka akhirnya harus berlindung di balik kebijakan semacam rasionalisasi gaji atau pembubaran tim yang sesungguhnya menggambarkan ketidak profesionalan mereka. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 1 Desember 2008)

Senin, November 24, 2008

Kasus Gallas, Ujian Kepemimpinan Wenger

LIGA Primer pekan ini memberi satu pelajaran menarik tentang kepemimpinan dalam manajemen tim. Lebih spesifik lagi, tentang pergulatan menghadapi krisis kepemimpinan di tim sepak bola profesional sekelas Arsenal.

Krisis di Arsenal itu “dipicu” kebiasaan buruk kapten kesebelasan William Gallas bicara terlalu blak-blakan. Tanpa sungkan, ia kerap melontarkan kritik terbuka kepada para juniornya, seperti Theo Walcott, Cesc Fabregas, Nicklas Bendtner, dan belakangan Samir Nasri.

Tanpa tedeng aling-aling, ia juga mencemooh mental dan semangat bertanding rekan-rekannya usai kalah 0-2 dari Aston Villa. Gallas menuding para koleganya kurang berani bertarung di lapangan, khususnya saat menghadapi tim-tim yang secara kualitas sebenarnya di bawah Arsenal. “Kami harus lebih bersikap sebagai pejuang. Hanya dengan cara itulah tim ini bisa bekerja dan menunjukkan karakter serta pengalamannya,” Gallas menyindir.

Di sisi lain, Gallas mengungkapkan pula bahwa sebagian bintang muda Arsenal dinilainya mulai bersikap jemawa. Mereka kurang menghormati posisi dirinya sebagai kapten, bahkan tak menunjukkan respek yang cukup terhadap para pemain senior lainnya.

Puncak kebablasan Gallas ditunjukkan dengan keberaniannya menunjuk hidung pemain yang disebutnya “kurang ajar” kepada dirinya saat jeda laga melawan Tottenham Hotspur. Meski tak menyebut nama, ia memberi isyarat jelas bahwa usia pemain tersebut lima tahun lebih muda ketimbang dirinya. Hanya ada tiga nama dalam kategori itu: Robin van Persie, Bacary Sagna, dan Emmanuel Eboue.

“Tim Gudang Peluru” itu pun “kebakaran jenggot”. Pelatih Arsene Wenger murka, para bintang Arsenal tempo dulu kecewa, dan publik Emirates pun meradang. Dengan berat hati, Wenger harus mencoret nama Gallas dari tim yang dibawanya melawat ke kandang Manchester City.

Sampai di situ, fungsi kepemimpinan masih berjalan sempurna. Wenger tetap mengendalikan tim dengan baik dan “The Gunners” masih berjalan di relnya. Sampai kemudian pukulan telak datang ketika Arsenal tanpa Gallas digilas habis 0-3 oleh Manchester City.

Pada titik inilah problematika kepemimpinan mulai muncul. Keputusan Wenger “memecat” Gallas –meskipun mungkin hanya sementara— memang mampu mengakomodasi harapan para pengikutnya, yakni pemain lain dan publik Emirates. Itulah aplikasi teori (salah satu) sifat kepemimpinan menurut Keith Davis.

Masalahnya kemudian, kebijakan yang akomodatif tak selalu efektif. Seperti tampak dalam kasus Gallas ini. Tanpa bek tangguh asal Prancis itu, lini pertahanan Arsenal jadi rapuh, kurang koordinasi, bahkan jadi titik lemah sistem permainan tim secara keseluruhan.

Di sinilah Wenger menghadapi ujian berat sebagai pemimpin pasukan dari London utara itu. Sebab, lagi-lagi menurut Davis, pemimpin yang baik juga harus bisa menunjukkan satu sifat penting lainnya untuk mencapai keberhasilan. Tak sekadar mengikuti, ia juga harus memiliki kecerdasan lebih dibanding pengikutnya.

Syukurlah, Wenger memiliki sifat-sifat tersebut. Setelah dikalahkan City, ia langsung menyatakan bahwa Gallas masih punya masa depan di Arsenal. Syaratnya, kata Wenger, ia harus berani meminta maaf kepada rekan-rekan setimnya.

Itu keputusan yang sangat cerdas dari pelatih yang memang punya julukan “Profesor” itu. Di satu sisi, Wenger bisa mempertahankan Gallas yang sejujurnya masih sangat dibutuhkan timnya. Di sisi lain, ia juga tak kehilangan muka di mata pemain lain.

Secara tak langsung, Wenger juga memberi pembelajaran yang sangat baik kepada Gallas soal kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin bisa saja membuat kesalahan kecil, namun ia tak perlu “dipancung” karena kesalahan semacam itu. Cukup dengan menyadari kesalahannya sehingga ia bisa menjadi pemimpin yang lebih baik. Kapten Gallas yang jadi lebih bijak dan dewasa jauh lebih menguntungkan Arsenal ketimbang harus kehilangan dia sama sekali. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 24 November 2008)

Selasa, November 18, 2008

Bilardo, Maradona, dan Filosofinya

ADA satu cerita menarik ketika Carlos Bilardo memulai tugasnya sebagai pelatih tim nasional Argentina pada Januari 1983. Anda tahu, apa kegiatan pertama yang dilakukannya saat itu? Ya, benar: menemui Maradona!

Bilardo langsung memesan tiket penerbangan pertama ke Spanyol. Ia kemudian bergegas menuju markas Barcelona, klub tempat Maradona bernaung kala itu.

Tanpa sungkan, Bilardo menyatakan kepada Maradona bahwa ia membutuhkan tenaganya. Ia juga meminta kesediaan Maradona menjadi kapten tim “Argentina baru” yang hendak dia bangun.

Padahal, saat itu, karier Maradona agak terseok-seok di Barcelona. Salah satunya karena problem penyakit hepatitis yang sempat menyerangnya. Belum lagi permainan kasar yang dikembangkan para pemain belakang Spanyol membuatnya berkali-kali cedera.

Pengalaman tampil di Piala Dunia 1982 juga ikut mempengaruhi. Piala Dunia pertama bagi “El Pibe de Oro” itu berakhir cukup tragis. Argentina langsung tersingkir di penyisihan grup dan Maradona diusir wasit karena menendang pemain Brasil, Batista.

Toh, semua itu tak mengubah keyakinan Bilardo terhadap Maradona. Nalurinya mengantarkan dirinya kepada keyakinan yang teguh bahwa Madarona adalah sumber kekuatan yang dia butuhkan untuk membangun kembali “Tim Tango”.

Kepercayaan yang luar biasa itulah yang membuat Maradona terharu. Dengan serta-merta, ia menyambut uluran tangan Bilardo dan mengikrarkan pengabdian sepenuh hati. Dan kisah selebihnya, tinggal sejarah yang sudah kita ketahui bersama.

Satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah Bilardo dan Maradona ini adalah pentingnya kepercayaan. Sebuah sukses besar ternyata bisa dimulai dengan modal utama kepercayaan seorang pelatih terhadap pemainnya.

Kepercayaan itulah yang membuat Maradona selalu tampil habis-habisan –bahkan “gila-gilaan”— untuk Argentina. Sebuah kombinasi yang hampir sempurna antara kemauan, kelicikan, kejeniusan, sekaligus kerja keras.

Saya masih ingat betul bagaimana Maradona menjelaskan filosofi bermainnya untuk tim nasional. “Hal pertama yang saya yakinkan terhadap diri sendiri adalah kesadaran bahwa membela tim nasional merupakan hal terpenting di dunia ini,” kata Maradona dalam otobiografinya. “Jika kami harus menempuh perjalanan ribuan dan ribuan kilometer, lakukan. Jika kami harus melakoni empat pertandingan dalam sepekan, mainkan. Jika kami harus tinggal di hotel kecil sehingga anggota tim harus terpisah-pisah, terimalah… Segalanya, segalanya untuk tim nasional, untuk bendera biru dan putih.”

Saya masih sering merinding setiap kali membaca kembali filosofi Maradona ini. Begitu jelas, lugas, tegas, dan sepenuhnya ia jalani dengan tindakan nyata. Itulah yang membuatnya begitu dicintai publik sepak bola Argentina –bahkan mungkin dunia.

Alangkah indahnya jika para pemain tim nasional Indonesia juga mengetahui dan kemudian mengikuti filosofi Maradona tersebut. Mungkin “Tim Merah Putih” tetap tak bisa sehebat Argentina, tapi saya yakin bisa jauh lebih baik dibanding sekarang. *

Senin, November 17, 2008

“Peran Makelele” untuk Arsenal

ADA ribuan bahkan mungkin jutaan kalimat yang pernah dikutip pers dari Florentino Perez selama era kepemimpinannya di Real Madrid pada 2000-2006. Sebuah era yang akan selalu dikenang sebagai salah satu periode keemasan Madrid dengan konsep “galacticos”-nya.

Namun, bagi saya, ada sejumput kecil pernyataannya yang begitu melekat dan sulit hilang dari ingatan. Kalimat-kalimat itu diutarakannya menanggapi kepergian gelandang Claude Makelele ke Chelsea menjelang musim 2003/2004. Setelah Madrid menampik permohonan kenaikan gaji yang diajukan gelandang asal Prancis itu.

“Kami tak akan kehilangan Makelele. Teknik bermainnya hanya rata-rata, ia juga tak punya kecepatan dan
skill untuk melewati pemain lawan. Hampir 90 persen umpannya hanya terarah ke belakang atau samping. Ia pun tak pernah menyundul bola dan sangat jarang mengirim umpan lebih dari tiga meter. Para pemain muda akan datang dan Makelele akan terlupakan.”

Ya, para pemain muda kemudian memang datang dan menjadi anggota skuat baru “Los Merengues”. Namun benarkah Makelele kemudian terlupakan?

Ternyata, tidak sama sekali. Kepindahan ke London tak membuat karier Makelele terpuruk. Sebaliknya, ia menjadi salah satu kunci kebangkitan Chelsea sebagai kekuatan baru di Eropa. Ia ikut membawa “The Blues” dua kali juara Liga Primer, meraih tiga trofi domestik, dan mencapai final Liga Champions musim lalu.

Sebaliknya, sepeninggal Makelele, Madrid justru mengalami era kemunduran. Kedatangan si ganteng David Beckham hanya memperbanyak penjualan kostum. Tapi gagal membantu Madrid mempertahankan –apalagi meningkatkan— performanya.

Saat itulah, banyak pelaku dan pengamat sepak bola mulai menyadari akan pentingnya peran yang dimainkan Makelele untuk tim. Ia mengemban tugas tak populer –bahkan mungkin membosankan— sebagai orang yang selalu teguh berdiri di batas tipis antara zona serangan dan zona pertahanan.

Saat tim kehilangan bola, para pemain belakang serentak mundur seraya berharap Makelele menahan laju serangan atau bahkan merebut bola dari kaki lawan. Sebaliknya, saat tim berbalik menyerang dan semua pemain berebut memasuki pertahanan lawan, mereka juga berharap Makelele yang menjemput bola dari lini pertahanan dan mengantarkannya ke depan.

Itulah fungsi yang sekarang banyak ditafsirkan secara sederhana sebagai peran gelandang bertahan. Meskipun ada juga yang menyebutnya dengan istilah lain: gelandang jangkar, libero midfielder, atau –menurut Rafael Benitez, pelatih Liverpool— holding midfielder.

Apapun namanya, yang jelas, Makelele telah memberi penafsiran baru tentang keragaman fungsi dalam permainan. Ia begitu sukses melakoni sebuah fungsi yang mulanya dianggap sebelah mata namun kini justru sangat disegani. Fungsi itu oleh banyak pihak kini akrab disebut “peran Makelele”.

Liverpool berani membayar 18,6 juta pound untuk mendapatkan Javier Mascherano yang melakoni peran Makelele di Anfield. John Obi Mikel yang kini menggantikan tugas Makelele di Chelsea, juga harus ditebus 16 juta pound dari Lyn Oslo.

Nah, peran Makelele itulah yang kini jadi “missing link” di Arsenal. Makanya, meski bertabur pemain dengan talenta hebat, permainan “The Gunners” cenderung labil. Bisa main luar biasa untuk membungkam Manchester United, tapi kemudian tak berdaya menghadapi Aston Villa.

Arsenal beruntung punya gelandang brilian Cesc Fabregas. Tapi umpan terobosan dan visi bermainnya yang luar biasa itu kini tersia-siakan oleh kesibukan membantu pertahanan yang tak bisa dijalani dengan baik oleh Denilson atau Alexandre Song Billong. Tanpa bola-bola maut dari Fabregas, ketajaman Emmanuel Adebayor pun jadi berkurang.

Arsene Wenger mungkin tak bermaksud mengulangi arogansi Perez ketika membiarkan Mathieu Flamini dan Gilberto Silva hengkang pada akhir musim lalu. Tapi, jika ia tak cepat menyadari absennya “peran Makelele” dalam timnya, “Sang Profesor” mungkin bisa senasib dengan Perez –terdepak dari Stadion Emirates. ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor edisi 17 November 2008)

Jumat, November 14, 2008

Bisakah Villa Menahan Laju Arsenal?

(Big Match Liga Primer Pekan Ini di tvOne)
TAYANGAN Liga Primer di tvOne pekan ini, Sabtu (15/11) mulai pukul 20.30 WIB, tak boleh Anda lewatkan. Sebab yang bakal disiarkan langsung adalah laga bigmatch yang sangat menarik. Arsenal, peringkat ketiga yang pekan lalu sukses menjungkalkan juara bertahan Manchester United (2-1), bakal menjamu Aston Villa.

Penggemar Liga Primer tentu tak sabar menantikan aksi para bintang muda “The Gunners” memainkan kembali orkestra sepak bola indahnya. Apalagi setelah tengah pekan ini “tim lapis kedua” Arsenal sukses menjinakkan Wigan 3-0 di ajang Piala Carling. Sementara “The Villans” baru saja mengalami dua kekalahan beruntun dari Middlesbrough dan Newcastle United.

Namun demikian, meski sekarang hanya menduduki peringkat kelima, saya tetap melihat Villa akan menjadi lawan yang alot bagi tim asuhan Arsene Wenger. Salah satu alasannya karena Villa memainkan sepak bola gaya Inggris tradisional yang “kurang bersahabat” bagi permainan indah Arsenal.

Musim ini, sudah tiga kali Arsenal tumbang di Liga Primer. Semuanya dialami saat menghadapi tim dengan karakter pemainan keras, ngotot, disiplin, dan berani berduel. Mula-mula, “Tim Gudang Peluru” itu menyerah 0-1 kepada Fulham pada 23 Agustus, lalu Hull City 1-2 (27 September), dan paling akhir dikalahkan Stoke City 1-2 pada 1 November lalu.

Nah, Villa juga memainkan sepak bola dengan gaya sama seperti Stoke. Tapi mereka memainkannya lebih canggih karena dukungan materi pemain yang lebih berkualitas. Bahkan saya berani bilang bahwa Villa adalah “the best of the rest” alias tim paling bagus kualitasnya di luar “The Big Four” (MU, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool).

Jika Samir Nasri dan Theo Walcott cukup leluasa mengobrak-abrik pertahanan MU dengan modal kecepatan mereka, hal serupa akan sulit terulang esok malam. Villa punya dua full back cepat (Luke Young dan Nicky Shorey) yang akan sanggup meladeni kegesitan Nasri dan Walcott.

Tanpa dominasi di sayap, Arsenal akan dipaksa lebih berani masuk dari lini tengah melalui aksi dan umpan-umpan terobosan Cesc Fabregas. Tapi Fabregas juga tak akan mendapat banyak ruang karena Villa punya gelandang ulet dalam diri Gareth Barry dan Nigel Reo-Coker. Apalagi kondisi fisik keduanya relatif lebih bugar karena tak menjalani laga tengah pekan.

Jika semua pemain Villa tampil disiplin menjalankan strategi serangan balik dan tak terpancing main terbuka, ruang bagi para pemain Arsenal untuk berkreasi akan terasa sempit. Peluang-peluang akan sangat terbatas dan kesempatan para pemain depannya mencetak gol juga menipis.

Di sinilah faktor lini kedua akan menentukan. Fabregas, Denilson, atau Abou Diaby harus lebih agresif dan berani mengambil inisiatif untuk membongkar pertahanan Villa. Tanpa itu, Nicklas Bendtner atau Emmanuel Adebayor akan “terisolasi” di zona pertahanan lawan.

Hasil akhirnya? Saya tetap menjagokan Arsenal, 1-0 atau 2-0. Dengan syarat, jangan biarkan Villa mencuri gol lebih dulu memanfaatkan kecepatan Gabriel Agbonlahor dan Ashley Young. Kalau itu sampai terjadi, William Gallas dan kawan-kawan boleh jadi bakal dipaksa puas dengan hasil imbang –atau bahkan kalah. *

Kamis, November 13, 2008

PSIR Rembang, Stanley Mamuaya, dan Rasa Ikut Berdosa Itu

SATU lagi insiden memalukan terjadi dalam kompetisi sepak bola kita. Kejadiannya di Stadion Gelora Ambang Kota Mobagu, Rabu (12/11), saat Persibom Bolaang Mongondow menjamu PSIR Rembang dalam lanjutan kompetisi Divisi Utama Liga Esia.

Sejumlah pemain PSIR diduga kuat melakukan penganiayaan terhadap wasit Muzair Usman serta wasit cadangan Jusman R yang memimpin pertandingan itu. Seperti “biasa”, gara-gara tidak puas atas kepemimpinan wasit yang dianggap memihak tuan rumah.

Kejadiannya berawal ketika wasit Muzair yang berasal dari Kendari itu memberikan penalti kepada Persibom setelah salah satu pemainnya ditebas pemain PSIR di kotak terlarang. Tidak terima atas keputusan itu, sejumlah pemain PSIR yang dimotori beberapa pemain asal Sulawesi Utara langsung mengerubuti sang pengadil.

Tak sekadar mengerubuti, Stanley Mamuaya dan kawan-kawan juga menghadiahi “bogem mentah” sampai wasit Muzair tersungkur. Belum puas memukul, para pemain PSIR yang seperti kesetanan itu menginjak-injak aparat pertandingan sampai harus dilarikan ke rumah sakit karena babak belur. Muzair pun tak mampu melanjutkan tugas dan digantikan wasit cadangan Jusman.

Kejadian serupa nyaris menimpa wasit pengganti. Ia dikejar dan sempat ditelanjangi di tengah lapangan setelah memberikan kartu merah kepada dua pemain PSIR yang melakukan pelanggaran keras, Stanley dan Yongki Rantung. Pertandingan pun sempat terhenti beberapa kali. Sampai akhirnya ditutup dengan keunggulan Persibom 1-0 atas tim asal Jawa Tengah tersebut.

Bukan hasil akhirnya yang penting, namun insiden penganiayaan itu yang kemudian mencuat. Sampai-sampai Menegpora Adhyaksa Dault mengaku geram saat melihat tayangan peristiwa pengeroyokan itu di salah satu televisi swasta.

Adhyaksa meminta agar para pelakunya diseret ke jalur pidana karena aksi mereka dinilainya sudah menjurus kepada penganiayaan dan tindakan brutal. Bahkan ia juga mengharapkan agar pelaku pengeroyokan wasit itu dilarang main bola selamanya, karena mereka telah merusak citra sepak bola Indonesia.

Meskipun terdengar sangat keras, saya kira harapan Menegpora ada benarnya. Aksi Stanley dan kawan-kawan di Stadion Gelora Ambang memang sudah di luar batas kewajaran. Bahkan seperti memutarbalikkan logika akal sehat kita.

Betapa tidak. Mereka main di kandang lawan, tapi perilakunya melebihi kebiasaan para pemain tuan rumah. Stanley itu juga pemain senior yang sarat pengalaman dan pernah masuk tim nasional futsal, tapi tak bisa menjadikan dirinya teladan bagi para juniornya.

Yang menyedihkan, keberanian Stanley dan kawan-kawan ditunjukkan saat Komisi Disiplin PSSI tengah gencar-gencarnya menjatuhkan vonis. Dari Christian Gonzalez, Budi Sudarsono, Manajer PSIS, hingga Ketua Umum Persis Solo semua sudah “tersambar” ketukan palu Komdis. Tapi masih juga Stanley dan kawan-kawan nekat menunjukkan kebrutalannya.

Yang paling menyedihkan, dan ini sangat personal sifatnya, saya mengenal Stanley secara pribadi. Bahkan kami pernah main bola bersama-sama dalam satu tim, pertengahan Mei tahun lalu, di lapangan bola di belakang Kantor Walikota Tomohon, Sulawesi Utara.

Ketika itu, Stanley sempat meminta saya membantu dia mencarikan klub. Tapi saya hanya menjawabnya dengan senyum karena melihat perutnya saat itu mulai membuncit. Kegesitannya di lapangan juga sudah menurun. Belum lagi riwayat cederanya yang lumayan panjang.

Lebih dari itu, saya juga ingat cerita teman saya yang pernah jadi manajer klub tempat Stanley bermain. Menurut teman saya ini, ia nyaris memecat Stanley kala itu karena alasan indisipliner dan perilakunya yang sulit dikendalikan.

“Syukurlah”, saya tak pernah memenuhi permintaan Stanley untuk mendapatkan klub. Jadi, saya tak perlu merasa ikut berdosa kepada wasit Muzair dan Jusman. *

Selasa, November 11, 2008

Laskar Pelangi di Dunia Sepak Bola

ANDA sudah nonton film Laskar Pelangi? Saya kira, kita semua sepakat bahwa film yang bagus sekaligus menghibur ini memberikan pembelajaran yang sangat berharga dalam hal pendidikan.

Tapi sebenarnya pesan moral film ini bisa dimaknai lebih luas lagi. Laskar Pelangi sebenarnya juga memberi pembelajaran bagi dunia sepak bola.

Seorang anak bernama Lintang, yang dikisahkan mempunyai semangat luar biasa untuk belajar, kandas cita-citanya karena terbentur kesulitan hidup. Tak hanya itu, tempat tinggal nun jauh di pelosok pinggiran pantai juga menjadi hambatannya yang lain dalam menuntut ilmu.

Dalam dunia sepak bola, tak mustahil ada berjuta-juta sosok Lintang di berbagai wilayah Indonesia. Seperti Lintang, mereka juga punya cita-cita jadi pemain bola. Bahkan mungkin dikaruniai bakat alam untuk menjadi pemain andal.

Tapi hanya memiliki bakat atau cita-cita, tak cukup untuk mengantar bibit-bibit unggul ini menggapai impiannya. Mereka memerlukan pencari bakat profesional. Namun, sayangnya, pencari bibit pemain di Indonesia masih sangat langka dan belum menjangkau daerah-daerah terpencil.

Padahal, betapa besar peranan pencari bakat dalam mengorbitkan pemain-pemain andal. Pengembangan sepak bola Indonesia juga sangat membutuhkan bibit-bibit unggul yang harus kita cari di berbagai wilayah Tanah Air.

Seorang pencari bakat tak cukup hanya mengandalkan pengetahuan alakadarnya tentang dunia sepak bola. Untuk mencari pemain potensial, ia juga tak bisa sekadar mengandalkan info dari mulut ke mulut. Atau cukup mendatangi sekolah-sekolah sepak bola.

Perlu pengetahuan khusus untuk menjadi pencari bakat profesional. Tidak cukup juga hanya bermodal pengalaman. Di Amerika Serikat bahkan sudah ada pendidikan nonformal khusus untuk belajar tentang pencarian bakat atau scouting talent course yang juga bisa ditempuh lewat pendidikan online delapan minggu. Di antara materi pendidikan yang diberikan adalah metoda untuk memeringkat soccer talent.

Pencarian bakat juga memerlukan sistem jaringan yang sangat kuat di antara berbagai pihak yang terkait. Baik jaringan informasi maupun jaringan sistem scouting sampai perekrutannya. Seperti The Scouting Network di Birmingham, Inggris. Ini jaringan pencarian bakat untuk skala internasional yang menyediakan laporan paling intensif dari seluruh dunia dengan dukungan database lebih dari 30 ribu info tentang pemain dan berbagai penawaran dari tim-tim terkenal.
Agen ini, selain memasok pemain untuk Inggris, juga memasok klub-klub lainnya di Eropa. Mereka pun menerapkan sistem jaringan dengan pembagian wilayah-wilayah pencarian bakat agar setiap kawasan bisa terjangkau secara merata.

Pencarian bakat di negara-negara maju juga memanfaatkan media internet. Di sana, ada semacam bursa untuk mempertemukan talent (pemain), klub, agen, serta pencari bakat itu sendiri.

Sedangkan klub-klub kaya semacam Chelsea, Manchester United, atau AC Milan umumnya membangun jaringan sendiri. Biasanya, mereka memanfaatkan para mantan bintangnya dari kawasan Eropa Timur atau Amerika Latin sebagai “mata” mereka untuk melihat pemain potensial di sana.

Hanya saja, untuk Indonesia, memang agak sulit mengharapkan terbangunnya jaringan pencarian bakat seperti itu. Kendala utamanya, jelas, urusan dana. Nilai kontrak pemain di Indonesia masih terbilang kecil sehingga “bisnis” pencarian bakat belum bisa tumbuh dengan kondisi sekarang ini. “Mengekspor” pemain berbakat ke luar negeri juga belum prospektif karena potensi sepak bola Indonesia belum memiliki pijakan prestasi yang kuat.

Bahkan, banyak para pemain, agen, bahkan pengelola klub yang belum terbiasa memanfaatkan jasa internet. Apalagi untuk pemain yang berasal dari daerah yang belum tersentuh teknologi internet. Akan sulit bagi mereka untuk sekadar mengisi data dan “menjual” diri secara online. Padahal, di banyak negara maju, pencarian bakat melalui internet ini tergolong cukup efektif. *

Minggu, November 09, 2008

Krisis Persebaya, Bukti Kompetisi Kita Semakin Memprihatinkan

MIRIS rasanya mendengar berita seputar Persebaya Surabaya belakangan ini. Tim yang pernah menjadi kutub kekuatan sepak bola nasional namun sekarang hanya berkiprah di Divisi Utama itu seolah tak habis diterjang krisis.

Awal bulan lalu, tim Ibukota Jawa Timur itu sempat melontarkan keinginan mundur dari ajang Copa Dji Sam Soe 2008/2009. Tapi kemudian diurungkan setelah Badan Liga Indonesia (BLI) mengancam akan membatalkan hak mereka ikut kompetisi Liga Super musim depan –jika meraih tiket promosi.

Awal bulan ini, para pemain “Tim Bajul Ijo” juga sempat mengancam mogok latihan. Mereka pun mengancam tak mau mengikuti laga tandang menghadapi PSIM Yogyakarta. Gara-gara pembayaran gaji yang, konon, terus tersendat dalam tiga bulan terakhir ini.

Paling akhir, terbetik kabar bahwa Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, menjual salah satu mobil pribadinya untuk membantu pembayaran gaji pemain yang tertunggak. Langkah serupa dilakukan Ketua Umum Persebaya, Saleh Ismail Mukadar, dan tokoh Persebaya lainnya, Paulus Helly Suyanto.

Kabarnya, mobil wali kota yang dilego adalah Jeep Wrangler 2006 dan laku sekitar Rp 140 juta. Sedangkan Mukadar lebih dulu menjual Toyota Altis-nya tahun 2003 dengan harga Rp 129 juta. Paulus yang juga Ketua Panpel Persebaya menitipkan mobilnya Ford Ranger keluaran 2003 yang dihargai hampir Rp 225 juta.

Hasil penjualan ketiga mobil tersebut ditambah pemasukan dari dua laga kandang sebanyak Rp 57 juta menghasilkan dana segar Rp 551 juta. Toh, itu pun belum banyak menolong karena biaya gaji bulanan yang harus ditanggung Persebaya ditaksir mencapai Rp 663 juta.

Yang lebih menyedihkan, di antara elemen pengurus dan pengelola tim sendiri kini mulai saling serang secara terbuka. Pelatih Freddy Muli menyesalkan sikap Ketua Umum Saleh Mukadar yang menyatakan tak gentar terhadap ancaman mogok dan boikot pemain. Di sisi lain, Asisten Manajer H Ismail menyesalkan sikap Manajer Indah Kurnia yang cenderung lepas tangan menghadapi krisis keuangan yang menimpa Persebaya.

Meski bukan arek Suroboyo, saya merasa ikut sedih dan prihatin melihat kondisi Persebaya yang seperti itu. Dengan kondisi separah itu, apa mungkin mereka bisa dengan tenang mengarungi kompetisi Divisi Utama hingga tuntas –sambil tetap menjalani kewajiban tampil di ajang Copa Dji Sam Soe? Padahal, target mereka adalah promosi ke Liga Super.

Jika tim sebesar Persebaya saja bisa menghadapi kondisi internal separah itu, jangan tanya tim-tim kecil semacam Persikad Kota Depok atau Persibat Batang. Bahkan tim seperti Persema Malang yang pada awal musim seolah begitu enteng “memborong” pemain bintang, faktanya kini juga ikut terseok-seok secara finansial.

Ini jelas bukan gambaran ideal yang kita inginkan dari kompetisi sepak bola nasional. Alih-alih bicara peningkatan mutu permainan dan panasnya persaingan, hampir setiap hari kita justru dijejali cerita-cerita pilu seputar beratnya mengarungi kompetisi Divisi Utama maupun Liga Super.

Saya kira, sudah saatnya semua pihak merenungkan kembali kompetisi kita saat libur tengah musim tiba. PSSI, BLI, serta klub-klub peserta perlu duduk bersama dan bicara terbuka sambil mencari solusi terbaik. Jangan malu untuk mengakui kenyataan paling pahit sekalipun ketimbang memaksakan diri terus menggelar kompetisi jika akhirnya tetap kandas di tengah jalan. *

Rabu, November 05, 2008

Gerrard dan Semangat Pantang Menyerah

BATAS antara kemauan dan keberuntungan acapkali sangat tipis. Bahkan mungkin kita sulit memisahkannya. Seperti yang mungkin sempat Anda lihat pada pertandingan Liverpool lawan Atletico Madrid, Selasa (5/11) atau Rabu dini hari WIB. Semata keberuntungan atau berkat kemauan keraskah gol balasan Liverpool itu akhirnya datang?

Ketika pertandingan tersisa 15 menit dan eskpresi wajah Steven Gerrard tampak mulai pasrah, jutaan pemirsa televisi mengira hasil akhir sudah “ditentukan” –0-1 untuk tim tamu. Kekalahan makin terasa sulit dihindari manakala melihat barisan belakang Atletico tampil begitu tenang, taktis, disiplin, dan penuh percaya diri.

Hampir tak ada ruang untuk masuk bagi Gerrard, David N’Gog, atau Ryan Babel. Apalagi peluang yang didapat melalui tandukan-tandukan Daniel Agger juga selalu menyamping atau terbang di atas mistar.

Sampai akhirnya datang bola “aneh” di pojok kiri kotak penalti Atletico. Bola yang sama sekali tak berbahaya. Apalagi di sana ada bek kiri Mariano Pernia yang tampil kokoh mementahkan hampir semua ancaman Liverpool dari sayap kanan.

Entah apa yang mendorong Pernia memaksakan diri berduel berebut bola itu dengan Gerrard. Padahal, menunggu bola jatuh dan sekadar membayangi Gerrard jauh lebih aman dalam situasi kritis itu.

Lalu terjadilah pelanggaran fatal itu. Gerrard terjatuh, Pernia dikartu kuning, dan eksekusi penalti membuahkan hasil imbang 1-1 bagi Liverpool. Tak terbayang momen dramatis dan menentukan itu bakal terjadi pada menit terakhir perpanjangan waktu. Dan, lagi-lagi, Gerrard yang jadi penyelamat Liverpool.

Saya setuju, keputusan wasit soal penalti ini memang mengundang keraguan dan sangat subyektif. Boleh jadi, di tempat lain dengan wasit berbeda, kejadian sama akan dibiarkan saja hingga laga berakhir.

Tapi, ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut. Kegigihan Gerrard terus memburu peluang sekecil apapun hingga detik-detik terakhir mengajarkan kepada kita untuk tidak pernah menyerah. Setidaknya, sampai wasit membunyikan peluit panjang tanda akhir pertandingan. *

Senin, November 03, 2008

Argentina Memang Butuh Maradona

JIKA dibuat perumpamaan, tim nasional (timnas) Argentina itu ibarat sedan Rolls Royce. Hampir seluruh bagian mobil ini terbuat dari bahan pilihan yang terbaik dan sudah tentu harganya sangat mahal. Wajar jika gengsinya tinggi dan performanya bikin bangga.

Hanya saja, kata Diego Maradona, kini “Tim Tango” lebih mirip Rolls Royce yang dekil. Debu dan kotoran bertebaran di sekujur tubuhnya. Sebagian komponen mobil mungkin juga tak berfungsi secara maksimal karena jarang dimanfaatkan.

Makanya, performa Argentina dalam lima bulan terakhir ini sangat mencemaskan. Mereka hanya mampu mencatat enam kali hasil imbang sebelum menang atas Uruguay. Itu pun langsung disusul kekalahan dari Cile –pertama kalinya dalam 35 tahun terakhir.

Di ajang kualifikasi Piala Dunia 2010 pun demikian. Setelah melewati 10 partai, Lionel Messi dan kawan-kawan hanya menghuni posisi ketiga klasemen sementara Zona Amerika Selatan – di bawah Paraguay dan rival abadinya, Brasil. Argentina bahkan terpaut tujuh angka dengan Paraguay.

Memang, situasinya belum bisa dibilang gawat untuk ukuran normal. Dengan sisa 10 pertandingan lagi, pelatih Alfio Basile akan sangat mampu membawa Javier Mascherano dan kawan-kawan ke putaran final di Afrika Selatan.

Tapi itu untuk ukuran normal. Masalahnya, ini Argentina. Kita bicara tentang tim dengan standar tersendiri. Bagi publik Argentina, performa “Tim Tango” di bawah Basile sudah sampai pada taraf merisaukan sehingga Basile harus dicopot.

Standarnya memang sangat tinggi. Ekspektasi publik terhadap “Albiceleste” bahkan mungkin melebihi pengharapan publik sepak bola di negeri semacam Jerman atau Inggris terhadap tim nasionalnya.

Dalam kondisi seperti sekarang, ditambah ekspektasi publik yang sama sekali tak berkurang, Argentina memang tak punya pilihan selain Maradona. Dialah satu-satunya “dewa sepak bola” negeri Amerika Latin itu yang tak seorang pun berani membantah pandangannya. Bahkan “si anak emas” Messi saja memilih menghindari konflik ketika Maradona mengkritik permainannya yang dinilainya egois.

Apalagi Maradona juga yang dengan jeli melihat kalau Rolls Royce ini sudah berdebu. Ia bahkan mengaku sudah tahu bagaimana cara membersihkan debu-debu itu agar sang sedan mewah bisa kembali menampakkan kilaunya.

Memang benar, pilihan terhadap Maradona bukan tanpa risiko. Seorang pemain jenius kadang tak cukup sabar melihat tim asuhannya tumbuh dan berkembang secara perlahan. Itu pernah dialami Hristo Stoichkov saat menangangi timnas Bulgaria (2004-2007). Juga terjadi pada Dejan Savicevic saat dipercaya menangani timnas Serbia-Montenegro (2001-2003).

Namun, saya yakin, Maradona akan lebih berhasil ketimbang dua rekannya tersebut. Pasalnya, ia tak sendirian mengurusi Rolls Royce ini. Ada Sergio Baptista dan Jose Luis Brown yang jadi asistennya. Keduanya mantan rekan setimnya di tim nasional.

Ia juga akan “dibimbing” oleh Carlos Billardo –pelatihnya saat Maradona mengangkat trofi Piala Dunia 1986— sebagai tangan kanannya. Tugas utama Billardo kelak berkeliling dunia memantau permainan para bintang Argentina di liga mancanegara. Dengan demikian, secara fisik, Maradona yang punya riwayat sakit jantung itu tak akan terlalu terbebani.

Seorang megabintang tak akan bisa benar-benar bersinar tanpa “pemeran pembantu” yang loyal dan berdedikasi di sekelilingnya. Maradona beruntung memiliki “Trio B” –Billardo, Batista, dan Brown— yang akan membantunya mengelola tim nasional dengan akal sehat dan etos kerja yang benar. Tapi kesediaan Maradona menerima “Trio B” itu sendiri menunjukkan perubahan sikap mentalnya yang sangat positif. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 3 November 2008)

Senin, Oktober 27, 2008

Ketika Rooney Lupa Kulitnya

ADA insiden kecil yang sangat menarik saat Manchester United (MU) bertandang ke Stadion Goodison Park, Sabtu (25/10) lalu. Lawatan ke kandang Everton itu, selalu jadi acara “pulang kampung” yang tak ramah bagi Wayne Rooney, striker andalan “Tim Setan Merah”.

Benar saja. Sepanjang pertandingan, ejekan publik tuan rumah terus mengiringi Rooney setiap kali ia memegang bola. Provokasi suporter “The Toffees” memuncak pada menit ke-69 ketika Rooney menjatuhkan Mikel Arteta –salah satu pemain kesayangan pendukung Everton— dan akibatnya ia diganjar kartu kuning.

Bagi saya dan mungkin banyak penonton lain, itu sebenarnya pelanggaran biasa. Tapi, ketika wasit Alan Wiley melihatnya berbeda dan menganggapnya layak diberi kartu kuning, itu juga hal biasa. Itulah “wilayah” kekuasaan wasit yang tak bisa kita campuri selama pertandingan bergulir.

Saya rasa Rooney juga mengerti hal itu. Bahwa wasit memiliki otoritas dalam membuat penafsiran yang acapkali sangat subjektif terhadap sebuah pelanggaran atau insiden dalam satu pertandingan. Dalam posisi sebagai pemain tim tamu dan bermain di depan suporter mantan timnya, saya mengira Rooney akan menerima kartu kuning itu dengan legawa.

Reaksi Rooney sungguh di luar dugaan. Dalam “iringan” riuh-rendah cemoohan publik Goodison Park, Rooney justru kehilangan kontrol. Tak kalah sengit, ia merespons reaksi publik dengan mencium kaos MU tepat di bagian logo klub juara bertahan Liga Primer itu.

Insiden kecil itu nyaris membawa “malapetakan” bagi Rooney maupun timnya. Wasit langsung mendekati striker berusia 23 tahun itu dan memberinya peringatan. Tentu saja, peringatan itu sama sekali tak dihiraukan oleh Rooney.

Untunglah pelatih MU, Alex Ferguson, cepat tanggap dan tak mau ambil risiko. Dua menit berselang, ia menarik Rooney keluar dan menggantikannya dengan Nani. Sebuah keputusan yang tepat dan bijak.

Jika dibiarkan meneruskan pertandingan, kartu merah bukan tak mungkin keluar dari saku wasit. Sekarang ini saja kasus Rooney bisa dipastikan masuk agenda Komisi Disiplin FA setelah wasit Wiley memberikan laporannya. Setelah membahas laporan itu, FA akan memutuskan apakah insiden itu cukup serius untuk ditindaklanjuti atau tidak.

Bahkan Rooney berpotensi “merusak” dirinya lebih jauh lagi jika dibiarkan terus main. Seperti pernah dilakukannya terhadap wasit Kim Milton Nielsen pada pertandingan Liga Champions lawan Villarreal, 14 September 2005 lalu.

Sungguh ironis, dilema elementer seperti ini masih menimpa pemain sekaliber Rooney. Selaku bintang tim sebesar MU dan juga anggota skuat inti tim nasional Inggris, mestinya Rooney sudah “selesai” dari ujian mental seperti ini. Bahkan mestinya sejak pertama kali meninggalkan Everton dan berlabuh di Old Trafford pada awal September 2004.

Maklum, dulu ia begitu menggebu-gebu menunjukkan kecintaannya terhadap Everton, klub yang membesarkannya. “Sekali biru, akan selalu biru”, begitulah ia menggambarkan fanatismenya terhadap Everton yang memang menjadikan biru sebagai warna kebesarannya.

Dalam era industri sekarang ini, terbukti fanatisme terhadap satu klub tak berlaku lagi bagi seorang pemain. Setiap saat ia harus siap pindah dan beralih ke tim lain –bahkan yang tergolong musuh bebuyutan tim idolanya.

Toh, itu bukan masalah besar jika pemain bisa menyikapinya secara dewasa. Rooney mungkin bisa belajar dari Raul Gonzalez. Sebagai bintang yang “dibuang” Atletico Madrid, ia membayar kepercayaan Real Madrid dengan gol-golnya dalam “El Derbi Madrileno”. Atau Rooney bisa belajar dari cara Luis Figo menghadapi hujatan suporter Barcelona yang tak rela ia menyeberang ke Real Madrid.

Cemoohan dari suporter tim lama adalah risiko bagi setiap pemain yang pindah ke klub lain atas kemauan sendiri. Entah untuk meningkatkan karier atau demi penghasilan lebih baik. Cemoohan itu mestinya disikapi sebagai ungkapan rasa cinta yang tak berbalas.

Rooney sepatutnya menikmati saja cemoohan itu, bahkan melihatnya sebagai pujian dalam bentuk lain. Meladeninya dengan sikap provokatif justru hanya akan membuatnya semakin dibenci. Sekaligus membuatnya seperti “kacang yang lupa kulitnya”. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 27 Oktober 2008)

Kamis, Oktober 23, 2008

Sepak Bola Indonesia Butuh Anger Management?

SEPANJANG tahun 2008 ini setidaknya kita mencatat beberapa kasus pemukulan terjadi di pentas sepak bola Indonesia. Ada yang dilakukan oleh ketua umum, manajer tim, asisten manajer, pelatih, asisten pelatih, wasit, hingga penonton yang mestinya duduk manis di tribun.

Di antaranya, kasus pemukulan wasit Yandri kepada Asisten Manajer PSM Makassar Faizal Minang, Minggu (12/10) lalu. Ketika itu, Faizal yang sebenarnya bermaksud memukul. Tapi Yandri ternyata lebih gesit dan mampu berbalik meng-KO Faizal.

Sebelumnya, ada upaya pemukulan Manajer PSIS Semarang, Yoyok Sukawi, terhadap wasit Sunaryo Joko, Kamis (9/10). Di kompetisi Divisi Utama, pelatih Persikab, Deny Syamsudin, juga diserang oknum penonton yang menerobos hingga ke pinggir lapangan saat bertandang ke Mitra Kukar, Selasa (7/10) lalu.

Masih ada lagi kasus pemukulan terhadap pelatih tim nasional Libya, Gamal Adeen M Abu Nowara. Ia “mengaku” dipukul oleh salah seorang asisten pelatih Indonesia, Jumat (29/8), pada turnamen Piala Kemerdekaan. Meskipun kubu timnas Indonesia kemudian membantah tuduhan tersebut.

Paling “spektakuler”, tentunya, tindak kekerasan terhadap Raja Isa saat masih menjadi pelatih Persipura, medio Agustus lalu. Saat tengah memimpin timnya menjamu Persijap di Stadion Mandala, Raja Isa malah diserang sejumlah pengurus “Tim Mutiara Hitam” yang dipimpin Ketua Umum M.R. Kambu. Bahkan Odniel Marauce, salah seorang pengurus klub Persipura, sempat melayangkan pukulannya.

Raja Isa sampai harus lari lintang-pukang menghindari serangan itu. Sementara di tribun, pendukung Persipura balas mengecam aksi brutal para pengurusnya. Kebrutalan yang kemudian berbuah denda Rp 50 juta bagi Marauce dan Rp 25 juta untuk Kambu.

Dari deretan contoh peristiwa tersebut, kita mendapatkan fakta yang menarik. Tindak kekerasan selama petandingan ternyata tak hanya dilakukan pemain, tapi juga dilakukan oleh pengurus, bahkan wasit dan pelatih. Emosi tak terkendali tidak hanya meluap pada diri pihak-pihak yang terkait langsung dalam pertandingan, tapi juga dialami pihak-pihak pendukungnya seperti pelatih maupun pengurus yang selama pertandingan posisinya di “pinggir lapangan”.

Mengacu kepada berbagai kasus tersebut, mungkin sepak bola Indonesia sudah saatnya memikirkan sebuah format pelatihan “Anger Management” untuk jajarannya. Karena bila kekerasan ini kerap terjadi dan kemudian dianggap hal biasa, banyak pihak yang akan dirugikan.

Bukan hanya pihak yang terlibat dalam kekerasan itu yang merugi. Perkembangan sepak bola nasional pun akan terkena imbasnya. Belum lagi sanksi dari AFC atau FIFA bila insiden tersebut terjadi dalam pertandingan internasional.

“Anger Management” adalah bentuk terapi untuk membantu mengatasi berbagai rasa marah yang bisa mempengaruhi kesehatan seseorang, pekerjaan, perilaku sosial, atau hubungan personal. Tujuan utamanya, mengajarkan seseorang untuk mampu mengenali dan mengelola kemarahannya.

Di mancanegara, “Anger Management” sudah banyak direkomendasikan oleh hakim dalam kasus kekerasan di pertandingan olah raga yang kasusnya sampai ke meja hijau. Seperti kasus pemukulan yang dilakukan seorang pemain futsal di Amerika Serikat. Sang pelaku diminta hakim mengikuti “Anger Management” sebagai persyaratan atas hukuman percobaan yang dijatuhkan padanya. Bintang basket NBA, Ron Artest, tahun lalu juga harus menghabiskan liburan musim panas di kelas “Anger Management” karena perilaku brutalnya di lapangan.

Hukuman yang dijatuhkan pada pelaku tindak kekerasan dalam olah raga apapun umumnya berat. Apalagi kalau kasusnya sampai ke meja hijau. Betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah kemarahan terlihat dalam jumlah denda yang harus dibayar Marauce dan Kambu.

Alangkah sayangnya dana APBD yang disalurkan ke klub terbuang hanya untuk membayar denda atas amarah seperti ini. Jadi, mengapa tidak mulai berpikir tentang “Anger Management”? *

Senin, Oktober 20, 2008

“Sport Jantung” Bersama Liverpool

PEMEO bahwa bola itu bundar seperti menemukan pembenarannya dalam lanjutan kompetisi Liga Primer putaran kedelapan, pekan lalu. Khususnya pertandingan Liverpool lawan Wigan yang ditayangkan langsung oleh stasiun televisi tvOne. Sepanjang pertandingan, entah berapa kali hati kecil kita dipaksa “keliru” memprediksi seperti apa jadinya akhir duel nan seru ini.

Kebanyakan orang mungkin yakin Liverpool bisa menang karena rekor kandang mereka sepanjang tahun 2008 lumayan dahsyat. “The Reds” tidak terkalahkan dari 13 pertandingan di Stadion Anfield –10 di antaranya berbuah kemenangan.

Tapi keyakinan itu menjadi berkurang karena lini belakang Liverpool tak diperkuat bek kiri Fabio Aurelio dan bek tengah Martin Skrtel. Aurelio sudah biasa diganti Andrea Dossena. Tapi Daniel Agger yang mengisi posisi Skrtel sudah 13 bulan tak mencicipi ketatnya pertandingan Liga Primer.

Semakin berkurang karena absennya striker andalan Fernando Torres. Seperti halnya kapten Steven Gerrard, Torres ibarat sebelah kaki bagi Liverpool. Tanpa Torres atau Gerrard, permainan Liverpool jadi pincang. Tanpa keduanya sekaligus, mungkin malah “lumpuh”.

Keyakinan suporter Liverpool juga sangat terganggu oleh faktor pelatih Wigan, Steve Bruce. Empat kali tandang ke Anfield membawa dua tim berbeda, Birmingham dan Wigan, Bruce tetap bisa pulang dengan kepala tegak. Latar belakang sebagai bek tengah Manchester United (MU) era 1980-an tampaknya sangat menolong Bruce dalam memahami cara menjinakkan Liverpool.

Ah, benar saja. Tak sampai 30 menit, Liverpool sudah dibuat tertinggal oleh gol striker maut Wigan, Amr Zaki. Mudah diduga, gol itu berawal dari kesalahan Agger saat menguasai bola di depan gawang Jose Reina. Kesalahan yang ironisnya justru berawal dari kepercayaan diri yang kelewat besar di sebuah laga perdana.

Benar, Agger kemudian membayar lunas kesalahan itu dengan assist kepada Dirk Kuyt. Tapi magis Bruce kembali menemukan jalannya lewat “gol ala Widodo C. Putro” yang dilesakkan Zaki dengan aksi akrobatik menjelang akhir babak pertama.

Sampai di situ, kebanyakan orang mulai meragukan kesanggupan Liverpool merealisasikan predikat barunya sebagai “King of Comeback”. Meski musim ini mereka sudah tiga kali membuktikannya saat menghadapi MU, Middlesbrough, dan Manchester City.

Sampai pertengahan babak kedua, juga tak ada tanda-randa drama itu bakal berulang. Pertahanan berlapis Wigan seperti “sarang burung” yang penuh liku dan memerangkap para pemain Liverpool. Tak ada tanda-tanda bakal bisa ditembus.

Namun “bola yang bundar” itu akhirnya menggelinding ke sisi yang lain setelah Antonio Valencia diganjar kartu merah. Inilah momentum yang ditunggu-tunggu Steven Gerrard dan kawan-kawan untuk menemukan pintu masuk ke “sarang burung” pertahanan Wigan.

Serangan lawan yang bergelombang dan cepat membuat kaki Mario Melchiot dan kawan-kawan mulai gontai, kelelahan. Mereka tak kuat lagi mengikuti pergerakan Jermaine Pennant dan Albert Riera yang terus meneror dari dua sisi lapangan. Gol Riera dan kemudian tendangan voli indah Kuyt pun seperti tinggal soal waktu saja.

Itulah kenikmatan menonton sepak bola yang sebenarnya. Ada kombinasi yang sempurna antara keraguan dan keyakinan, kelelahan dan kegigihan, kegagalan dan keberuntungan, kekecewaan dan kebanggaan, serta –tentu saja— kekalahan dan kemenangan. Semuanya tak bisa diprediksi kehadirannya. Sehingga penggemar Liverpool dipaksa terus “sport jantung” saat menyaksikan tim favoritnya beraksi.

Hanya saja, jantung termasuk organ tubuh yang rapuh. “Sport jantung” yang kelewat sering hanya akan membawa penyakit, bahkan mungkin kematian –berupa kekalahan, tentunya. Dan, jika Liverpool tak segera membenahi kebiasaan tampil buruk pada babak pertama, “kematian” itu bisa saja terjadi saat Liverpool bertandang ke markas Atletico Madrid atau Chelsea pada pekan mendatang. Atau sebaliknya? ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor, edisi 20 Oktober 2008)

Say No To Alcohol

KITA sering tak sadar kalau bahaya pernah begitu dekat dalam kehidupan kita. Dan kita baru menyadarinya setelah marabahaya itu berlalu dan kita masih baik-baik saja. Seperti yang saya alami di Manchester saat berlangsungnya final Piala UEFA, Rabu (14/5) lalu.

Sepanjang pagi hingga siang hari itu, saya berada di Piccadilly Gardens –sekitar 10 menit jalan kaki dari hotel tempat saya menginap. Sambil menunggu keberangkatan ke Stadion City of Manchester, saya berbaur dengan ratusan dan kemudian jadi ribuan suporter yang memenuhi kawasan niaga itu.

Di sana, saya menyaksikan bagaimana suporter Glasgow Rangers “menduduki” kawasan itu. Sebagian bertelanjang dada, main bola, nyanyi-nyanyi, dan ada pula yang cari tambahan dengan jual kaos atau “ngamen” memakai alat musik tiup tradisional.

Saya juga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa layar raksasa yang dipasang memunggungi Hotel Ramada masih berfungsi siang itu. Dan, yang tak terlupakan, saya melihat dengan jelas betapa kuatnya orang-orang Skotlandia itu menenggak bir.

Kalau Anda melihat orang bepergian, barang bawaan mereka umumnya makanan dan pakaian di dalam ransel. Sulit dipercaya, di Stasiun Manchester Piccadilly, saya melihat puluhan suporter Rangers turun menenteng tas besar yang isinya berkaleng-kaleng bir. Bahkan ada yang memanggul satu kerat berisi –mungkin— 20 atau 24 botol bir.

Entah mengapa, siang itu, saya langsung punya firasat tak enak. Makanya, saat melaporkan situasi lapangan dan rencana tulisan, saya berkirim sms kepada salah seorang rekan di kantor: “Du, kayaknya bakal rusuh nih ntar malem”.

Ah, ternyata benar. Malam itu, saat saya duduk manis di Stadion City of Manchester, Piccadilly dilanda kerusuhan. Marah karena layar raksasa gagal berfungsi menjelang kick-off, puluhan pria mengamuk dan menyerang petugas. Situasi di Piccadilly Gardens malam itu digambarkan media massa Inggris dengan kata-kata yang menyeramkan: War Zone.

Sabtu (17/5) lalu, giliran 90 ribu pendukung Portsmouth dan Cardiff City menyerbu Wembley. Aneh, saya tak punya firasat buruk. Bahkan, sekalipun sempat terjepit di antara puluhan pendukung kedua tim di kereta subway Jubilee Line dari Bond Street menuju Wembley Park, saya juga tak merasa terancam.

Kuncinya sederhana: alkohol. Tak ada pesta alkohol di Wembley, Piccadilly Circus, Waterloo, atau kawasan lain yang jadi titik persinggahan suporter. Di dalam Stadion Wembley, pemeriksaan juga ekstraketat untuk mencegah kemungkinan lolosnya suporter teler. Bahkan di ruangan pers yang lumayan mewah itu pun tercantum jelas tulisan: “No Alcohol”.

Hasilnya, Piala FA berlangsung aman dan lancar meski suporter Portsmouth dan Cardiff sempat saling ejek saat lagu kebangsaan God Save The Queen dan Hen Wlad Fy Nhadau (Tanah Kelahiran Ayahku) bergantian dikumandangkan. Rasanya benar kata Bang Haji (Rhoma Irama), minuman keras itu memang lebih banyak mudaratnya. *

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 19 Mei 2008)

Selasa, Oktober 14, 2008

Ayo Mampir di Portal Vivanews.com

SATU lagi pendatang baru hadir di jagat media Indonesia. Kali ini, masuk melalui dunia maya. Namanya simpel dan mudah diingat: vivanews.com.
Sebagai sebuah portal berita, saya melihat vivanews.com bisa jadi alternatif menarik. Ia menawarkan ragam pilihan yang lebih kaya dibanding portal-portal lain yang lebih dulu hadir.
Saya suka sekali masuk ke halaman teknologinya. Meskipun menu sainsnya, menurut saya, masih agak kurang digarap. Saya juga suka mengintip foto-fotonya yang lumayan wah. Bahkan saya juga terkejut karena ada halaman khusus mengenai korupsi. Cukup mengasyikkan berita-beritanya.
Tapi, tentu saja, saya paling sering buka-buka halaman bolanya. Itu kan memang dunia saya. Dan isinya boleh juga, meski jelas masih bisa lebih ditingkatkan --sesuai tekad vivanews.com untuk mengutamakan kecepatan serta kedalaman.
Saya merasa perlu berbagi informasi soal portal baru ini. Soalnya, saya sedikit ikut "terlibat" di sana lewat rubrik Analisis yang dipasang di pojok kiri bawah halaman Bola.
Minggu ini, saya ber-Celoteh soal ancaman krisis keuangan global terhadap persepakbolaan dunia, khususnya Eropa. Silakan Anda baca dan jangan lupa mengomentarinya. Di blog saya ini pun boleh. *

Senin, Oktober 13, 2008

Capello Harus Berhenti Bereksperimen

HASIL fantastis dibukukan tim nasional Inggris saat menjamu Kazakhstan di Stadion Wembley, Sabtu (11/10) atau Minggu dini hari WIB. Tak tanggung-tanggung, Inggis membantai tim pecahan Uni Soviet itu dengan skor sangat telak: 5-1!

Inilah kemenangan terbesar yang diraih “The Three Lions” sejak ditangani Fabio Capello, 14 Desember 2007. Ditambah kemenangan 4-1 atas Kroasia, bulan lalu, Inggris pun kian menunjukkan potensinya sebagai salah satu tim paling “panas” di Eropa saat ini.

Yang menarik, dalam pertandingan di Stadion Wembley ini, Capello menurunkan formasi baku 4-4-2. Bukan pola eksperimen 4-3-3 seperti yang sempat dicobanya dalam beberapa kali latihan prapertandingan.

Wayne Rooney dan Emile Heskey diturunkan sebagai duet di lini depan. Pembagian tugas di antara mereka jelas dan simpel. Heskey membuka ruang dan menjadi “tembok” pemantul aliran umpan dari sayap kanan maupun kiri.

Rooney yang kemudian memanfaatkan bola-bola “pantulan” dari Heskey tersebut. Dengan postur Heskey yang tinggi-kekar dan keuletannya dalam perebutan bola, pasokan bola bagi Rooney bisa dibilang cukup terjamin. Tinggal pintar-pintarnya Rooney memanfaatkan peluang yang tercipta.

Hasilnya pun nyata. Rooney mencetak dua gol kemenangan Inggris. Ia sekaligus meneruskan tren positif produktivitas golnya dalam sebulan ini.

Yang tak kalah menarik, dalam laga ini, Capello juga menduetkan Steven Gerrard dan Frank Lampard di pusat lini tengah. Sebuah keputusan yang sangat berpotensi menjadi sumber polemik sekaligus amunisi bagi para kritikus seandainya Inggris gagal memetik kemenangan.

Toh, keberanian Capello –yang memang didukung data statistik— berbuah manis. Duet Gerrard-Lampard mampu memperlihatkan kematangan bermain sebagaimana sudah mereka tunjukkan selama bertahun-tahun di Liverpool dan Chelsea.

Bermain 4-4-2 dengan dua pemain sayap –Theo Walcott di kanan dan Gareth Barry di kiri— memang tak mudah bagi Gerrard dan Lampard. Di klubnya, mereka terbiasa mendapat ruang gerak sangat besar untuk merangsek ke kotak penalti dan mencetak gol.

Lain halnya saat bermain dengan pola 4-4-2 racikan Capello. Suka-tak suka, Gerrard dan Lampard harus memberi perhatian lebih banyak terhadap pertahanan. Mereka harus lebih ikhlas membiarkan Walcott dan Barry yang bermanuver dan mendapat peluang bikin gol.

Mungkin karena faktor usia dan karakter bermainnya, Gerrard tampak lebih optimal menjalanlan tugasnya saat menghadapi Kazakhstan. Padahal, dengan komitmen seperti itu, ia sebenarnya “mengabaikan” kelebihannya sebagai penembak jitu dari lini kedua.

Tapi begitulah permainan tim. Setiap pemain harus siap mendedikasikan dirinya untuk tim dan melupakan ambisi pribadinya. Itulah yang sudah dilakukan Gerrard untuk “The Three Lions”.

Benar, Kazakhstan memang bukan tim papan atas Eropa dan mungkin bukan barometer yang tepat untuk mengukur kemampuan tim Inggris yang sebenarnya. Bahkan permainan Inggris sendiri pun belum bisa dibilang sempurna.

Namun memang tak ada yang sempurna di dunia. Dan Capello tak perlu mencari-cari kesempurnaan itu. Yang harus dia lakukan hanyalah membuka mata dan hati untuk menerima kenyataan bahwa kerangka tim dan pola permainan ideal untuk timnya sudah didapatkan.

Capello tinggal konsisten mempertahankan kerangka tim dan pola 4-4-2 ini saat menjalani laga tandang di Belarus, Rabu (15/10) nanti. Ia juga harus gigih mempertahankan duet Gerrard-Lampard sebagai tulang punggung lini tengah. Seperti halnya ia juga harus berani terus mempercayai Rooney sebagai mesin golnya.

Dengan konsistensi dan kepercayaan penuh dari Capello, saya yakin Gerrard, Lampard, Rooney, bersama kapten John Terry akan membawa Inggris kembali jadi kekuatan yang disegani di Eropa. Bahkan mungkin di putaran final Piala Dunia 2010 nanti. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 13 Oktober 2008)

Selasa, Oktober 07, 2008

Mourinho dan Mulut Besarnya Itu

KEHADIRAN Jose Mourinho di panggung kompetisi Seri A benar-benar membawa warna baru. Kebiasaannya mengumbar kata-kata pedas telah menjadikan kompetisi paling bergengsi di Italia itu terasa lebih hidup, bergairah, sekaligus “makin panas”.

Meski kompetisi baru seumur jagung, Mourinho sudah buka front di sejumlah “medan pertempuran”. Dengan Direktur Sport Catania, Pietro Lo Monaco, ia terlibat perang kata-kata yang menjurus kasar. Lo Monaco bahkan sampai menyatakan “sumpal saja mulut Mourinho” saking kesalnya terhadap arogansi pelatih baru Inter Milan itu.

Tak kalah seru perang kata-katanya dengan Claudio Ranieri. Inilah pelatih yang tergusur dari kursi kepelatihan Chelsea saat Mourinho datang dengan predikat juara antarklub Eropa yang diraihnya bersama FC Porto musim 2003/2004.

Ranieri mengecam Mourinho sebagai pribadi yang tidak terpuji dan bakal segera “termakan” oleh omongannya sendiri. Tanpa basa-basi, “The Special One” balas mengejek Ranieri yang tak becus mengucapkan kalimat sederhana semacam “good morning” padahal pernah empat tahun menangani Chelsea. Mourinho juga mengkritik Ranieri sebagai sosok pelatih kuno dan sulit mengubah cara berpikirnya.

Masih ada lagi sejumlah front lain yang dibangun Mourinho pada awal kehadirannya di “Negeri Pizza”. Ia menyerang Carlo Ancelotti, pelatih AC Milan yang pernah meledeknya karena tak punya latar belakang sebagai pemain hebat. “Mungkin ia lupa, permainan terbaik Milan justru saat ditangani Arrigo Sacchi,” katanya, menyindir. “Dan, seperti saya, Sacchi juga tak pernah jadi pemain hebat.”

Dengan gagah berani, Mourinho juga menantang pers Italia dengan hanya mengirim asisten pelatih Giuseppe Baresi saat jumpa pers usai mengalahkan Lecce. Sebuah sikap yang jamak terjadi di Liga Primer, namun jarang sekali dilakukan para pelatih klub Seri A.

Sederet pertempuran yang dilancarkan Mourinho pada awal musim 2008/2009 ini membuat kompetisi Seri A langsung “panas”. Tak lagi adem-ayem dan menjemukan seperti pada musim-musim sebelumnya.

Yang menarik, Mourinho tampak tenang-tenang saja menghadapi situasi bergejolak itu. Ia tetap tenang, percaya diri, bahkan terus mengendalikan permainan –kalau perlu dengan melancarkan taktik mengaku “kalah”.

Simak saja caranya menyudahi perseteruan dengan Ranieri yang dirasanya mulai menguras energi. “Dia bicara sekali dan dia senang, dia bicara dua kali dan dia lebih senang. Dia bicara tiga kali dan senyum di wajahnya mengembang. Saya bicara sekali saja dan dia sedih,” katanya, menyindir. “Cukup sampai di sini. Skor 3-1 untuknya namun gol saya sangat indah.”

Begitu juga ketika menghadapi tekanan dari pers Italia soal ketidakhadirannya dalam jumpa pers. Mourinho tak kehabisan akal untuk membalikkan keadaan. “Dalam karier saya yang pendek, saya sudah 20 kali mengirim asisten ke konferensi pers. Dan di kesempatan ke-21, disebut tidak menghormati pers. Apa masalahnya?” katanya, sengit.

Ia pun kemudian membeberkan fakta bahwa Baresi sengaja dipilih karena dinilai mengerti betul sejarah Inter. “Saya memilih orang-orang yang bisa mewakili klub dengan martabat dan berkelas. Masalahnya, Anda tidak menghormati orang seperti Baresi,” katanya, menyerang balik.

Alangkah cantiknya “serangan balik” Mourinho itu. Dari perspektif komunikasi, ia tak hanya membuat kalangan pers Italia mati kutu. Lebih dari itu, ia sukses membangun pencitraan yang sangat positif bagi dirinya, Baresi, bahkan Inter Milan sebagai institusi yang mempekerjakannya.

Dari kasus perang kata-kata Mourinho dan pers Italia ini, kita mulai bisa menyelami pola pikir pelatih asal Portugal itu dengan perspektif yang lebih positif. Kuncinya adalah tidak terjebak dalam pemaknaan verbal semata terhadap setiap kata-kata pedas yang dilontarkannya.

Pernyataan dan sikap Mourinho memang mudah bikin jengkel –apalagi bagi para pesaingnya. Tapi, jika ditelisik lebih jauh, sepertinya ia memang sengaja membangun kejengkelan publik itu untuk tujuan lain yang lebih besar.

Dalam kasus Inter, saya “curiga” ia sengaja menempatkan diri sebagai sasaran tembak bagi pers dan “barisan anti-Inter”. Dengan demikian, ia bisa menjauhkan Adriano dan kawan-kawan dari sorotan pers Italia yang terkenal “kejam”.

Pers pun jadi lupa terhadap problem gaya hidup Adriano. Mereka juga tak terlalu cermat mengamati performa Ricardo Quaresma yang kurang mengesankan. Bahkan kekalahan dalam derby Milan pun “terlupakan” karena fokus perhatian publik lebih tertuju kepada sang pelatih.

Mourinho mungkin bukan tipe pelatih yang gaya manajemennya bisa ditiru. Namun, setidaknya, ia bisa jadi alternatif yang menarik sekaligus memberi warna tersendiri. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 6 Oktober 2008)

Rabu, September 24, 2008

Setelah Fathul dan Dian, Apa Masih Perlu Korban Berikutnya?

SAYA pikir tewasnya Fathul Mulyadin yang dianiaya oknum suporter Persipura Jayapura di kawasan Senayan, 6 Februari lalu, akan menjadi musibah maut terakhir dalam persepakbolaan Indonesia. Maklum, kejadian tersebut sudah membawa dampak yang lumayan hebat terhadap kelangsungan kompetisi sepak bola nasional.

Kala itu, Menegpora Adhyaksa Dault sampai melarang Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) digunakan untuk menggelar pertandingan tingkat nasional. “Stadion ini hanya untuk pertandingan internasional dan tidak boleh digunakan PSSI untuk pertandingan tingkat nasional, baik itu Liga Indonesia maupun Copa Indonesia,” Adhyaksa menegaskan, kala itu. “Sayang ‘kan dana Rp 90 miliar yang sudah dikeluarkan untuk membenahi stadion itu.”

Efek bola saljunya pun lumayan merepotkan. Persija Jakarta sempat tak boleh menggelar pertandingan di SUGBK. Alhasil, tim Ibukota ini sampai harus numpang “sana-sini” untuk menggelar laga kandangnya.

Larangan itu baru saja dicabut, awal bulan ini. Senin (22/9) lalu, “Tim Macan Kemayoran” sukses menggelar partai kandang versus Arema Malang di SUGBK –tak ada keributan dan tim tuan rumah menang 1-0. Dua pekan sebelumnya, Persija juga menjamu PSIS di SUGBK dan menuai kemenangan besar 5-0.

Tiba-tiba saja, kita dikejutkan lagi oleh berita tewasnya seorang pendukung Persitara Jakarta Utara atau akrab disapa NJ Mania. Pendukung bernama Dian Rusdiana ini tewas pada Minggu petang setelah menjalani perawatan di RSCM, Jakarta Pusat.

Kabarnya, remaja warga Pademangan Barat, Jakarta Utara, itu menjadi korban penyerangan sekelompok “orang tak dikenal” usai laga Persitara melawan Pelita Jaya di Stadion Lebak Bulus, Sabtu (20/9) malam. Dian dan kawan-kawannya diserang sekelompok pemuda di depan pintu tol Pondok Pinang, Jakarta Selatan, dalam perjalanan pulang dari stadion.

Akibat pengeroyokan itu, Dian mengalami luka di belakang kepala. Semula, luka itu dianggap tak begitu parah sehingga Dian masih diizinkan pulang. Namun, kondisinya kemudian memburuk keesokan harinya sehingga harus dilarikan ke RSCM. Di sanalah, akhirnya, Dian dijemput malaikat maut dalam usia baru 16 tahun.

Saya pun nyaris kehilangan kata-kata untuk menyikapi peristiwa tragis ini. Sebab, bagi saya, selembar nyawa manusia jauh lebih berharga di atas segalanya –kemenangan, gelar juara, solidaritas, fanatisme suporter, atau apapun.

Sudah barang tentu, kasus ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Polisi harus mengusutnya secara tuntas –tak peduli pelakunya dari kelompok mana dan siapa di belakang mereka. Jangan biarkan kasus Dian “berlalu” begitu saja seperti kasus tewasnya Fathul.

Sepak bola dan kompetisi Liga Indonesia digelar untuk tujuan-tujuan yang jauh dari sifat kekerasan. Jika niat yang mulia itu tak bisa diwujudkan dan justru dampak negatifnya yang lebih menonjol, jangan salahkan jika publik semakin alergi terhadap pertandingan sepak bola di Tanah Air. Sepak bola memang penting, tapi nyawa manusia jauh lebih penting! *

Selasa, September 23, 2008

Ketika Manajer Jadi “Boneka”

NELANGSA rasanya melihat tim sekelas Newcastle United dipermalukan West Ham 1-3, Sabtu (20/9) lalu. Tak sekadar kalah, Newcastle bisa dibilang tampil “menyedihkan” dalam laga tersebut. Tanpa determinasi, miskin koordinasi, dan nyaris tanpa konsep bermain yang jelas.

Ada banyak faktor, tentunya, yang membuat Newcastle tampil seburuk itu. Namun, penyebab utamanya jelas ketiadaan sang pelatih di pinggir lapangan. Kevin Keegan sudah angkat kaki sejak 4 September lalu, namun Newcastle tak kunjung mendapatkan penggantinya.

Tapi, siapa pula pelatih bagus mau menerima tawaran Newcastle sekarang ini? Khususnya, setelah misteri ketidakbetahan Keegan sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Jabatan manajer –sebutan untuk posisi yang di sini biasa kita sebut “pelatih”— di Newcastle ternyata tak sementereng namanya.

Padahal, Keegan adalah “The Geordie Messiah”. Dialah yang mengangkat Newcastle kembali ke Liga Primer dengan menjuarai Divisi Satu 1992/1993. Karena polesannya pula Newcastle sempat jadi kekuatan yang disegani pada periode 1992-1997.

Dengan reputasi sehebat itu –ditambah lagi ia pernah menangani tim nasional Inggris, rasanya sulit dipercaya jika Keegan hanya dijadikan “boneka” di Newcastle. Diberi jabatan sebagai manajer, tapi terus “direcoki” oleh Denis Wise selaku direktur sport.

Tapi begitulah realitas Liga Primer saat ini. Zaman baru telah datang ketika kewenangan manajer sebagai penguasa tunggal tim pelan-pelan mulai dielaborasi oleh para pemilik klub yang datang dari antah-berantah.

Keegan bukanlah satu-satunya korban. Pada saat hampir berbarengan, Liga Primer juga kehilangan Alan Curbishley. Salah satu pelatih lokal Inggris paling sukses itu juga terpental dari West Ham karena alasan yang sama. Curbishley tak sudi kewenangannya –terutama dalam operasi transfer— terlalu banyak dikebiri oleh dewan direksi klub.

Namun keduanya bukan korban pertama. Sebelum mereka, ada Jose Mourinho yang lebih dulu merasakan panasnya kursi manajer Chelsea di bawah kendali pemilik klub superkaya seperti Roman Abramovich.

Tanpa tedeng aling-aling, Abramovich menempatkan Frank Arnesen sebagai direktur sport yang membuat peran Mourinho dalam urusan pembelian pemain jadi sangat minimal. Ia juga menempatkan Piet de Visser sebagai penasihat pribadi dengan kewenangan dan akses informasi yang acapkali melebihi sang manajer. Belakangan muncul pula Avram Grant sebagai pengganti Arnesen. Bahkan Grant pula yang akhirnya menggusur posisi Mourinho.

Saat ini pun posisi Rafael Benitez di Liverpool sebenarnya bisa dibilang setali tiga uang dengan Mourinho dulu. Ia memang masih memangku jabatan manajer “The Reds”, namun kewenangannya praktis sangat terbatas.

Terbukti dalam kasus Gareth Barry. Benitez sangat menginginkan gelandang Aston Villa itu bergabung ke Anfield. Namun duet pemilik Tom Hicks dan George N. Gillett tak memberi lampu hijau. Belakangan Kepala Eksekutif Liverpool, Rick Parry, malah menyebut harga 18 juta pound yang “disepakati” Benitez dan manajemen Aston Villa kelewat mahal. Makanya, operasi transfer itu tak pernah direalisasikan.

Dalam struktur manajemen puncak Liverpool memang tak ada posisi direktur sport. Tapi, pada prakteknya, fungsi itu ada dan dijalankan oleh Parry sebagai kepala eksekutif. Maka, fungsi Benitez sebagai manajer sesungguhnya kini tak lebih luas ketimbang allenatore --para sejawatnya di Seri A— atau entrenador, rekan-rekan seprofesinya di La Liga.

Keegan dan Curbishley kini mungkin tak henti mengutuk perubahan sistem manajemen klub Liga Primer yang jauh berubah dibanding semasa meraka masih bermain. Namun mereka mungkin hanya bisa sebatas mengutuk dan meratapi. Tanpa bisa mencegah perubahan ini semakin meluas.

Faktanya, klub-klub di Inggris –bukan sekadar Liga Primer— kini semakin banyak jatuh ke tangan para miliarder lokal maupun asing. Sialnya, acapkali mereka tak kenal kultur dan sejarah klub yang jadi miliknya. Demi mengamankan uang yang sudah ditanamkan, mereka pun kemudian menempatkan orang kepercayaannya dengan fungsi dan kewenangan yang akhirnya lebih banyak jadi masalah baru ketimbang solusi.

Lihat saja kasus Mike Ashley. Ia sama sekali tak paham kalau Keegan adalah “jiwa dan hati” para geordie sejati. Maka, sungguh tak masuk akal ketika Ashley lebih banyak memberi kewenangan kepada Wise ketimbang Keegan sebagai manajer klub.

Ashley juga gemar memamerkan hobinya berpesta dan foya-foya, bahkan nonton di St James’ Park sambil menenteng botol sampanye bersama gadis-gadis muda. Padahal, puluhan ribu pemilik tiket terusan St James’ Park hidup pas-pasan, namun begitu loyal mendedikasikan hidup mereka untuk kejayaan “The Magpies”.

Kelak, mungkin giliran pelatih klub-klub Inggris lainnya yang menghadapi persoalan seperti ini. Dari Manchester United, Arsenal, Manchester City, hingga Queen's Park Rangers kini juga sudah jatuh ke tangan “pengusaha balap” Flavio Briatore dan Bernie Ecclestone.

Nantinya, mungkin hanya akan tersedia dua pilihan bagi Keegan dan kawan-kawan. Mereka harus bersedia berkompromi dengan realitas baru ini atau –seperti sekarang— memilih berhenti saja ketimbang jadi “boneka” yang sama sekali tidak lucu. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 22 September 2008)

Jumat, September 19, 2008

Kita Kehilangan “Karakter” Bang Ronny

SEPAK bola Indonesia berduka. Siang ini, Indonesia kehilangan mantan pemain nasional era 1970 dan 1980-an, Ronny Pattinasarany. Ia meninggal dunia dalam usia 58 tahun di Omni Medical Centre, Jakarta Timur, pukul 13.30 WIB.

Kepergian Bang Ronny –demikian sapaan akrab saya kepadanya— mungkin tak terlalu mengagetkan para sahabat dan kenalannya. Pasalnya, ia sudah cukup lama menderita kanker hati, paru-paru, dan tulang belakang. Bahkan sempat menjalani pengobatan di Cina, sebelum kembali ke Jakarta, 31 Agustus lalu.

Kanker ganas itu semula hanya menggerogoti pankreas Bang Ronny. Namun kemudian menjalar ke lever sebelum dipastikan ikut menghancurkan tulang belakang dan paru-parunya. Makanya, saat dibawa ke Omni Medical Centre, kondisi Bang Ronny terlihat sudah sangat lemah.

Saya mendapat kabar bahwa jenasah Bang Ronny akan dikebumikan pada Minggu (21/9) nanti. Rencananya, ia bakal dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak-anaknya.

Tentu saja, saya ikut merasa kehilangan atas kepergian lelaki jangkung yang simpatik itu. Meski bukan tergolong sahabat dekatnya, setidaknya saya pernah cukup sering bertemu dan berinteraksi dengan Bang Ronny selama bergabung di tim RCTI Sports.

Hampir tujuh tahun, 1995-2002, kami sama-sama jadi komentator di stasiun televisi yang dulu dimiliki Grup Bimantara itu. Kadang kami sekadar berpapasan saat bergantian masuk studio, tapi tak jarang pula duduk semeja sebagai sesama komentator.

Ada dua hal yang selalu saya ingat tentang sosok Bang Ronny sebagai komentator. Yang pertama, Bang Ronny sering sekali melontarkan pernyataan ini: “siapa yang menguasai lini tengah, dialah yang akan menguasai pertandingan”.

Saya termasuk yang kurang setuju terhadap hipotesis tersebut. Tapi cukup banyak komentator lain yang sempat mengikuti arus pemikiran Bang Ronny. Meski, belakangan, hipotesis ini mulai ditinggalkan karena fakta di lapangan sering menunjukkan hal yang justru bertolak belakang.

Tapi saya sangat memahami mengapa Bang Ronny punya pandangan seperti itu terhadap permainan. Sebab beliau menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai pemain lini tengah –bahkan pengatur serangan alias playmaker— yang disegani kawan maupun lawan.

Saya bersyukur beberapa kali pernah main bola dalam satu lapangan dengan Bang Ronny. Dan selalu berada di tim yang jadi lawannya. Selama itu pula, tim saya selalu kalah dan saya dibuat terpukau oleh sentuhan-sentuhan Bang Ronny yang tetap luar biasa hingga masa tuanya.

Hal kedua yang selalu mengingatkan saya kepada Bang Ronny adalah kata “karakter”. Boleh percaya atau tidak, dalam setiap ulasannya Bang Ronny nyaris tak pernah alpa menyisipkan kata “karakter” tersebut beserta konteksnya.

Saya dan teman-teman sering tersenyum simpul setiap kali kata “karakter” itu terlontar dari mulut Bang Ronny. Itulah ciri khas beliau. Itu sekaligus pula menggambarkan pandangan Bang Ronny mengenai permainan.

Bang Ronny begitu peduli dan mementingkan aspek karakter itu. Dan, kepada saya, beberapa kali ia mengutarakan keprihatinannya terhadap para pemain Indonesia masa kini yang dinilainya kurang berkarakter. Mungkin karena itulah ia kemudian memilih menceburkan diri dalam pembinaan pemain usia dini lewat SSB AS-IOP.

Sudah agak lama saya tak mendengar kata “karakter” itu meluncur dalam ulasan-ulasan Bang Ronny di televisi –khususnya setelah ia divonis menderita kanker hati sejak Desember 2007. Sekarang, saya bahkan kehilangan kesempatan mendengarkannya lagi untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Bang! *

Rabu, September 17, 2008

Salut untuk Ketegasan Komdis dan Pengurus PSM

AKHIRNYA, hari ini, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan hukuman atas kasus kerusuhan di Stadion Mattoanging Andi Mattalatta, Senin (15/9) malam lalu. Komdis menjatuhkan hukuman lumayan berat kepada suporter PSM Makassar berupa larangan memasuki stadion-stadion di seluruh Indonesia dengan menggunakan atribut perkumpulan mereka selama satu tahun.

Bukan hanya itu. Tim PSM sendiri juga dihukum menggelar dua laga berikutnya tanpa penonton. Mereka masih harus membayar denda Rp 20 juta dan berkewajiban memperbaiki fasilitas-fasilitas stadion yang rusak.

Hukuman itu, menurut Ketua Komdis PSSI Hinca Pandjaitan, terkait kerusuhan pada laga PSM versus Persela Lamongan dalam lanjutan Liga Super Indonesia. Merujuk Pasal 73 dan 74 Ayat 1 Kode Disiplin, panitia pelaksana di Makassar dianggap gagal melakukan tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan sehingga layak dijatuhi hukuman.

Sebenarnya tak hanya kasus PSM versus Persela yang disidangkan oleh Komdis kali ini. Masih ada lagi kasus kerusuhan pada laga Arema Malang versus PKT Bontang di Malang, 13 September lalu. Juga kasus kekerasan yang dilakukan kiper Persiwa, Timotius Mote, saat menghadapi Pelita Jaya di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung. Mote terbukti menanduk kepala striker Pelita Jaya, Rudi Widodo, pada laga tersebut.

Namun, tak bisa dimungkiri, kerusuhan di Makassar yang paling menyedot perhatian. Tak hanya karena skala kerusuhannya yang tergolong serius. Antara lain, diwarnai aksi saling lempar antara petugas pertandingan dan aparat keamanan melawan para perusuh. Bahkan, kabarnya, aksi pengejaran terhadap para perusuh dilakukan hingga keluar kawasan stadion.

Lebih dari itu, kasus ini juga terbilang “sensitif” karena melibat PSM. Selama ini, ada anggapan kuat bahwa “Tim Ayam Jantan” mendapat perlakuan dan perlindungan khusus karena sejumlah pengurus teras PSSI dan BLI punya ikatan emosional yang kental dengan tim asal Sulawesi Selatan itu.

Komdis telah memupus stigma negatif itu dengan keputusannya yang terbilang tegas dan berani terhadap PSM dan suporternya. Untuk itu, rasanya kita perlu angkat jempol untuk ketegasan sikap Komdis kali ini.

Namun saya juga merasa perlu angkat jempol untuk pengurus PSM. Bayangkan, sebelum Komdis menjatuhkan vonisnya, pengurus PSM bahkan sudah menyiapkan diri untuk terusir dari Mattoanging. Mereka langsung menunjuk Stadion Sempaja di Samarinda sebagai kandang usirannya.

Dengan tegas, pengurus PSM juga menyatakan tak akan menentang vonis Komdis terhadap para pendukungnya. “Kami tidak akan membela. Kalaupun BLI menghukum suporter, biarlah. Hukuman itu juga sebagai bagian dari tindakan anarkis mereka,” kata Nurmal Idrus, Asisten Manajer PSM Bidang Humas.

Alangkah indahnya jika semua pelaku sepak bola Indonesia bisa sebijak Nurmal dalam menyikapi persoalan seperti ini. Ketimbang “kasak-kusuk” melobi pengurus PSSI atau membela diri sekenanya, ia memilih bersikap legawa dan melihat sisi positif sanksi dari Komdis untuk masa depan PSM yang lebih baik.

Sikap Nurmal –mewakili pengurus PSM lainnya, tentu— itulah yang membuat Komdis lebih leluasa mengadili kerusuhan di Makassar. Secara tak langsung, itu juga membuka ruang bagi terciptanya konsistensi penegakan hukum dan aturan main di jagat sepak bola Indonesia yang biasanya penuh nuansa abu-abu.

Salut buat Anda, Bung Nurmal, dan para pengurus teras PSM lainnya! Terus tumbuhkan sikap profesional seperti ini agar sepak bola Indonesia lebih cepat maju dan dewasa. *

Senin, September 15, 2008

Biarkan Uang Al Fahim Bicara

DUA pekan terakhir, Liga Primer seperti terseret mesin waktu. Kembali ke masa lalu dan terjebak dalam polemik klasik yang mungkin tak ada habisnya. Perlukah Liga Primer dilindungi dari cengkeraman investor asing yang datang dengan kekuatan finansial luar biasa –semacam Dr Sulaiman Al Fahim di Manchester City?

Isu ini menggelinding kencang sejak Al Fahim mengambil-alih saham City dari tangan Thaksin Shinawatra, akhir Agustus lalu. Pasalnya, Al Fahim seperti enteng saja saat menggelontorkan dana 150 juta pound untuk jadi penguasa baru “The Citizens”.

Kehadiran Al Fahim segera meruntuhkan “kebesaran” Chelsea yang mengandalkan kekuatan dana miliarder Rusia, Roman Abramovich. Dan mata dunia semakin terbelalak saat mengetahui bahwa kekayaan keluarga Al Fahim, konon, 20-30 kali lipat lebih besar dibanding Abramovich!

Hanya dalam hitungan hari, Al Fahim meneruskan gebrakannya dengan langsung “meneror” klub-klub raksasa. Ia mencoba membeli Kaka dari AC Milan, Fernando Torres dari Liverpool, Cristiano Ronaldo dari Manchester United, dan lain-lain.

Memang, pada akhirnya, hampir semua tawaran itu kandas. Hanya Robinho yang sukses diboyong dari Real Madrid dengan rekor transfer Liga Primer sebesar 32,5 juta pound. Tapi, masalahnya, siapa bisa menjamin Al Fahim tak akan “lebih mengamuk” pada bursa transfer kedua, Januari mendatang.

Itulah yang bikin risau para petinggi klub besar yang kadung menikmati kemapanan situasi saat ini. Dengan sinis, Arsene Wenger meminta agar sepak bola dilindungi sehingga tidak menjadi “supermarket” bagi para investor superkaya.

Pemikiran Wenger bak gayung bersambut dengan suara dua orang penting di dunia olahraga Inggris. Menteri Kebudayaan Andy Burnham dan Ketua FA Lord Triesman sama-sama meminta perhatian publik akan meningkatkan kepemilikan klub-klub Liga Primer oleh investor asing.

Sekadar imbauan untuk membangun wacana, tentu sah-sah saja. Namun saya meragukan efektivitasnya. Lebih dari itu, rasanya kita malah perlu balik bertanya. Mengapa harus merisaukan kehadiran para investor baru hanya karena mereka lebih padat modal?

Ketika Liga Primer membuka diri terhadap investor asing sejak awal milenium baru ini, sesungguhnya mereka telah membuat keputusan besar yang sangat berani. Pasalnya, Liga Primer adalah salah satu kompetisi paling atraktif dan disiarkan di berbagai belahan dunia.

Tak mengherankan jika terbukanya keran kepemilikan itu seperti madu yang segera memikat para kumbang. Orang-orang seperti Abramovich, Malcolm Glazer, Stan Kroenke, Tom Hicks, hingga Al Fahim kemudian berduyun-duyung datang membawa harta karunnya.

Liga Primer bukannya tak menikmati berkah kemewahan modal berlimpah itu. Chelsea bisa jadi kekuatan baru di Inggris dan Eropa berkat uang minyak dari Rusia. MU jadi klub terkaya sedunia –menggantikan Real Madrid— juga terjadi pada era Glazer. Maka, terasa naif dan ironis jika Inggris kini meributkan kedatangan Al Fahim.

Lagipula, di dunia sepak bola, masih berlaku “teori” bahwa uang tak bisa membeli gelar juara. Kalaupun bisa, itu hanya sementara. Selanjutnya, bakat dan kualitas juga yang pada akhirnya lebih berbicara.

Kita sudah melihat bagaimana Real Madrid menggelontorkan triliunan rupiah untuk membeli hampir semua bintang terbaik dunia pada kurun waktu 2000-2006. Hasilnya, mereka memang sukses dua kali meraih gelar juara La Liga, Liga Champions, dan Piala Raja.

Namun, begitu era Zidane –primadonanya “Los Galacticos”— berakhir, usai pula kejayaan Madrid. Takhta sepak bola Eropa kini beralih ke tangan klub-klub Liga Primer.

Hal yang sama telah dialami Chelsea. Setelah menguasai Liga Primer dua musim beruntun pada 2005-2006, kini “The Blues” harus merelakan kembalinya “Tim Setan Merah” sebagai penguasa Liga Primer.

“Hikayat” Al Fahim di City pun rasanya tak akan jauh berbeda. Mungkin benar ia bisa mendatangkan 18 pemain megabintang untuk musim 2009/2010. Mungkin juga benar, dengan modal 18 bintang hebat itu, City akhirnya sukses menjuarai Liga Primer. Bahkan mungkin Liga Champions pada musim selanjutnya.

Namun tak ada jaminan sukses itu akan bertahan lama. Bisa dua musim seperti Chelsea sudah bagus, namun untuk bertahan hingga enam musim seperti Madrid akan sangat sulit. Sebab fondasi tim City tak sekuat Madrid maupun Chelsea.

Belum lagi ancaman datangnya konglomerat lain yang –siapa tahu— lebih kaya lagi dibanding Al Fahim. Ini bukan mimpi atau utopia karena publik Inggris juga pernah berpikir seperti itu saat Abramovich pertama kali mendarat di London.

Maka, biarkan uang Al Fahim bicara. Biarkan ia mendatangkan Kaka, Gianluigi Buffon, David Villa, atau entah siapa lagi. Biarkan juga ia mengubah peta persaingan Liga Primer tak lagi sebatas “The Big Four”, tapi meluas jadi “The Big Five”, “The Big Six”, atau apapun namanya.

Faktor kunci yang membuat permainan sepak bola jadi menarik adalah elemen kejutannya. Nah, orang-orang seperti Al Fahim punya kuasa menciptakan elemen-elemen kejutan itu. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 15 September 2008)

Selasa, September 09, 2008

“Alhamdulillah, Saya Lolos Verifikasi Faktual”

AKHIRNYA, saya lolos verifikasi faktual sebagai bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) 2009-2014 di Daerah Pemilihan Jawa Barat. Setelah menjalani proses verifikasi yang panjang oleh KPU Provinsi Jabar selama hampir dua bulan, saya dinyatakan lolos bersama 25 bakal calon lainnya.

Akhir pekan lalu, saya sudah ditelepon salah seorang staf KPU Provinsi Jabar yang mengabarkan bahwa saya lolos verifikasi faktual. Saya tak bisa menyatakan lain, kecuali mengucap syukur alhamdulillah. Maklum, proses verifikasi ini sungguh sangat menguras konsentrasi saya dan teman-teman pendukung saya di daerah.

Bayangkan, untuk sekadar memenuhi persyaratan sebagai bakal calon anggota DPD RI, saya harus melampirkan dukungan dari minimal lima ribu pendukung. Dan mereka harus tersebar di 50 persen kabupaten dan kota di Jawa Barat.

Syukurlah, berkat bantuan teman-teman, dukungan bagi saya bisa mencapai sekitar 5.500 suara. Sebagian besar berasal dari Kota dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, serta Kabupaten Cirebon. Simpatisan di daerah-daerah lain tidak sempat tergarap karena keterbatasan waktu.

Sebanyak 10 persen dari total pendukung saya itulah yang diverifikasi oleh KPU Provinsi Jabar untuk membuktikan kebenaran dukungan mereka. Di situlah kesulitannya. Sebab tidak mudah menyesuaikan jadwal kedatangan petugas verifikasi dengan aktivitas harian para pendukung saya yang mayoritas pekerja swasta, pelajar-mahasiswa, dan kalangan muda penggemar olahraga.

Toh, semua kesulitan itu kini sudah terlewati. Selanjutnya nama saya dan 25 bakal calon lainnya dikirim ke KPU Pusat di Jakarta untuk menjalani verifikasi lanjutan. Setelah itu, nama-nama bakal calon anggota DPD RI Dapil Jabar ini bakal dicantumkan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) untuk mendapat tanggapan dari masyarakat. Sebelum akhirnya masuk Daftar Calon Tetap (DCT) yang akan dipilih pada Pemilu Legislatif, 9 April tahun depan.

Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan dari para simpatisan dan pendukung saya selama ini. Semoga saya bisa mengemban kepercayaan Anda semua. Yang jelas, jika terpilih mewakili Jawa Barat, sebagai wakil generasi muda saya berharap bisa memberikan “warna baru” di DPD RI nanti. Saya juga berharap bisa ikut mendorong percepatan pembangunan di Jawa Barat dan pemerataan hasil-hasilnya. Amien. *

Capello Mulai Menghitung Mundur

BARCELONA mestinya tempat yang ideal untuk memulai sebuah perhelatan besar pada September ini. Puncak cuaca panas sudah berlalu, tapi aroma musim liburan masih terasa di sana. Ditandai dengan suasana kota yang semarak dan pantainya yang masih dipadati para pelancong mancanegara.

Namun Barcelona tampaknya bukan kota yang cukup bersahabat bagi tim nasional Inggris. Pada laga pertama kualifikasi Piala Dunia 2010 Zona Eropa Grup 6, “The Three Lions” ternyata harus berjuang keras untuk sekadar menang 2-0 atas tim lemah Andorra –negeri terkecil kelima di Eropa.

Padahal, laga ini seharusnya sekadar “pemanasan” bagi tim asuhan Fabio Capello. Pertarungan sebenarnya baru akan mereka hadapi pada laga kedua lawan Kroasia. Inilah partai balas dendam terhadap tim yang memupus harapan Inggris lolos ke putaran final Piala Eropa 2008.

Lagipula, tak ada yang bisa dibanggakan oleh Andorra –negeri dengan penduduk hanya 72 ribu jiwa. Sebagian besar para pemainnya hanya main di klub semiamatir dan sehari-hari menekuni profesi lain di luar lapangan hijau. Bisa dihitung dengan jari pemain Andorra yang sepenuhnya berkarier sebagai pesepak bola profesional.

Jangan lupa, 28 Maret 2007, Inggris juga pernah membungkam Andorra dengan skor telak 3-0. Padahal, saat itu, Inggris tengah mengalami periode sulit semasa ditangani Steve McClaren. Toh masih bisa menang besar.

Sangat wajar jika kemenangan 2-0 kali ini diterima publik Inggris dengan penuh tanda tanya. Mengapa tim ini tidak bisa tampil lebih baik di tangan Capello? Dengan performa seperti ini, masih bisakah mereka lolos ke Afrika Selatan 2010?

Keraguan memang wajar mengemuka. Pasalnya, Capello datang dengan reputasi harum berkat deretan suksesnya bersama Real Madrid, AS Roma, hingga AC Milan. Namun, di tangannya, penampilan Inggris tak lebih bagus dibanding era McClaren maupun Sven Goran Eriksson.

Wajar jika pelatih Andorra, David Rodrigo, justru merasa bangga terhadap timnya. “Sekalipun papan skor menunjukkan kami kalah 0-2, tapi kami bangga. Kami menampilkan sebuah permainan yang sangat terorganisasi dalam bertahan,” katanya, penuh semangat. “Kami melawan Inggris, sebuah tim besar dan penting, dan kami hanya kalah dua gol. Kami merasa menang secara moral malam ini.”

Wajar pula jika suara-suara skeptis terhadap kepemimpinan Capello mulai bermunculan. Bahkan disuarakan langsung oleh para pelatih klub Liga Primer –salah satunya Harry Redknapp dari Portsmouth— yang biasanya cukup “sopan” terhadap arsitek tim nasionalnya.

Di luar dugaan, Capello menanggapi “serangan” itu dengan sikap defensif khas Italia. Ia meminta para koleganya di Liga Primer agar menaruh respek terhadap posisinya di tim nasional. Seperti halnya ia mengaku menghormati posisi mereka di klubnya.

Reaksi Capello itu sungguh di luar perkiraan. Meski sudah beberapa bulan memasuki sepak bola Inggris, ternyata ia masih terlalu kental dengan kultur sepak bola negeri asalnya. Ia masih alergi terhadap kritik, terkesan selalu menjaga jarak, dan tetap menjadikan hasil akhir sebagai tujuan utama.

Makanya, Capello seperti tak hirau akan mandulnya Wayne Rooney. Padahal, tim nasional Inggris punya tradisi sukses bersama para penyerang suburnya, dari era Bobby Charlton, Gary Lineker, Alan Shearer, hingga Michael Owen.

Ia juga tak ambil pusing terhadap buruknya kinerja lini tengah Inggris sekarang ini. Padahal, seperti halnya Eriksson dan McClaren, ia juga belum mampu menemukan formula yang tepat atas keberadaan Steven Gerrard, Frank Lampard, dan Gareth Barry di lini tengah.

Cederanya Gerrard yang berbuntut operasi pangkal paha –menjelang laga lawan Andorra dan Kroasia— mungkin hanya sebuah kebetulan. Namun, jika Gerrard tak kecewa dimainkan di sayap kiri saat menghadapi Republik Ceko, sangat mungkin ia akan memilih menunda operasi ini.

Satu per satu, Capello memang mulai mengecewakan orang-orang di sekelilingnya. Mereka yang semula mengagumi reputasinya dan berharap banyak akan tuah “tangan dinginnya”.

Lalu, apa jawaban Capello tentang hal ini? “Saya percaya penuh terhadap tim ini. Kami baru saja memulai perjalanan menuju Afrika Selatan,” katanya, mantap.

Lagi-lagi, Capello menunjukkan sisi ke-italia-annya yang kental. Namun, kali ini, ia memang membutuhkannya. Karena mungkin tinggal itulah modal terbesarnya untuk membangun sukses bersama tim nasional Inggris. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 8 September 2008)

Kamis, September 04, 2008

“Bulan Madu” Inter Milan Berakhir

HASIL mengecewakan diraih juara bertahan Inter Milan di kandang Sampdoria, Sabtu (30/8) atau Minggu dini hari WIB. Mereka dipaksa pulang hanya membawa satu angka pada partai perdana kompetisi Seri A Italia musim 2008/2009.

Inter bahkan bisa dibilang cukup beruntung mampu memaksakan hasil imbang. Pasalnya, meski bikin gol lebih dulu melalui Zlatan Ibrahimovic, permainan Inter hanya bagus pada babak pertama. Babak selanjutnya, Sampdoria menekan balik dan mengendalikan permainan sebelum akhirnya menyamakan kedudukan lewat gol Gennaro Delvecchio.

Memang, pelatih Jose Mourinho mengaku tak terlalu kecewa atas hasil tersebut. Imbang di kandang lawan sekelas Sampdoria, menurutnya, bukan “musibah”. Lagipula, ia menambahkan, Seri A itu lebih mirip lomba maraton, bukan adu sprint. Artinya, bukan start awal yang terpenting, melainkan hasil akhir di pengujung musim nanti.

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa hasil imbang ini tetap mengecewakan. Setidaknya, gagal memenuhi harapan pecinta sepak bola Seri A yang memperkirakan “Nerazzurri” akan makin superior dengan kehadiran Mourinho yang dikenal bertangan dingin.

Kendati demikian, bagi saya, hasil imbang ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Ada banyak faktor yang membuat Inter kesulitan mengembangkan “kecepatan” pada awal musim kompetisi ini.

Yang pertama, jelas faktor Mourinho sendiri. Kehadiran pelatih baru selalu membawa konsekuensi perubahan bagi timnya. Tak hanya strategi permainan, tapi juga metoda latihan, strategi transfer, hingga sistem komunikasi internal di dalam tim.

Apalagi Mourinho dikenal sebagai pelatih yang kuat pendirian dan selalu gigih mempertahankan konsepnya. Benturan-benturan kecil tak bisa dihindari dengan Presiden Massimo Moratti maupun Direktur Teknik Marco Branca.

Contoh kecilnya terlihat dalam kasus Ricardo Quaresma. Mourinho sangat menginginkan Quaresma sebab Inter tak punya pemain sayap yang cepat dan bisa menusuk. Namun Moratti maupun Branca tak terlalu antusias menyikapinya –meskipun akhirnya didatangkan juga.

Yang kedua, situasi internal Inter juga tak terlalu kondusif. Mourinho merasa skuatnya terlalu besar dan butuh perampingan. Hanya saja, perampingan itu berjalan lamban karena pemain yang hendak dilepas –seperti Olivier Dacourt, Dejan Stankovic, Pele, atau Nelson Rivas— tak terlalu diminati klub lain.

Di sisi lain, skuat Inter saat ini dihuni banyak “pasien” –sebagian bahkan sudah lumayan lama berkutat dengan cederanya. Akibatnya, pada laga lawan Sampdoria maupun partai-partai lain selama pramusim, gelandang Esteban Cambiasso terpaksa dimainkan sebagai stopper. Maklum, Walter Samuel, Nicolas Burdisso, Ivan Cordoba, Christian Chivu, hingga Rivas masih menjalani perawatan.

Faktor ketiga sekaligus yang terpenting, persaingan kini semakin ketat. Tiga musim setelah skandal Calciopoli berlalu, para pesaing Inter tampaknya mulai bangkit membenahi skuatnya secara lebih serius. Lazio, Fiorentina, dan Juventus sudah melakukannya meski masih “setengah hati”.

Musim ini, giliran AC Milan melakukannya dan “sepenuh hati”. Tak tanggung-tanggung, mereka mendatangkan kembali Andriy Shevchenko dan merekrut Ronaldinho. Milan juga memperkuat lini pertahanan dengan memboyong Philippe Senderos dan gelandang bertahan Mathieu Flamini. Bisa dibilang, kini Milan sama kuatnya dengan Inter di semua lini.

Dua musim terakhir ini, klub-klub Seri A seperti berkompetisi sekadar untuk jadi runner-up di bawah Inter. Musim ini, untuk pertama kalinya sesudah “gempa” Calciopoli, publik Seri A bisa merasakan kembali makna kompetisi yang sebenarnya. Setidaknya, tak ada lagi istilah Inter “sudah pasti juara” sebelum kompetisinya itu sendiri dimulai. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 1 September 2008)