Senin, November 24, 2008

Kasus Gallas, Ujian Kepemimpinan Wenger

LIGA Primer pekan ini memberi satu pelajaran menarik tentang kepemimpinan dalam manajemen tim. Lebih spesifik lagi, tentang pergulatan menghadapi krisis kepemimpinan di tim sepak bola profesional sekelas Arsenal.

Krisis di Arsenal itu “dipicu” kebiasaan buruk kapten kesebelasan William Gallas bicara terlalu blak-blakan. Tanpa sungkan, ia kerap melontarkan kritik terbuka kepada para juniornya, seperti Theo Walcott, Cesc Fabregas, Nicklas Bendtner, dan belakangan Samir Nasri.

Tanpa tedeng aling-aling, ia juga mencemooh mental dan semangat bertanding rekan-rekannya usai kalah 0-2 dari Aston Villa. Gallas menuding para koleganya kurang berani bertarung di lapangan, khususnya saat menghadapi tim-tim yang secara kualitas sebenarnya di bawah Arsenal. “Kami harus lebih bersikap sebagai pejuang. Hanya dengan cara itulah tim ini bisa bekerja dan menunjukkan karakter serta pengalamannya,” Gallas menyindir.

Di sisi lain, Gallas mengungkapkan pula bahwa sebagian bintang muda Arsenal dinilainya mulai bersikap jemawa. Mereka kurang menghormati posisi dirinya sebagai kapten, bahkan tak menunjukkan respek yang cukup terhadap para pemain senior lainnya.

Puncak kebablasan Gallas ditunjukkan dengan keberaniannya menunjuk hidung pemain yang disebutnya “kurang ajar” kepada dirinya saat jeda laga melawan Tottenham Hotspur. Meski tak menyebut nama, ia memberi isyarat jelas bahwa usia pemain tersebut lima tahun lebih muda ketimbang dirinya. Hanya ada tiga nama dalam kategori itu: Robin van Persie, Bacary Sagna, dan Emmanuel Eboue.

“Tim Gudang Peluru” itu pun “kebakaran jenggot”. Pelatih Arsene Wenger murka, para bintang Arsenal tempo dulu kecewa, dan publik Emirates pun meradang. Dengan berat hati, Wenger harus mencoret nama Gallas dari tim yang dibawanya melawat ke kandang Manchester City.

Sampai di situ, fungsi kepemimpinan masih berjalan sempurna. Wenger tetap mengendalikan tim dengan baik dan “The Gunners” masih berjalan di relnya. Sampai kemudian pukulan telak datang ketika Arsenal tanpa Gallas digilas habis 0-3 oleh Manchester City.

Pada titik inilah problematika kepemimpinan mulai muncul. Keputusan Wenger “memecat” Gallas –meskipun mungkin hanya sementara— memang mampu mengakomodasi harapan para pengikutnya, yakni pemain lain dan publik Emirates. Itulah aplikasi teori (salah satu) sifat kepemimpinan menurut Keith Davis.

Masalahnya kemudian, kebijakan yang akomodatif tak selalu efektif. Seperti tampak dalam kasus Gallas ini. Tanpa bek tangguh asal Prancis itu, lini pertahanan Arsenal jadi rapuh, kurang koordinasi, bahkan jadi titik lemah sistem permainan tim secara keseluruhan.

Di sinilah Wenger menghadapi ujian berat sebagai pemimpin pasukan dari London utara itu. Sebab, lagi-lagi menurut Davis, pemimpin yang baik juga harus bisa menunjukkan satu sifat penting lainnya untuk mencapai keberhasilan. Tak sekadar mengikuti, ia juga harus memiliki kecerdasan lebih dibanding pengikutnya.

Syukurlah, Wenger memiliki sifat-sifat tersebut. Setelah dikalahkan City, ia langsung menyatakan bahwa Gallas masih punya masa depan di Arsenal. Syaratnya, kata Wenger, ia harus berani meminta maaf kepada rekan-rekan setimnya.

Itu keputusan yang sangat cerdas dari pelatih yang memang punya julukan “Profesor” itu. Di satu sisi, Wenger bisa mempertahankan Gallas yang sejujurnya masih sangat dibutuhkan timnya. Di sisi lain, ia juga tak kehilangan muka di mata pemain lain.

Secara tak langsung, Wenger juga memberi pembelajaran yang sangat baik kepada Gallas soal kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin bisa saja membuat kesalahan kecil, namun ia tak perlu “dipancung” karena kesalahan semacam itu. Cukup dengan menyadari kesalahannya sehingga ia bisa menjadi pemimpin yang lebih baik. Kapten Gallas yang jadi lebih bijak dan dewasa jauh lebih menguntungkan Arsenal ketimbang harus kehilangan dia sama sekali. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 24 November 2008)

Selasa, November 18, 2008

Bilardo, Maradona, dan Filosofinya

ADA satu cerita menarik ketika Carlos Bilardo memulai tugasnya sebagai pelatih tim nasional Argentina pada Januari 1983. Anda tahu, apa kegiatan pertama yang dilakukannya saat itu? Ya, benar: menemui Maradona!

Bilardo langsung memesan tiket penerbangan pertama ke Spanyol. Ia kemudian bergegas menuju markas Barcelona, klub tempat Maradona bernaung kala itu.

Tanpa sungkan, Bilardo menyatakan kepada Maradona bahwa ia membutuhkan tenaganya. Ia juga meminta kesediaan Maradona menjadi kapten tim “Argentina baru” yang hendak dia bangun.

Padahal, saat itu, karier Maradona agak terseok-seok di Barcelona. Salah satunya karena problem penyakit hepatitis yang sempat menyerangnya. Belum lagi permainan kasar yang dikembangkan para pemain belakang Spanyol membuatnya berkali-kali cedera.

Pengalaman tampil di Piala Dunia 1982 juga ikut mempengaruhi. Piala Dunia pertama bagi “El Pibe de Oro” itu berakhir cukup tragis. Argentina langsung tersingkir di penyisihan grup dan Maradona diusir wasit karena menendang pemain Brasil, Batista.

Toh, semua itu tak mengubah keyakinan Bilardo terhadap Maradona. Nalurinya mengantarkan dirinya kepada keyakinan yang teguh bahwa Madarona adalah sumber kekuatan yang dia butuhkan untuk membangun kembali “Tim Tango”.

Kepercayaan yang luar biasa itulah yang membuat Maradona terharu. Dengan serta-merta, ia menyambut uluran tangan Bilardo dan mengikrarkan pengabdian sepenuh hati. Dan kisah selebihnya, tinggal sejarah yang sudah kita ketahui bersama.

Satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah Bilardo dan Maradona ini adalah pentingnya kepercayaan. Sebuah sukses besar ternyata bisa dimulai dengan modal utama kepercayaan seorang pelatih terhadap pemainnya.

Kepercayaan itulah yang membuat Maradona selalu tampil habis-habisan –bahkan “gila-gilaan”— untuk Argentina. Sebuah kombinasi yang hampir sempurna antara kemauan, kelicikan, kejeniusan, sekaligus kerja keras.

Saya masih ingat betul bagaimana Maradona menjelaskan filosofi bermainnya untuk tim nasional. “Hal pertama yang saya yakinkan terhadap diri sendiri adalah kesadaran bahwa membela tim nasional merupakan hal terpenting di dunia ini,” kata Maradona dalam otobiografinya. “Jika kami harus menempuh perjalanan ribuan dan ribuan kilometer, lakukan. Jika kami harus melakoni empat pertandingan dalam sepekan, mainkan. Jika kami harus tinggal di hotel kecil sehingga anggota tim harus terpisah-pisah, terimalah… Segalanya, segalanya untuk tim nasional, untuk bendera biru dan putih.”

Saya masih sering merinding setiap kali membaca kembali filosofi Maradona ini. Begitu jelas, lugas, tegas, dan sepenuhnya ia jalani dengan tindakan nyata. Itulah yang membuatnya begitu dicintai publik sepak bola Argentina –bahkan mungkin dunia.

Alangkah indahnya jika para pemain tim nasional Indonesia juga mengetahui dan kemudian mengikuti filosofi Maradona tersebut. Mungkin “Tim Merah Putih” tetap tak bisa sehebat Argentina, tapi saya yakin bisa jauh lebih baik dibanding sekarang. *

Senin, November 17, 2008

“Peran Makelele” untuk Arsenal

ADA ribuan bahkan mungkin jutaan kalimat yang pernah dikutip pers dari Florentino Perez selama era kepemimpinannya di Real Madrid pada 2000-2006. Sebuah era yang akan selalu dikenang sebagai salah satu periode keemasan Madrid dengan konsep “galacticos”-nya.

Namun, bagi saya, ada sejumput kecil pernyataannya yang begitu melekat dan sulit hilang dari ingatan. Kalimat-kalimat itu diutarakannya menanggapi kepergian gelandang Claude Makelele ke Chelsea menjelang musim 2003/2004. Setelah Madrid menampik permohonan kenaikan gaji yang diajukan gelandang asal Prancis itu.

“Kami tak akan kehilangan Makelele. Teknik bermainnya hanya rata-rata, ia juga tak punya kecepatan dan
skill untuk melewati pemain lawan. Hampir 90 persen umpannya hanya terarah ke belakang atau samping. Ia pun tak pernah menyundul bola dan sangat jarang mengirim umpan lebih dari tiga meter. Para pemain muda akan datang dan Makelele akan terlupakan.”

Ya, para pemain muda kemudian memang datang dan menjadi anggota skuat baru “Los Merengues”. Namun benarkah Makelele kemudian terlupakan?

Ternyata, tidak sama sekali. Kepindahan ke London tak membuat karier Makelele terpuruk. Sebaliknya, ia menjadi salah satu kunci kebangkitan Chelsea sebagai kekuatan baru di Eropa. Ia ikut membawa “The Blues” dua kali juara Liga Primer, meraih tiga trofi domestik, dan mencapai final Liga Champions musim lalu.

Sebaliknya, sepeninggal Makelele, Madrid justru mengalami era kemunduran. Kedatangan si ganteng David Beckham hanya memperbanyak penjualan kostum. Tapi gagal membantu Madrid mempertahankan –apalagi meningkatkan— performanya.

Saat itulah, banyak pelaku dan pengamat sepak bola mulai menyadari akan pentingnya peran yang dimainkan Makelele untuk tim. Ia mengemban tugas tak populer –bahkan mungkin membosankan— sebagai orang yang selalu teguh berdiri di batas tipis antara zona serangan dan zona pertahanan.

Saat tim kehilangan bola, para pemain belakang serentak mundur seraya berharap Makelele menahan laju serangan atau bahkan merebut bola dari kaki lawan. Sebaliknya, saat tim berbalik menyerang dan semua pemain berebut memasuki pertahanan lawan, mereka juga berharap Makelele yang menjemput bola dari lini pertahanan dan mengantarkannya ke depan.

Itulah fungsi yang sekarang banyak ditafsirkan secara sederhana sebagai peran gelandang bertahan. Meskipun ada juga yang menyebutnya dengan istilah lain: gelandang jangkar, libero midfielder, atau –menurut Rafael Benitez, pelatih Liverpool— holding midfielder.

Apapun namanya, yang jelas, Makelele telah memberi penafsiran baru tentang keragaman fungsi dalam permainan. Ia begitu sukses melakoni sebuah fungsi yang mulanya dianggap sebelah mata namun kini justru sangat disegani. Fungsi itu oleh banyak pihak kini akrab disebut “peran Makelele”.

Liverpool berani membayar 18,6 juta pound untuk mendapatkan Javier Mascherano yang melakoni peran Makelele di Anfield. John Obi Mikel yang kini menggantikan tugas Makelele di Chelsea, juga harus ditebus 16 juta pound dari Lyn Oslo.

Nah, peran Makelele itulah yang kini jadi “missing link” di Arsenal. Makanya, meski bertabur pemain dengan talenta hebat, permainan “The Gunners” cenderung labil. Bisa main luar biasa untuk membungkam Manchester United, tapi kemudian tak berdaya menghadapi Aston Villa.

Arsenal beruntung punya gelandang brilian Cesc Fabregas. Tapi umpan terobosan dan visi bermainnya yang luar biasa itu kini tersia-siakan oleh kesibukan membantu pertahanan yang tak bisa dijalani dengan baik oleh Denilson atau Alexandre Song Billong. Tanpa bola-bola maut dari Fabregas, ketajaman Emmanuel Adebayor pun jadi berkurang.

Arsene Wenger mungkin tak bermaksud mengulangi arogansi Perez ketika membiarkan Mathieu Flamini dan Gilberto Silva hengkang pada akhir musim lalu. Tapi, jika ia tak cepat menyadari absennya “peran Makelele” dalam timnya, “Sang Profesor” mungkin bisa senasib dengan Perez –terdepak dari Stadion Emirates. ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor edisi 17 November 2008)

Jumat, November 14, 2008

Bisakah Villa Menahan Laju Arsenal?

(Big Match Liga Primer Pekan Ini di tvOne)
TAYANGAN Liga Primer di tvOne pekan ini, Sabtu (15/11) mulai pukul 20.30 WIB, tak boleh Anda lewatkan. Sebab yang bakal disiarkan langsung adalah laga bigmatch yang sangat menarik. Arsenal, peringkat ketiga yang pekan lalu sukses menjungkalkan juara bertahan Manchester United (2-1), bakal menjamu Aston Villa.

Penggemar Liga Primer tentu tak sabar menantikan aksi para bintang muda “The Gunners” memainkan kembali orkestra sepak bola indahnya. Apalagi setelah tengah pekan ini “tim lapis kedua” Arsenal sukses menjinakkan Wigan 3-0 di ajang Piala Carling. Sementara “The Villans” baru saja mengalami dua kekalahan beruntun dari Middlesbrough dan Newcastle United.

Namun demikian, meski sekarang hanya menduduki peringkat kelima, saya tetap melihat Villa akan menjadi lawan yang alot bagi tim asuhan Arsene Wenger. Salah satu alasannya karena Villa memainkan sepak bola gaya Inggris tradisional yang “kurang bersahabat” bagi permainan indah Arsenal.

Musim ini, sudah tiga kali Arsenal tumbang di Liga Primer. Semuanya dialami saat menghadapi tim dengan karakter pemainan keras, ngotot, disiplin, dan berani berduel. Mula-mula, “Tim Gudang Peluru” itu menyerah 0-1 kepada Fulham pada 23 Agustus, lalu Hull City 1-2 (27 September), dan paling akhir dikalahkan Stoke City 1-2 pada 1 November lalu.

Nah, Villa juga memainkan sepak bola dengan gaya sama seperti Stoke. Tapi mereka memainkannya lebih canggih karena dukungan materi pemain yang lebih berkualitas. Bahkan saya berani bilang bahwa Villa adalah “the best of the rest” alias tim paling bagus kualitasnya di luar “The Big Four” (MU, Chelsea, Arsenal, dan Liverpool).

Jika Samir Nasri dan Theo Walcott cukup leluasa mengobrak-abrik pertahanan MU dengan modal kecepatan mereka, hal serupa akan sulit terulang esok malam. Villa punya dua full back cepat (Luke Young dan Nicky Shorey) yang akan sanggup meladeni kegesitan Nasri dan Walcott.

Tanpa dominasi di sayap, Arsenal akan dipaksa lebih berani masuk dari lini tengah melalui aksi dan umpan-umpan terobosan Cesc Fabregas. Tapi Fabregas juga tak akan mendapat banyak ruang karena Villa punya gelandang ulet dalam diri Gareth Barry dan Nigel Reo-Coker. Apalagi kondisi fisik keduanya relatif lebih bugar karena tak menjalani laga tengah pekan.

Jika semua pemain Villa tampil disiplin menjalankan strategi serangan balik dan tak terpancing main terbuka, ruang bagi para pemain Arsenal untuk berkreasi akan terasa sempit. Peluang-peluang akan sangat terbatas dan kesempatan para pemain depannya mencetak gol juga menipis.

Di sinilah faktor lini kedua akan menentukan. Fabregas, Denilson, atau Abou Diaby harus lebih agresif dan berani mengambil inisiatif untuk membongkar pertahanan Villa. Tanpa itu, Nicklas Bendtner atau Emmanuel Adebayor akan “terisolasi” di zona pertahanan lawan.

Hasil akhirnya? Saya tetap menjagokan Arsenal, 1-0 atau 2-0. Dengan syarat, jangan biarkan Villa mencuri gol lebih dulu memanfaatkan kecepatan Gabriel Agbonlahor dan Ashley Young. Kalau itu sampai terjadi, William Gallas dan kawan-kawan boleh jadi bakal dipaksa puas dengan hasil imbang –atau bahkan kalah. *

Kamis, November 13, 2008

PSIR Rembang, Stanley Mamuaya, dan Rasa Ikut Berdosa Itu

SATU lagi insiden memalukan terjadi dalam kompetisi sepak bola kita. Kejadiannya di Stadion Gelora Ambang Kota Mobagu, Rabu (12/11), saat Persibom Bolaang Mongondow menjamu PSIR Rembang dalam lanjutan kompetisi Divisi Utama Liga Esia.

Sejumlah pemain PSIR diduga kuat melakukan penganiayaan terhadap wasit Muzair Usman serta wasit cadangan Jusman R yang memimpin pertandingan itu. Seperti “biasa”, gara-gara tidak puas atas kepemimpinan wasit yang dianggap memihak tuan rumah.

Kejadiannya berawal ketika wasit Muzair yang berasal dari Kendari itu memberikan penalti kepada Persibom setelah salah satu pemainnya ditebas pemain PSIR di kotak terlarang. Tidak terima atas keputusan itu, sejumlah pemain PSIR yang dimotori beberapa pemain asal Sulawesi Utara langsung mengerubuti sang pengadil.

Tak sekadar mengerubuti, Stanley Mamuaya dan kawan-kawan juga menghadiahi “bogem mentah” sampai wasit Muzair tersungkur. Belum puas memukul, para pemain PSIR yang seperti kesetanan itu menginjak-injak aparat pertandingan sampai harus dilarikan ke rumah sakit karena babak belur. Muzair pun tak mampu melanjutkan tugas dan digantikan wasit cadangan Jusman.

Kejadian serupa nyaris menimpa wasit pengganti. Ia dikejar dan sempat ditelanjangi di tengah lapangan setelah memberikan kartu merah kepada dua pemain PSIR yang melakukan pelanggaran keras, Stanley dan Yongki Rantung. Pertandingan pun sempat terhenti beberapa kali. Sampai akhirnya ditutup dengan keunggulan Persibom 1-0 atas tim asal Jawa Tengah tersebut.

Bukan hasil akhirnya yang penting, namun insiden penganiayaan itu yang kemudian mencuat. Sampai-sampai Menegpora Adhyaksa Dault mengaku geram saat melihat tayangan peristiwa pengeroyokan itu di salah satu televisi swasta.

Adhyaksa meminta agar para pelakunya diseret ke jalur pidana karena aksi mereka dinilainya sudah menjurus kepada penganiayaan dan tindakan brutal. Bahkan ia juga mengharapkan agar pelaku pengeroyokan wasit itu dilarang main bola selamanya, karena mereka telah merusak citra sepak bola Indonesia.

Meskipun terdengar sangat keras, saya kira harapan Menegpora ada benarnya. Aksi Stanley dan kawan-kawan di Stadion Gelora Ambang memang sudah di luar batas kewajaran. Bahkan seperti memutarbalikkan logika akal sehat kita.

Betapa tidak. Mereka main di kandang lawan, tapi perilakunya melebihi kebiasaan para pemain tuan rumah. Stanley itu juga pemain senior yang sarat pengalaman dan pernah masuk tim nasional futsal, tapi tak bisa menjadikan dirinya teladan bagi para juniornya.

Yang menyedihkan, keberanian Stanley dan kawan-kawan ditunjukkan saat Komisi Disiplin PSSI tengah gencar-gencarnya menjatuhkan vonis. Dari Christian Gonzalez, Budi Sudarsono, Manajer PSIS, hingga Ketua Umum Persis Solo semua sudah “tersambar” ketukan palu Komdis. Tapi masih juga Stanley dan kawan-kawan nekat menunjukkan kebrutalannya.

Yang paling menyedihkan, dan ini sangat personal sifatnya, saya mengenal Stanley secara pribadi. Bahkan kami pernah main bola bersama-sama dalam satu tim, pertengahan Mei tahun lalu, di lapangan bola di belakang Kantor Walikota Tomohon, Sulawesi Utara.

Ketika itu, Stanley sempat meminta saya membantu dia mencarikan klub. Tapi saya hanya menjawabnya dengan senyum karena melihat perutnya saat itu mulai membuncit. Kegesitannya di lapangan juga sudah menurun. Belum lagi riwayat cederanya yang lumayan panjang.

Lebih dari itu, saya juga ingat cerita teman saya yang pernah jadi manajer klub tempat Stanley bermain. Menurut teman saya ini, ia nyaris memecat Stanley kala itu karena alasan indisipliner dan perilakunya yang sulit dikendalikan.

“Syukurlah”, saya tak pernah memenuhi permintaan Stanley untuk mendapatkan klub. Jadi, saya tak perlu merasa ikut berdosa kepada wasit Muzair dan Jusman. *

Selasa, November 11, 2008

Laskar Pelangi di Dunia Sepak Bola

ANDA sudah nonton film Laskar Pelangi? Saya kira, kita semua sepakat bahwa film yang bagus sekaligus menghibur ini memberikan pembelajaran yang sangat berharga dalam hal pendidikan.

Tapi sebenarnya pesan moral film ini bisa dimaknai lebih luas lagi. Laskar Pelangi sebenarnya juga memberi pembelajaran bagi dunia sepak bola.

Seorang anak bernama Lintang, yang dikisahkan mempunyai semangat luar biasa untuk belajar, kandas cita-citanya karena terbentur kesulitan hidup. Tak hanya itu, tempat tinggal nun jauh di pelosok pinggiran pantai juga menjadi hambatannya yang lain dalam menuntut ilmu.

Dalam dunia sepak bola, tak mustahil ada berjuta-juta sosok Lintang di berbagai wilayah Indonesia. Seperti Lintang, mereka juga punya cita-cita jadi pemain bola. Bahkan mungkin dikaruniai bakat alam untuk menjadi pemain andal.

Tapi hanya memiliki bakat atau cita-cita, tak cukup untuk mengantar bibit-bibit unggul ini menggapai impiannya. Mereka memerlukan pencari bakat profesional. Namun, sayangnya, pencari bibit pemain di Indonesia masih sangat langka dan belum menjangkau daerah-daerah terpencil.

Padahal, betapa besar peranan pencari bakat dalam mengorbitkan pemain-pemain andal. Pengembangan sepak bola Indonesia juga sangat membutuhkan bibit-bibit unggul yang harus kita cari di berbagai wilayah Tanah Air.

Seorang pencari bakat tak cukup hanya mengandalkan pengetahuan alakadarnya tentang dunia sepak bola. Untuk mencari pemain potensial, ia juga tak bisa sekadar mengandalkan info dari mulut ke mulut. Atau cukup mendatangi sekolah-sekolah sepak bola.

Perlu pengetahuan khusus untuk menjadi pencari bakat profesional. Tidak cukup juga hanya bermodal pengalaman. Di Amerika Serikat bahkan sudah ada pendidikan nonformal khusus untuk belajar tentang pencarian bakat atau scouting talent course yang juga bisa ditempuh lewat pendidikan online delapan minggu. Di antara materi pendidikan yang diberikan adalah metoda untuk memeringkat soccer talent.

Pencarian bakat juga memerlukan sistem jaringan yang sangat kuat di antara berbagai pihak yang terkait. Baik jaringan informasi maupun jaringan sistem scouting sampai perekrutannya. Seperti The Scouting Network di Birmingham, Inggris. Ini jaringan pencarian bakat untuk skala internasional yang menyediakan laporan paling intensif dari seluruh dunia dengan dukungan database lebih dari 30 ribu info tentang pemain dan berbagai penawaran dari tim-tim terkenal.
Agen ini, selain memasok pemain untuk Inggris, juga memasok klub-klub lainnya di Eropa. Mereka pun menerapkan sistem jaringan dengan pembagian wilayah-wilayah pencarian bakat agar setiap kawasan bisa terjangkau secara merata.

Pencarian bakat di negara-negara maju juga memanfaatkan media internet. Di sana, ada semacam bursa untuk mempertemukan talent (pemain), klub, agen, serta pencari bakat itu sendiri.

Sedangkan klub-klub kaya semacam Chelsea, Manchester United, atau AC Milan umumnya membangun jaringan sendiri. Biasanya, mereka memanfaatkan para mantan bintangnya dari kawasan Eropa Timur atau Amerika Latin sebagai “mata” mereka untuk melihat pemain potensial di sana.

Hanya saja, untuk Indonesia, memang agak sulit mengharapkan terbangunnya jaringan pencarian bakat seperti itu. Kendala utamanya, jelas, urusan dana. Nilai kontrak pemain di Indonesia masih terbilang kecil sehingga “bisnis” pencarian bakat belum bisa tumbuh dengan kondisi sekarang ini. “Mengekspor” pemain berbakat ke luar negeri juga belum prospektif karena potensi sepak bola Indonesia belum memiliki pijakan prestasi yang kuat.

Bahkan, banyak para pemain, agen, bahkan pengelola klub yang belum terbiasa memanfaatkan jasa internet. Apalagi untuk pemain yang berasal dari daerah yang belum tersentuh teknologi internet. Akan sulit bagi mereka untuk sekadar mengisi data dan “menjual” diri secara online. Padahal, di banyak negara maju, pencarian bakat melalui internet ini tergolong cukup efektif. *

Minggu, November 09, 2008

Krisis Persebaya, Bukti Kompetisi Kita Semakin Memprihatinkan

MIRIS rasanya mendengar berita seputar Persebaya Surabaya belakangan ini. Tim yang pernah menjadi kutub kekuatan sepak bola nasional namun sekarang hanya berkiprah di Divisi Utama itu seolah tak habis diterjang krisis.

Awal bulan lalu, tim Ibukota Jawa Timur itu sempat melontarkan keinginan mundur dari ajang Copa Dji Sam Soe 2008/2009. Tapi kemudian diurungkan setelah Badan Liga Indonesia (BLI) mengancam akan membatalkan hak mereka ikut kompetisi Liga Super musim depan –jika meraih tiket promosi.

Awal bulan ini, para pemain “Tim Bajul Ijo” juga sempat mengancam mogok latihan. Mereka pun mengancam tak mau mengikuti laga tandang menghadapi PSIM Yogyakarta. Gara-gara pembayaran gaji yang, konon, terus tersendat dalam tiga bulan terakhir ini.

Paling akhir, terbetik kabar bahwa Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, menjual salah satu mobil pribadinya untuk membantu pembayaran gaji pemain yang tertunggak. Langkah serupa dilakukan Ketua Umum Persebaya, Saleh Ismail Mukadar, dan tokoh Persebaya lainnya, Paulus Helly Suyanto.

Kabarnya, mobil wali kota yang dilego adalah Jeep Wrangler 2006 dan laku sekitar Rp 140 juta. Sedangkan Mukadar lebih dulu menjual Toyota Altis-nya tahun 2003 dengan harga Rp 129 juta. Paulus yang juga Ketua Panpel Persebaya menitipkan mobilnya Ford Ranger keluaran 2003 yang dihargai hampir Rp 225 juta.

Hasil penjualan ketiga mobil tersebut ditambah pemasukan dari dua laga kandang sebanyak Rp 57 juta menghasilkan dana segar Rp 551 juta. Toh, itu pun belum banyak menolong karena biaya gaji bulanan yang harus ditanggung Persebaya ditaksir mencapai Rp 663 juta.

Yang lebih menyedihkan, di antara elemen pengurus dan pengelola tim sendiri kini mulai saling serang secara terbuka. Pelatih Freddy Muli menyesalkan sikap Ketua Umum Saleh Mukadar yang menyatakan tak gentar terhadap ancaman mogok dan boikot pemain. Di sisi lain, Asisten Manajer H Ismail menyesalkan sikap Manajer Indah Kurnia yang cenderung lepas tangan menghadapi krisis keuangan yang menimpa Persebaya.

Meski bukan arek Suroboyo, saya merasa ikut sedih dan prihatin melihat kondisi Persebaya yang seperti itu. Dengan kondisi separah itu, apa mungkin mereka bisa dengan tenang mengarungi kompetisi Divisi Utama hingga tuntas –sambil tetap menjalani kewajiban tampil di ajang Copa Dji Sam Soe? Padahal, target mereka adalah promosi ke Liga Super.

Jika tim sebesar Persebaya saja bisa menghadapi kondisi internal separah itu, jangan tanya tim-tim kecil semacam Persikad Kota Depok atau Persibat Batang. Bahkan tim seperti Persema Malang yang pada awal musim seolah begitu enteng “memborong” pemain bintang, faktanya kini juga ikut terseok-seok secara finansial.

Ini jelas bukan gambaran ideal yang kita inginkan dari kompetisi sepak bola nasional. Alih-alih bicara peningkatan mutu permainan dan panasnya persaingan, hampir setiap hari kita justru dijejali cerita-cerita pilu seputar beratnya mengarungi kompetisi Divisi Utama maupun Liga Super.

Saya kira, sudah saatnya semua pihak merenungkan kembali kompetisi kita saat libur tengah musim tiba. PSSI, BLI, serta klub-klub peserta perlu duduk bersama dan bicara terbuka sambil mencari solusi terbaik. Jangan malu untuk mengakui kenyataan paling pahit sekalipun ketimbang memaksakan diri terus menggelar kompetisi jika akhirnya tetap kandas di tengah jalan. *

Rabu, November 05, 2008

Gerrard dan Semangat Pantang Menyerah

BATAS antara kemauan dan keberuntungan acapkali sangat tipis. Bahkan mungkin kita sulit memisahkannya. Seperti yang mungkin sempat Anda lihat pada pertandingan Liverpool lawan Atletico Madrid, Selasa (5/11) atau Rabu dini hari WIB. Semata keberuntungan atau berkat kemauan keraskah gol balasan Liverpool itu akhirnya datang?

Ketika pertandingan tersisa 15 menit dan eskpresi wajah Steven Gerrard tampak mulai pasrah, jutaan pemirsa televisi mengira hasil akhir sudah “ditentukan” –0-1 untuk tim tamu. Kekalahan makin terasa sulit dihindari manakala melihat barisan belakang Atletico tampil begitu tenang, taktis, disiplin, dan penuh percaya diri.

Hampir tak ada ruang untuk masuk bagi Gerrard, David N’Gog, atau Ryan Babel. Apalagi peluang yang didapat melalui tandukan-tandukan Daniel Agger juga selalu menyamping atau terbang di atas mistar.

Sampai akhirnya datang bola “aneh” di pojok kiri kotak penalti Atletico. Bola yang sama sekali tak berbahaya. Apalagi di sana ada bek kiri Mariano Pernia yang tampil kokoh mementahkan hampir semua ancaman Liverpool dari sayap kanan.

Entah apa yang mendorong Pernia memaksakan diri berduel berebut bola itu dengan Gerrard. Padahal, menunggu bola jatuh dan sekadar membayangi Gerrard jauh lebih aman dalam situasi kritis itu.

Lalu terjadilah pelanggaran fatal itu. Gerrard terjatuh, Pernia dikartu kuning, dan eksekusi penalti membuahkan hasil imbang 1-1 bagi Liverpool. Tak terbayang momen dramatis dan menentukan itu bakal terjadi pada menit terakhir perpanjangan waktu. Dan, lagi-lagi, Gerrard yang jadi penyelamat Liverpool.

Saya setuju, keputusan wasit soal penalti ini memang mengundang keraguan dan sangat subyektif. Boleh jadi, di tempat lain dengan wasit berbeda, kejadian sama akan dibiarkan saja hingga laga berakhir.

Tapi, ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut. Kegigihan Gerrard terus memburu peluang sekecil apapun hingga detik-detik terakhir mengajarkan kepada kita untuk tidak pernah menyerah. Setidaknya, sampai wasit membunyikan peluit panjang tanda akhir pertandingan. *

Senin, November 03, 2008

Argentina Memang Butuh Maradona

JIKA dibuat perumpamaan, tim nasional (timnas) Argentina itu ibarat sedan Rolls Royce. Hampir seluruh bagian mobil ini terbuat dari bahan pilihan yang terbaik dan sudah tentu harganya sangat mahal. Wajar jika gengsinya tinggi dan performanya bikin bangga.

Hanya saja, kata Diego Maradona, kini “Tim Tango” lebih mirip Rolls Royce yang dekil. Debu dan kotoran bertebaran di sekujur tubuhnya. Sebagian komponen mobil mungkin juga tak berfungsi secara maksimal karena jarang dimanfaatkan.

Makanya, performa Argentina dalam lima bulan terakhir ini sangat mencemaskan. Mereka hanya mampu mencatat enam kali hasil imbang sebelum menang atas Uruguay. Itu pun langsung disusul kekalahan dari Cile –pertama kalinya dalam 35 tahun terakhir.

Di ajang kualifikasi Piala Dunia 2010 pun demikian. Setelah melewati 10 partai, Lionel Messi dan kawan-kawan hanya menghuni posisi ketiga klasemen sementara Zona Amerika Selatan – di bawah Paraguay dan rival abadinya, Brasil. Argentina bahkan terpaut tujuh angka dengan Paraguay.

Memang, situasinya belum bisa dibilang gawat untuk ukuran normal. Dengan sisa 10 pertandingan lagi, pelatih Alfio Basile akan sangat mampu membawa Javier Mascherano dan kawan-kawan ke putaran final di Afrika Selatan.

Tapi itu untuk ukuran normal. Masalahnya, ini Argentina. Kita bicara tentang tim dengan standar tersendiri. Bagi publik Argentina, performa “Tim Tango” di bawah Basile sudah sampai pada taraf merisaukan sehingga Basile harus dicopot.

Standarnya memang sangat tinggi. Ekspektasi publik terhadap “Albiceleste” bahkan mungkin melebihi pengharapan publik sepak bola di negeri semacam Jerman atau Inggris terhadap tim nasionalnya.

Dalam kondisi seperti sekarang, ditambah ekspektasi publik yang sama sekali tak berkurang, Argentina memang tak punya pilihan selain Maradona. Dialah satu-satunya “dewa sepak bola” negeri Amerika Latin itu yang tak seorang pun berani membantah pandangannya. Bahkan “si anak emas” Messi saja memilih menghindari konflik ketika Maradona mengkritik permainannya yang dinilainya egois.

Apalagi Maradona juga yang dengan jeli melihat kalau Rolls Royce ini sudah berdebu. Ia bahkan mengaku sudah tahu bagaimana cara membersihkan debu-debu itu agar sang sedan mewah bisa kembali menampakkan kilaunya.

Memang benar, pilihan terhadap Maradona bukan tanpa risiko. Seorang pemain jenius kadang tak cukup sabar melihat tim asuhannya tumbuh dan berkembang secara perlahan. Itu pernah dialami Hristo Stoichkov saat menangangi timnas Bulgaria (2004-2007). Juga terjadi pada Dejan Savicevic saat dipercaya menangani timnas Serbia-Montenegro (2001-2003).

Namun, saya yakin, Maradona akan lebih berhasil ketimbang dua rekannya tersebut. Pasalnya, ia tak sendirian mengurusi Rolls Royce ini. Ada Sergio Baptista dan Jose Luis Brown yang jadi asistennya. Keduanya mantan rekan setimnya di tim nasional.

Ia juga akan “dibimbing” oleh Carlos Billardo –pelatihnya saat Maradona mengangkat trofi Piala Dunia 1986— sebagai tangan kanannya. Tugas utama Billardo kelak berkeliling dunia memantau permainan para bintang Argentina di liga mancanegara. Dengan demikian, secara fisik, Maradona yang punya riwayat sakit jantung itu tak akan terlalu terbebani.

Seorang megabintang tak akan bisa benar-benar bersinar tanpa “pemeran pembantu” yang loyal dan berdedikasi di sekelilingnya. Maradona beruntung memiliki “Trio B” –Billardo, Batista, dan Brown— yang akan membantunya mengelola tim nasional dengan akal sehat dan etos kerja yang benar. Tapi kesediaan Maradona menerima “Trio B” itu sendiri menunjukkan perubahan sikap mentalnya yang sangat positif. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 3 November 2008)