Minggu, November 09, 2008

Krisis Persebaya, Bukti Kompetisi Kita Semakin Memprihatinkan

MIRIS rasanya mendengar berita seputar Persebaya Surabaya belakangan ini. Tim yang pernah menjadi kutub kekuatan sepak bola nasional namun sekarang hanya berkiprah di Divisi Utama itu seolah tak habis diterjang krisis.

Awal bulan lalu, tim Ibukota Jawa Timur itu sempat melontarkan keinginan mundur dari ajang Copa Dji Sam Soe 2008/2009. Tapi kemudian diurungkan setelah Badan Liga Indonesia (BLI) mengancam akan membatalkan hak mereka ikut kompetisi Liga Super musim depan –jika meraih tiket promosi.

Awal bulan ini, para pemain “Tim Bajul Ijo” juga sempat mengancam mogok latihan. Mereka pun mengancam tak mau mengikuti laga tandang menghadapi PSIM Yogyakarta. Gara-gara pembayaran gaji yang, konon, terus tersendat dalam tiga bulan terakhir ini.

Paling akhir, terbetik kabar bahwa Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, menjual salah satu mobil pribadinya untuk membantu pembayaran gaji pemain yang tertunggak. Langkah serupa dilakukan Ketua Umum Persebaya, Saleh Ismail Mukadar, dan tokoh Persebaya lainnya, Paulus Helly Suyanto.

Kabarnya, mobil wali kota yang dilego adalah Jeep Wrangler 2006 dan laku sekitar Rp 140 juta. Sedangkan Mukadar lebih dulu menjual Toyota Altis-nya tahun 2003 dengan harga Rp 129 juta. Paulus yang juga Ketua Panpel Persebaya menitipkan mobilnya Ford Ranger keluaran 2003 yang dihargai hampir Rp 225 juta.

Hasil penjualan ketiga mobil tersebut ditambah pemasukan dari dua laga kandang sebanyak Rp 57 juta menghasilkan dana segar Rp 551 juta. Toh, itu pun belum banyak menolong karena biaya gaji bulanan yang harus ditanggung Persebaya ditaksir mencapai Rp 663 juta.

Yang lebih menyedihkan, di antara elemen pengurus dan pengelola tim sendiri kini mulai saling serang secara terbuka. Pelatih Freddy Muli menyesalkan sikap Ketua Umum Saleh Mukadar yang menyatakan tak gentar terhadap ancaman mogok dan boikot pemain. Di sisi lain, Asisten Manajer H Ismail menyesalkan sikap Manajer Indah Kurnia yang cenderung lepas tangan menghadapi krisis keuangan yang menimpa Persebaya.

Meski bukan arek Suroboyo, saya merasa ikut sedih dan prihatin melihat kondisi Persebaya yang seperti itu. Dengan kondisi separah itu, apa mungkin mereka bisa dengan tenang mengarungi kompetisi Divisi Utama hingga tuntas –sambil tetap menjalani kewajiban tampil di ajang Copa Dji Sam Soe? Padahal, target mereka adalah promosi ke Liga Super.

Jika tim sebesar Persebaya saja bisa menghadapi kondisi internal separah itu, jangan tanya tim-tim kecil semacam Persikad Kota Depok atau Persibat Batang. Bahkan tim seperti Persema Malang yang pada awal musim seolah begitu enteng “memborong” pemain bintang, faktanya kini juga ikut terseok-seok secara finansial.

Ini jelas bukan gambaran ideal yang kita inginkan dari kompetisi sepak bola nasional. Alih-alih bicara peningkatan mutu permainan dan panasnya persaingan, hampir setiap hari kita justru dijejali cerita-cerita pilu seputar beratnya mengarungi kompetisi Divisi Utama maupun Liga Super.

Saya kira, sudah saatnya semua pihak merenungkan kembali kompetisi kita saat libur tengah musim tiba. PSSI, BLI, serta klub-klub peserta perlu duduk bersama dan bicara terbuka sambil mencari solusi terbaik. Jangan malu untuk mengakui kenyataan paling pahit sekalipun ketimbang memaksakan diri terus menggelar kompetisi jika akhirnya tetap kandas di tengah jalan. *

Tidak ada komentar: