Selasa, Oktober 27, 2009

Kembali ke UU Nomor 3/2005

(Catatan untuk Menegpora Andi Mallarangeng)

TAK ada kejutan dalam susunan Kabinet Indonesia Bersatu II. Seperti sudah diduga, Andi Alifian Mallarangeng ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora). “Bang Andi” –begitu ia biasa disapa— menggantikan pejabat sebelumnya, Adhyaksa Dault.

Saya jadi ingat, rasanya kami berdua pernah siaran bersama dalam satu layar pada Piala Dunia 2002. Saat itu, Bang Andi yang namanya sedang berkibar sebagai pengamat politik jadi komentator tamu. Sedangkan saya sebagai komentator reguler dari RCTI.

Dari pertemuan sejenak itu, saya menangkap kesan bahwa Bang Andi lumayan paham sepak bola. Lebih penting lagi, ia juga cukup ramah, egaliter, dan mau mendengar sehingga saya yakin Bang Andi akan mudah masuk ke lingkungan baru di bidang kepemudaan dan keolahragaan.

Berangkat dari sepenggal pertemuan singkat itu, saya merasa terpanggil ikut memberi masukan bagi Bang Andi saat memulai tugas barunya di kementerian dengan anggaran Rp 1,6 triliun itu. Khususnya menyangkut bidang keolahragaan yang niscaya akan lebih banyak menyita waktunya kelak.

Begitu banyak permasalahan keolahragaan bakal dihadapi Menegpora pada periode lima tahun ke depan. Dari keinginan PSSI menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia 2022, penyelenggaraan SEA Games 2011, dilema pemakaian dana APBD untuk klub sepak bola, penyusutan lahan dan fasilitas olahraga di perkotaan, anjloknya prestasi Indonesia di pesta olahraga multiajang, rendahnya kesejahteraan atlet, keterlibatan pejabat publik sebagai pengurus olahraga, hingga “dualisme” Menegpora dan Komite Olahraga Nasional/Komite Olimpiade Indonesia (KON/KOI) dalam melaksanakan pembinaan.

Sulit menetapkan mana yang harus diprioritaskan untuk ditangani. Semuanya butuh penanganan segera dan simultan. Padahal, di sisi lain, Menegpora memiliki keterbatasan sumber daya aparatur, anggaran, sarana/prasarana, dan –tentu saja— waktu untuk menangani semuanya. Apalagi urusan Menegpora tak hanya masalah olahraga, tapi juga kepemudaan.

Jelas tak mudah menangani semua itu dan dari mana memulainya. Namun, menurut saya, isu kronis yang butuh prioritas penanganan adalah “dualisme” Menegpora dan KON/KOI dalam melaksanakan pembinaan olahraga. Dan langkah penyelesaiannya bisa dimulai dengan kembali ke Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Inilah “warisan penting” Adhyaksa dan jajarannya selama lima tahun menghuni Kantor Menegpora.

Meski diperjuangkan dengan susah payah dan selalu dibanggakan oleh Adhyaksa, sayangnya selama ini UU SKN justru kurang dijadikan pedoman. Sehingga muncullah “persaingan terselubung” antara Kantor Menegpora dan KON/KOI menyangkut pelaksanaan pembinaan olahraga di Tanah Air.

Melalui Program Atlet Andalan yang biasa disingkat PAL (seharusnya PAA atau Pal), Menegpora menerobos jauh ke wilayah yang selama ini ditangani KON. Padahal, KON selama ini punya sistem Pelatnas yang sudah berjalan puluhan tahun. Kehadiran PAL dan Pelatnas membuat pembinaan olahraga seakan berjalan di dua jalur yang tak sinergis dan tidak terintegrasi dengan baik.

Menegpora dan jajarannya mungkin berpatokan pada Pasal 12 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional”. Selanjutnya, Pasal 21 dan 22 juga memberi ruang sangat besar bagi Menegpora selaku representasi Pemerintah untuk terlibat aktif dalam pembinaan dan pengembangan olahraga. Tak sekadar melalui penetapan kebijakan, tapi juga lewat penataran/pelatihan, kompetisi, hingga pengawasan.

Sementara itu, dalam Bab VIII mengenai Pengelolaan Keolahragaan, Pasal 36 Ayat 4 menyebutkan bahwa KON bertugas membantu Pemerintah dalam membuat kebijakan nasional dalam bidang pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi pada tingkat nasional. KON juga bertugas melaksanakan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi berdasarkan kewenangannya.

Di situlah titik singgungnya. UU SKN terkesan kurang tegas membagi peran antara Menegpora selaku representasi Pemerintah dan KON sebagai perwujudan pemberdayaan peran serta masyarakat sesuai amanat Pasal 5 mengenai Prinsip Penyelenggaraan Keolahragaan. Akibatnya, terjadilah “dualisme” pembinaan itu.

Namun demikian, “ruh” UU SKN sebetulnya cukup jelas mengamanatkan semangat kebersamaan dan partisipasi. Pemerintah diharapkan jadi motor penggerak dalam membangun industri olahraga, sedangkan KON/KOI sebagai tokoh utama dalam membangun prestasi.

Jadi, semestinya, tak perlu ada tarik-menarik. Apalagi Presiden SBY secara tegas selalu menyebut good governance sebagai pilar dalam membangun Indonesia. Mustahil mewujudkan good governance tanpa partisipasi masyarakat. Jadi, Menegpora seharusnya justru memberi ruang sebesar-besarnya kepada KON/KOI serta unsur masyarakat lainnya untuk berperan aktif dalam pembinaan dan pengembangan olahraga.

Semoga Bang Andi dengan cepat bisa mendalami permasalahan keolahragaan Indonesia secara jernih. Sehingga seluruh unsur dalam keolahragaan kita bisa kembali bergandengan tangan menangani pembinaan, memajukan prestasi, serta membangun industri olahraga yang mandiri. Selamat bekerja! ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 24 Oktober 2009)

Rabu, Mei 27, 2009

Ekstremisme Sepak Bola Polandia

BELUM lama ini, saya menonton tayangan yang sangat menarik di saluran BBC Knowledge. Berkisah tentang fenomena budaya geng yang telah merasuki –bahkan mulai merusak— persepakbolaan Polandia. Hasil liputan investigasi yang sangat berani dari aktor sekaligus jurnalis senior BBC, Ross Kemp.
Ada fakta menarik yang saya tangkap dari hasil liputan Kemp tersebut. Ternyata, geng-geng ekstremis sayap kanan kini sudah jauh menginfiltrasi alias menyusup ke jantung kelompok-kelompok suporter klub sepak bola di Ekstraklasa alias Divisi Utama Liga Polandia.
Sebut saja Wisla Krakow. Ternyata, klub elite Ekstraklasa yang konon memiliki suporter terbanyak di Polandia itu juga sudah jauh disusupi kelompok radikal sayap kanan. Mereka bahkan menduduki posisi penting dan sangat disegani di kalangan suporter klub juara Ekstraklasa 2008 itu.
Di Polandia, suporter Wisla mudah dikenali dengan atributnya yang berlambang “Bintang Putih”. Di dalam stadion, mereka kian mudah dikenali karena yel-yelnya yang sangat rasial. “Perang berlanjut setiap hari. Di jalanan, di manapun!” begitu sebagian lirik lagu-lagu mars mereka di Stadion Wisla.
Saat derby menghadapi Cracovia Krakow, tanpa segan mereka menghina suporter lawan dengan kata-kata, “Yahudi bau!” Mereka juga tak segan-segan memakai atribut Neo-Nazi lengkap dengan lambang swastikanya. Ya, para suporter ini umumnya memang sangat membenci kaum Yahudi dan pendatang asal Afrika yang merupakan etnis minoritas di Polandia.
Stylon, kelompok suporter lain di Gorzow, bahkan biasa menyanyikan lagu-lagu mars dengan lirik “mengerikan”. “Mereka harus mengulanginya”, demikian lirik sederhana itu berulang-ulang mereka kumandangkan. Anda tahu maksudnya? Percaya atau tidak, mereka berharap agar Holocaust –pembantaian jutaan orang Yahudi oleh Nazi pada Perang Dunia II— terulang lagi!
Aksi polovania kini jadi kebanggaan baru mereka. Sekelompok pendukung–biasanya 5, 10, atau 12 orang— membentuk geng tersendiri yang sengaja mencari dan menantang suporter tim lain untuk berkelahi. Tidak hanya ketika timnya main di kandang, tapi juga saat tandang ke kota lain.
Dengan cerdik, para pentolan suporter menanamkan nilai-nilai loyalitas dan persaudaraan di kalangan pengikutnya. Setelah identitas kelompok terbentuk, mulailah nilai-nilai ekstremisme sayap kanan yang merupakan gelombang fasisme baru ditanamkan dan jadi “falsafah perjuangan” mereka sebagai suporter.
Setelah menyimak tayangan berdurasi satu jam itu, dua hal terbersit di benak saya. Yang pertama, menurut saya, penyusupan para ekstremis sayap kanan ikut berperan di balik kemunduran prestasi sepak bola Polandia.
Mereka telah membuat kompetisi di “Negeri Solidaritas” itu jadi sarat kerusuhan dan para pemain tak nyaman berkompetisi. Akibatnya, bintang lokal ramai-ramai hengkang ke negara lain dan pemain-pemain asing berkualitas enggan main di Ekstraklasa.
Kalau pada era 1970-an Polandia masih disegani di ajang Piala Dunia dan Piala Eropa, kini mereka bahkan terseok-seok untuk sekadar lolos kualifikasi. Di tingkat klub, tim papan atas Ekstraklasa semacam Wisla atau Lech Poznan pun hanya mampu bersaing di level kualifikasi Liga Champions maupun Piala UEFA.
Yang kedua –dan ini jauh lebih penting, fenomena budaya geng dalam sepak bola Polandia itu membuat saya jadi risau terhadap persepakbolaan Indonesia. Betapa tidak, ciri-ciri awal munculnya fenomena itu kini juga bisa ditemui dalam persepakbolaan kita.
Kelompok-kelompok suporter fanatik bermunculan di berbagai kota basis sepak bola nasional. Sialnya, belum apa-apa mereka sudah terjerumus ke lembah ekstremisme dengan memusuhi kelompok suporter lain yang dianggap rival atau berseberangan.
Kerusuhan antarsuporter jadi “menu sehari-hari” dalam kompetisi kita. Saling serang itu bahkan tak hanya di dalam lapangan, namun sudah meluas ke luar lapangan. Bahkan muncul fenomena saling mengharamkan secara membabi-buta antarkelompok suporter tertentu.Ini sangat menyedihkan.
Polandia masih “beruntung” sempat jadi kekuatan yang disegani di dunia sebelum terjerumus dalam kekalutan ini. Kita belum menikmati masa keemasan itu, tapi sudah terdesak ke tubir jurang ekstremisme. Wahai para suporter, mari saling introspeksi: mau kita bawa ke mana masa depan persepakbolaan Indonesia? ***
(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor edisi 25 Mei 2009)

Antara Mourinho dan Guardiola

KOMPETISI liga di Eropa tak lama lagi memasuki “putaran” akhir. Artinya, tak lama lagi kita akan menyaksikan sorak kemenangan beriringan dengan tangis kekalahan. Pekik keberhasilan bersahutan dengan teriakan geram pertanda kekecewaan.
Selalu ada yang menang dan kalah dalam sepak bola. Itulah keindahan olahraga ini. Setiap saat kita dihadapkan pada dua sisi kenyataan yang bertolak belakang. Tapi justru itulah yang mengasah mental setiap pelaku permainan si kulit bundar ini –juga atlet cabang olahraga lain, tentunya— untuk selalu bersikap sportif dan ksatria mengakui kelebihan lawan.
Yang menarik, belum lagi kompetisi berakhir, kita sudah menangkap sejumlah fenomena menarik seputar soal menang-kalah itu. Salah satunya dipertontonkan Jose Mourinho, pelatih Inter Milan yang kini tengah menguasai puncak klasemen Seri A.
Setelah mendengar Juventus ditaklukkan Genoa, Mourinho langsung menunjukkan “taringnya”. Menurutnya, gelar juara Seri A musim ini mungkin sudah bisa diraih Inter saat kedua tim bertemu Sabtu (18/4) mendatang di Stadion Olimpico.
Maklum, kemenangan akan membuat selisih poin Inter dan Juventus melebar jadi 13 angka. Meskipun masih ada 18 angka lagi dipertaruhkan hingga akhir musim, secara logika akan sangat sulit bagi Juventus mengatasi selisih poin sebesar itu.
Benar, sah-sah saja Mourinho sesumbar dan melontarkan komentar yang terdengar angkuh itu. Faktanya, Inter di tangan “The Special One” memang semakin perkasa saja di kancah kompetisi domestik.
Hanya saja, Mourinho melupakan prinsip paling mendasar dari setiap kemenangan. Bahwa kemenangan yang terindah didapat tanpa merendahkan lawan yang dikalahkan. Bahwa kemenangan itu sendiri sesungguhnya awal dari sebuah kekalahan yang akan datang pada suatu saat nanti.
Dengan segala arogansinya itu, tidak mengherankan jika Mourinho tak punya banyak sahabat di Italia. Banyak orang mengakui kehebatannya sebagai pelatih, tapi tidak banyak yang terkesan oleh kepribadiannya sebagai manusia.
Di sisi lain, kita melihat bagaimana Josep Guardiola begitu santun memuji Bayern Muenchen, tim yang akan dihadapinya pada laga kedua Liga Champions, Selasa (14/4) mendatang. Padahal, pada pertemuan pertama, pasukan Guardiola menggilas lawannya empat gol tanpa balas.
Toh, Guardiola tetap memuji keberhasilan Muenchen menang 4-0 atas Eintracht Frankfurt, akhir pekan lalu. Ia menganggap kemenangan itu sebagai pertanda bahwa lawannya tetap punya potensi menggagalkan tekad Barcelona melaju ke semifinal Liga Champions musim ini.
Boleh jadi, Guardiola sekadar bersikap diplomatis di balik rasa hormatnya terhadap Muenchen. Ia tidak seperti Mourinho yang tak pernah ragu menunjukkan karakter pribadinya. Tapi justru karena itulah Guardiola disukai kawan maupun lawan.
Tak bisa diingkari, sosok Mourinho memang tetap diperlukan sebagai “bumbu penyedap” dalam aroma persaingan di panggung sepak bola yang sudah menjadi industri besar ini. Tanpa orang-orang seperti Mourinho, sepak bola mungkin kehilangan gregetnya sebagai permainan paling digemari.
Namun, demi masa depan sepak bola, kesantunan Guardiola mungkin lebih kita butuhkan –bahkan sepatutnya disebarluaskan. Karena sikap arif dan sportivitas seperti itulah yang menjaga sepak bola tetap berada di koridor tradisi dan nilai-nilai universal yang membuatnya jadi olahraga paling populer sejagat raya. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor edisi 13 April 2009)

Senin, Maret 30, 2009

Mandiri, Tantangan Baru Taufik Hidayat

KABAR menggembirakan datang dari turnamen bulu tangkis India Terbuka di Hyderabad yang berakhir Minggu (29/3) lalu. Setelah “paceklik” di tiga turnamen, akhirnya pemain Indonesia bisa membawa pulang gelar juara. Bahkan, mereka mampu menguasai dua nomor sekaligus di final, yakni tunggal putra dan ganda campuran.

Namun, tentu saja, yang paling menarik adalah keberhasilan Taufik “Golden Boy” Hidayat menjuarai nomor tunggal putra dengan mengalahkan Muhammad Hafiz Hashim 21-18, 21-19. Tak hanya memberi gelar pertama bagi Indonesia pada tahun 2009, putra Pangalengan, Bandung, itu juga menemukan kembali sentuhan juaranya.

Betapa tidak, selama dua tahun terakhir, nama Taufik seolah akrab dengan kekalahan dan penampilan mengecewakan di berbagai turnamen yang diikutinya. Uniknya, setiap kali harus menjalani rubber game, ia sering sekali kalah. Sebuah gambaran nyata betapa buruknya stamina dan kondisi Taufik sebagai pemain elite dunia.

Seingat saya, terakhir kali Taufik naik podium sebagai kampiun pada turnamen di Makao yang berkategori Grand Prix Gold, awal Oktober 2008 lalu. Sebelum itu, ia mencicipi gelar juaranya di Kejuaraan Asia di Johor Baru, Malaysia, April 2007.

Praktis, sejak era Super Series dimulai, Taufik belum sekalipun merasakan nikmatnya gelar juara. Prestasi tertingginya hanya mencapai final Prancis Super Series 2008 dan Jepang Super Series 2007. Plus jadi semifinalis All England Super Series 2009, Hongkong Super Series 2008, dan Indonesia Super Series 2007.

Makanya, secara pribadi, saya sama sekali tidak terkejut ketika Taufik akhirnya keluar dari Pelatnas Cipayung pada akhir Januari lalu. Meski berat dan menyedihkan, menurut saya, itulah jalan keluar terbaik bagi semuanya –terutama Taufik sendiri.

Sejak dulu, saya selalu beranggapan bahwa Taufik adalah pebulu tangkis tunggal putra terbaik yang kita miliki dalam satu dekade terakhir. Bahkan, dari segi bakat dan kualitas teknis, ia mungkin yang terbaik bersama Rudy Hartono dan Liem Swie King.

Di tengah keterpurukan yang dialami Taufik tiga tahun terakhir usai Kejuaraan Dunia 2005, pendapat saya tak pernah berubah. Saya tetap melihatnya sebagai pemain terbaik kita. Kualitas Taufik jauh di atas Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso, dan semua pemain lain yang segenerasi.

Hanya saja, terbaik bukan berarti selalu nomor satu. Bakat dan kehebatan Taufik tak serta-merta membuatnya jadi pemain nomor satu dunia. Dalam peringkat BWF sekarang ini pun Taufik hanya di posisi ketujuh –masih di bawah Sony, keenam.

Itulah pangkal soalnya. Taufik seperti kurang melihat –bahkan terkesan tak peduli— peringkat BWF itu sebagai tantangan. Ia hanya terobsesi terhadap turnamen-turnamen tertentu yang memang ingin dia menangkan, semacam Olimpiade, Kejuaraan Dunia, atau All England.

Akibatnya, Taufik tak pernah benar-benar bisa menyaingi Lee Chong Wei dan Lin Dan yang bergantian merajai peringkat BWF. Pamor Indonesia sebagai jawara tunggal putra dunia pun memudar. Wajar jika kemudian PB PBSI tak lagi ngotot mempertahankan Taufik –meski baru berusia 27 tahun— di Cipayung.

Namun, saya optimistis, berada di luar Cipayung justru akan membangkitkan kembali keperkasaan Taufik. Sebab ia mendapatkan tantangan baru yang dibutuhkannya untuk kembali ke jalur juara. Tantangan untuk berkarier secara mandiri, bersikap lebih profesional, dan memperhitungkan segala sesuatunya lebih matang.

Bagi Taufik, kini tak ada lagi istilah berangkat ke sebuah turnamen hanya memenuhi tugas, apalagi sekadar jalan-jalan. Semuanya harus terukur sebab semua biaya kini dia tanggung sendiri. Konon, Taufik butuh Rp 1,3 miliar/tahun untuk biaya latihan dan mengikuti 12 turnamen sepanjang 2009.

Taufik, saya yakin betul, akan bisa menghadapi tantangan itu. Dengan segala pesona dan nilai jualnya, tak sulit menutup angka Rp 1,3 miliar. Apalagi ia juga akan segera memetik hasilnya lewat gelar-gelar juara, seperti sudah dibuktikannya di India Terbuka.

Kadang-kadang, seorang “anak nakal” memang harus cepat “disapih” agar lebih mandiri. Saya yakin, dengan kemandirian yang kini dijalaninya, kita juga akan melihat kembali Taufik dengan sederet kemenangannya. ***

Senin, Februari 09, 2009

Komisi yang Disiplin Sendiri

DI TENGAH hiruk-pikuk pemberitaan mengenai PSSI pascakeluarnya Nurdin Halid dari Rutan Salemba, saya merasa kehilangan “seseorang”. Ada salah satu tokoh sepak bola nasional yang kerap muncul sebagai sumber berita penting namun belakangan seperti “hilang” dari peredaran. Dialah Hinca Panjaitan, Ketua Komisi Disiplin (Komdis) PSSI.

Boleh jadi, nama Hinca sekadar surut sejenak seiring periode jeda kompetisi Divisi Utama maupun ISL. Maklum, fungsi Komdis memang lebih banyak sebagai “pemadam kebakaran” untuk menjaga agar kompetisi tetap berjalan di atas relnya.

Tapi, yang menarik, suara Hinca juga hanya “lamat-lamat” terdengar saat isu-isu sensitif seputar kedisiplinan muncul ke permukaan. Khususnya, ketika Nurdin bagi-bagi bonus pengampunan –berupa Peninjauan Kembali (PK)— untuk sejumlah pihak yang divonis hukuman berat oleh Komdis. Dari Yoyok Sukawi, Kurnia Meiga, sampai para pemain PSIR Rembang yang secara brutal menganiaya wasit Muzair Usman di Stadion Gelora Ambang, 12 November lalu.

Tak jelas apakah pengampunan itu sepengetahuan atau direkomendasikan oleh Hinca dan Komdisnya. Yang jelas, dengan “bahasa kekuasaan” yang sebenarnya usang dan tak cocok untuk organisasi olahraga seperti PSSI, Nurdin selalu berkilah bahwa pengampunan merupakan hak prerogatif Ketua Umum.

Saya sendiri tak yakin Hinca berperan dalam pengampunan itu. Sebab, sejak memangku jabatannya pada awal Juli 2007, ia sudah menegaskan tekadnya untuk mengubah stigma negatif yang melekat pada Komdis. Ia juga bertekad menjadikan Komdis tak hanya sebagai pemadam kebakaran yang baru bereaksi setelah ada kejadian.

Makanya, Hinca dan Komdisnya kemudian berpayah-payah menyusun Kode Disiplin PSSI sebagai acuan bagi para pelaku kompetisi. Ada tiga aspek paling menonjol dalam Kode Disiplin yang memuat lebih dari 150 pasal itu, yakni perang terhadap rasisme, kerusuhan, dan obat-obatan terlarang.

Meski belum optimal, sebagian usaha Hinca sudah terasa hasilnya. Sepanjang putaran pertama kompetisi Divisi Utama dan ISL 2008/2009, Komdis telah menunjukkan ketegasannya dalam sejumlah kasus yang krusial.

Puluhan vonis berupa denda uang dan atau larangan bertanding sudah mereka keluarkan dan cukup menimbulkan efek jera di kalangan pelaku sepak bola nasional. Lihat saja para pemain asing berkulit hitam yang biasanya suka menghardik wasit secara kasar, kini mereka jadi lebih sopan dan mau mengontrol emosinya.

Pemain lokal yang biasanya “main kaki” sambil mengeroyok saat memprotes wasit, sebagian besar kini juga mau mengikuti prosedur dengan mewakilkan protesnya lewat kapten kesebelasan. Begitu pula pelatih dan ofisial tim, kini mereka tak lagi seenaknya mengambing-hitamkan pihak lain atas kekalahan timnya.

Sayang sekali, kerja keras Komdis itu kini seolah menjadi antiklimaks saat Ketua Umum PSSI kembali berkantor setelah menjalani dua pertiga dari dua tahun masa tahanannya. Alih-alih memperkuat eksistensi dan kewenangan Komdis, ia justru seperti melemahkannya dengan kebijakan pengampunan –atau apapun namanya— yang kontraproduktif.

Saya bisa membayangkan kegalauan hati Hinca dan jajarannya di Komdis saat ini. Kerja keras mereka menegakkan disiplin dalam kompetisi kita kini seperti nyanyian di tengah gurun. Sepi sendiri.

Maka, tak usah terlalu terkejut jika aksi kerusuhan kembali terjadi dalam pertandingan ISL putaran kedua antara Persiwa Wamena lawan Persipura Jayapura, Minggu (1/2) lalu. Tak usah heran juga jika nantinya aksi kekerasan serupa terjadi pada pertandingan lain. Siapa takut –toh, nanti bisa minta pengampunan kepada Ketua Umum?

Syukurlah, Komdis tidak patah arang dalam kekalutan ini. Mereka sudah langsung bereaksi menangani kerusuhan di Wamena itu. Hinca juga tak peduli jika mereka yang divonis bersalah dalam insiden itu nantinya kembali diampuni. “Tugas komdis hanya menghukum atau tidak menghukum. Kami akan menegakkan aturan. Soal nanti ada pengampunan atau tidak, itu bukan urusan kami,” katanya.

Jawaban itu, bagi saya, sangat lugas dan jernih. Semoga saja, Ketua Umum PSSI juga bisa menangkap maknanya yang tersirat dengan hati dan pikiran yang jernih. Jangan biarkan Komdis terpeleset jadi “komisi yang disiplin sendiri”. ***


(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor edisi 9 Februari 2009)

Senin, Februari 02, 2009

Fantasi Tuan Rumah Piala Dunia

SATU hal yang “sukai” dari kepengurusan PSSI sekarang ini adalah daya fantasinya yang luar biasa. Mereka punya banyak obsesi yang bagi publik sepak bola Indonesia acapkali terdengar ambisius, bombastis, bahkan terkadang utopis.

Namun sebagian “fantasi” itu nyatanya bisa diwujudkan dan berjalan –dengan segala kekurangannya. Misalnya, kompetisi Liga Super dengan persyaratan yang begitu ketat sehingga sejumlah klub –PSMS, Persita, bahkan Persija— terpaksa jadi “tim musafir” yang pinjam stadion ke sana-sini.

Toh, sebagian lain “fantasi” itu akhirnya kandas. Misalnya, keinginan mengikut-sertakan tim nasional U-23 berkompetisi di Liga Singapura. Sebelumnya, timnas U-23 kita juga sempat dikirim ke Belanda. Namun hanya “sibuk” berlatih di “Negeri Kincir Angin”. Alhasil, saat tampil di kualifikasi Olimpiade 2008 dan SEA Games 2007 mereka tak bisa berbuat banyak.

Kini, PSSI punya “fantasi” baru yang jauh lebih spektakuler. Mereka memberanikan diri jadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Indonesia termasuk satu dari delapan negara yang sudah mengirim proposalnya ke FIFA. Adapun tujuh pesaing yang juga telah memasukkan proposal serupa adalah Inggris, Jepang, Qatar, Australia, Rusia, Meksiko, dan dua negara yang mengajukan diri sebagai tuan rumah bersama, Portugal dan Spanyol.

Menurut Sekjen PSSI Nugraha Besoes, ini bagian dari rencana jangka panjang PSSI. “Kami masih punya waktu 13 tahun, jadi mengapa tidak memberanikan diri mencalonkan diri sebagai tuan rumah?” katanya. Apalagi PSSI merasa punya bekal pengalaman jadi –salah satu— tuan rumah Piala Asia 2007.

Yang menarik, fantasi PSSI kali ini didukung oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Menegpora Adhyaksa Dault sudah menyatakan dukungannya dan yakin Indonesia bisa memenuhi persyaratan utama menyangkut stadion berstandar internasional.

Tampaknya, begitu “sederhana” jalan menjadi tuan rumah ajang sebesar Piala Dunia. Lalu, mengapa negara sebesar Cina atau India tak ikut mengajukan diri? Mengapa pula negara sekelas Portugal dan Spanyol menawarkan diri jadi tuan rumah bersama –sedangkan Indonesia begitu “gagah berani” maju sendirian?

Sesungguhnya, jadi tuan rumah Piala Dunia “tak seindah” yang dipikirkan orang. Pengorbanan untuk menggelar hajatan olahraga terpopuler sejagat ini sungguh besar dan bisa membuat perekonomian negara “berdarah-darah”.

Benar, nama dan martabat bangsa memang terangkat jika Indonesia terpilih jadi tuan rumah. Juga benar, hajatan ini berpotensi mendorong peningkatan pariwisata, investasi, bahkan mungkin angka pertumbuhan. Dari segi penyelenggaraan, saya juga yakin kita akan mampu melaksanakannya sama bagusnya dengan hajatan Piala Asia 2007.

Hanya saja, ongkos Piala Dunia sungguh luar biasa. Maklum, infrastruktur kita jelas masih di bawah standar negara Eropa atau bahkan Jepang dan Korea Selatan. Karena itu, niscaya dibutuhkan pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti kini harus dilakukan Afrika Selatan.

Pemerintah Afrika Selatan menyediakan anggaran sedikitnya 3,7 miliar dolar AS untuk Piala Dunia 2010. Namun harian Prancis, Le Monde, yakin ongkos sebenarnya bisa mencapai 8 miliar dolar AS (sekitar Rp 86 triliun) –dua kali lipat lebih dari plafon anggaran pendidikan dalam APBN Republik Indonesia 2008.

Itu berarti, Indonesia yang taraf hidupnya tak jauh lebih tinggi di atas Afrika Selatan, harus siap pula dengan investasi sebesar itu. Dan itu pasti akan sangat memberatkan APBN. Sekalipun, misalnya, angka sebesar itu bisa dibagi-bagi dalam beberapa tahun anggaran.

Punya ambisi atau “fantasi” sedahsyat itu, tentunya, sah-sah saja. Tapi, menurut saya, jauh lebih penting membenahi dulu realitas yang kasat mata di hadapan kita.Ketimbang mengalokasikan triliunan rupiah untuk Piala Dunia, lebih berguna menginvestasikannya untuk memprofesionalkan Liga Indonesia. Sehingga tak ada lagi pemain yang berbulan-bulan tak dibayar gajinya, panitia kejuaraan berutang ratusan juta kepada pengelola hotel, atau pemain asing mengadu ke FIFA lantaran hak-haknya diabaikan.

Seperti halnya para pengurus PSSI, saya juga punya mimpi melihat tim nasional kita tampil di Piala Dunia. Tapi lewat perjuangan melalui kualifikasi Zona Asia –bukan mencari jalan “gratisan” lewat jalur “tuan rumah” yang kelak akan menyusahkan perekonomian negara. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 2 Februari 2009)

Rabu, Januari 07, 2009

Sudahkah Pemain Kita Sadar Nutrisi?

COBA bikin jajak pendapat kecil-kecilan di kalangan pemain Liga Indonesia –ISL maupun Divisi Utama. Mintalah para pemain menyebutkan tiga jenis makanan yang relatif paling sering mereka santap dalam sepekan?

Jangan kaget kalau Anda akan mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Saya yakin sekali nama mi instan, “gorengan”, dan mi bakso kuah akan menempati urutan lumayan tinggi dalam hasil survei tersebut. Nama lain yang ikut terjaring sangat mungkin adalah siomay, es campur, ketoprak, bubur ayam, dan sejumlah “jajanan” lainnya.

Ya, begitulah memang realitas sepak bola kita. Jangan pernah membayangkan dalam kehidupan sehari-harinya para pemain kita terbiasa menyantap makanan dengan standar nutrisi tinggi. Apalagi menjalani menu dengan rujukan diet ketat ala para bintang sepak bola Liga Italia Seri A.

Kesadaran akan pentingnya asupan makanan “berkualitas” memang belum tumbuh di kalangan pesepak bola kita. Bahkan sebagian besar klub juga tak menempatkan ahli gizi yang kompeten untuk menyelia menu makanan selama pemain tinggal di mes, misalnya.

Porsi makan pemain kita umumnya memang besar –bukan rahasia lagi. Sayangnya, baru sekadar besar porsinya namun belum padat nutrisi. Padahal, menyantap makanan yang salah dapat memengaruhi performa pemain.

Menurut sejumlah jurnal ilmiah yang pernah saya baca, dua atau tiga hari menjelang pertandingan, sebaiknya pemain banyak mengonsumsi makanan yang kaya karbohidrat. Lalu, 24 jam sebelum pertandingan, jauhi gorengan dan makanan berlemak lainnya. Hindari juga makanan dengan bumbu yang terlalu menyengat.

Untuk menjaga “kenyamanan” perut, sebaiknya makanan terakhir dikonsumsi pemain 3-4 jam sebelum pertandingan. Juga harus dipastikan bahwa mereka cukup minum supaya tidak mengalami dehidrasi sebelum, selama, dan setelah pertandingan.

Setelah pertandingan, makanan yang kaya karbohidrat boleh sesegera mungkin dikonsumsi. Sekitar 50 gram karbohidrat sebaiknya dikonsumsi dalam dua jam setelah pertandingan guna membantu tubuh memulihkan cadangan glycogen.

Bila seminggu usai pertandingan si pemain tak harus menjalani pertandingan berikutnya disarankan untuk menyantap makanan yang kaya protein (hewani) tapi tetap rendah lemak. Hal in penting agar tubuh bisa menyimpan kalori dari makanan berkabohidrat kompleks. Pemain setidaknya membakar 1.700 kalori per pertandingan sedangkan tubuh hanya mampu menyimpan 600 kalori per harinya.

Makanan kaya karbohidrat adalah sumber utama kalori dalam menu diet pemain. Karbohidrat yang dimaksud adalah karbohidrat kompleks yang harus seimbang dengan protein. Karbohidrat seperti itu mudah didapat dari sayuran dan buah-buahan.

Jangan lupa, cairan yang hilang dari tubuh selama menjalani pertandingan atau latihan keras harus segera digantikan. Sebagai patokan, bila berat tubuh berkurang 1 kg selama masa latihan itu berarti hilangnya cairan dalam tubuh sekitar 1 liter.

Patokan yang kedua adalah bila air seni berwarna lebih gelap itu berarti tubuh sedang kekurangan cairan. Karena itu, saat pemain merasa haus, segeralah minum. Minuman khusus untuk olah raga bisa jadi pilihan yang baik. Di samping itu, jus buah murni tanpa gula juga sangat baik untuk menjadi pengisi cairan tubuh.

Namun pemain tidak disarankan untuk minum sekaligus dalam jumlah banyak karena berpotensi mengakibatkan sakit perut. Lebih baik sedikit demi sedikit tapi sering. Anda yang kebetulan masih jadi pemain aktif, silakan mencobanya! *

Selasa, Januari 06, 2009

APBD untuk Persik: Langkah Berani atau “Bunuh Diri”?

HAMPIR dua pekan saya “lupa” mengurusi blog ini karena menjalani rutinitas “kesibukan” akhir tahun yang padat. Dari urusan pekerjaan di kantor hingga menjalani tur ke Jawa Tengah bersama anak-anak saya yang sedang menikmati liburan sekolah.

Tepat ketika memutuskan harus kembali mengisi blog ini, saya dikejutkan oleh sebuah berita menarik dari Jawa Timur. DPRD Kota Kediri baru saja mengesahkan kucuran dana Rp 12,5 miliar dari APBD tahun anggaran 2009 untuk modal Persik mengarungi sisa musim kompetisi 2008/2009.

Ini sebuah keputusan yang sungguh berani dari para wakil rakyat “Kota Tahu”. Bayangkan, Rp 12,5 miliar! Itu bukan uang sedikit. Apalagi pada tahun anggaran 2008, Persik juga sudah menikmati kucuran dana Rp 7,5 miliar. Bukannya berkurang, justru makin besar anggaran yang tersedot untuk “Tim Macan Putih” itu.

Yang jadi masalah, saat ini Pemerintah masih “melarang” pemanfaatan anggaran dalam APBD untuk pendanaan tim sepak bola. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 yang direvisi menjadi Permendagri Nomor 59/2007.

Ketentuan itulah yang membuat sejumlah tim mengalami “sesak napas” pada paruh pertama ISL musim 2008/2009. Tim sebesar Persija Jakarta saja sempat mengalami keterlambatan pembayaran gaji. Apalagi tim dengan modal pas-pasan semacam Persitara, PSIS Semarang, atau Persijap Jepara.

Kalangan DPRD Kota Kediri berargumen bahwa pengucuran dana APBD itu tak menyalahi aturan. Pasalnya pemberiannya dilakukan melalui mekanisme dana hibah, melalui satuan kerja di Lingkungan Pemerintah Kota Kediri. Lebih jelasnya, KONI Kota Kediri yang jadi pelaksana pengucuran dana tersebut.

Bagi saya, ini menarik. Sebab mekanisme dana hibah itu argumen lama yang belakangan diragukan sendiri oleh kalangan Pemerintah Daerah. Atas dasar keragu-raguan itulah sejumlah daerah jadi enggan –atau bermain “kucing-kucingan”— dalam mengucurkan dana APBD untuk tim sepak bolanya.

Dugaan saya, kalangan DPRD Kota Kediri berani menerobos keragu-raguan itu karena melihat celah dalam Permendagri tersebut. Saya masih ingat, dalam “Lokakarya Pembiayaan Sepak Bola” di Surabaya, medio September lalu, muncul keyakinan bahwa Permendagri 59/2007 tidak sepenuhnya melarang sepak bola. Hanya saja, penggunaannya harus memperhatikan asas rasionalitas dan jumlahnya diharapkan semakin mengecil dari tahun ke tahun.

Celah itu terasa makin menganga jika kita mencermati pasal 42 ayat (4a) Permendagri 59/2007 yang mengatur tentang belanja hibah. Klausul itu berbunyi, “Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas, dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.”

Dari perspektif politik, bunyi ketentuan jelas menguntungkan bagi klub sepak bola. Sebab, klub sepak bola –terutama perserikatan— umumnya dipimpin oleh kepala daerahnya masing-masing. Dan, diakui atau tidak, klub-klub tersebut telah menjadi sayap politik kepala daerah dalam meraih atau mempertahankan dukungan khalayak.

Persoalannya kemudian, ada ketentuan lain yang berkaitan dengan urusan hibah APBD ini. Ada Peraturan Pemerintah Nomor 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang melarang hibah dan bantuan sosial diberikan secara berulang-ulang. Semangat PP Nomor 58/2005 ini jelas sekali: tidak menghendaki pembiayaan klub sepak bola melalui dana APBD.

Publik, kalangan anggota dewan, serta para pejabat Pemda boleh saja bingung terhadap Permendagri 59/2007 yang terkesan ambigu dan bertentangan dengan aturan hukum di atasnya itu. Namun, satu hal yang pasti, secara hirarki PP Nomor 58/2005 lebih tinggi kedudukannya dibanding Permendagri 59/2007.

Jadi, menurut Anda, keberanian DPRD dan Pemkot Kediri itu sebuah terobosan atau pada akhirnya akan menjadi langkah “bunuh diri”? *