Selasa, Oktober 27, 2009

Kembali ke UU Nomor 3/2005

(Catatan untuk Menegpora Andi Mallarangeng)

TAK ada kejutan dalam susunan Kabinet Indonesia Bersatu II. Seperti sudah diduga, Andi Alifian Mallarangeng ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora). “Bang Andi” –begitu ia biasa disapa— menggantikan pejabat sebelumnya, Adhyaksa Dault.

Saya jadi ingat, rasanya kami berdua pernah siaran bersama dalam satu layar pada Piala Dunia 2002. Saat itu, Bang Andi yang namanya sedang berkibar sebagai pengamat politik jadi komentator tamu. Sedangkan saya sebagai komentator reguler dari RCTI.

Dari pertemuan sejenak itu, saya menangkap kesan bahwa Bang Andi lumayan paham sepak bola. Lebih penting lagi, ia juga cukup ramah, egaliter, dan mau mendengar sehingga saya yakin Bang Andi akan mudah masuk ke lingkungan baru di bidang kepemudaan dan keolahragaan.

Berangkat dari sepenggal pertemuan singkat itu, saya merasa terpanggil ikut memberi masukan bagi Bang Andi saat memulai tugas barunya di kementerian dengan anggaran Rp 1,6 triliun itu. Khususnya menyangkut bidang keolahragaan yang niscaya akan lebih banyak menyita waktunya kelak.

Begitu banyak permasalahan keolahragaan bakal dihadapi Menegpora pada periode lima tahun ke depan. Dari keinginan PSSI menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia 2022, penyelenggaraan SEA Games 2011, dilema pemakaian dana APBD untuk klub sepak bola, penyusutan lahan dan fasilitas olahraga di perkotaan, anjloknya prestasi Indonesia di pesta olahraga multiajang, rendahnya kesejahteraan atlet, keterlibatan pejabat publik sebagai pengurus olahraga, hingga “dualisme” Menegpora dan Komite Olahraga Nasional/Komite Olimpiade Indonesia (KON/KOI) dalam melaksanakan pembinaan.

Sulit menetapkan mana yang harus diprioritaskan untuk ditangani. Semuanya butuh penanganan segera dan simultan. Padahal, di sisi lain, Menegpora memiliki keterbatasan sumber daya aparatur, anggaran, sarana/prasarana, dan –tentu saja— waktu untuk menangani semuanya. Apalagi urusan Menegpora tak hanya masalah olahraga, tapi juga kepemudaan.

Jelas tak mudah menangani semua itu dan dari mana memulainya. Namun, menurut saya, isu kronis yang butuh prioritas penanganan adalah “dualisme” Menegpora dan KON/KOI dalam melaksanakan pembinaan olahraga. Dan langkah penyelesaiannya bisa dimulai dengan kembali ke Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Inilah “warisan penting” Adhyaksa dan jajarannya selama lima tahun menghuni Kantor Menegpora.

Meski diperjuangkan dengan susah payah dan selalu dibanggakan oleh Adhyaksa, sayangnya selama ini UU SKN justru kurang dijadikan pedoman. Sehingga muncullah “persaingan terselubung” antara Kantor Menegpora dan KON/KOI menyangkut pelaksanaan pembinaan olahraga di Tanah Air.

Melalui Program Atlet Andalan yang biasa disingkat PAL (seharusnya PAA atau Pal), Menegpora menerobos jauh ke wilayah yang selama ini ditangani KON. Padahal, KON selama ini punya sistem Pelatnas yang sudah berjalan puluhan tahun. Kehadiran PAL dan Pelatnas membuat pembinaan olahraga seakan berjalan di dua jalur yang tak sinergis dan tidak terintegrasi dengan baik.

Menegpora dan jajarannya mungkin berpatokan pada Pasal 12 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional”. Selanjutnya, Pasal 21 dan 22 juga memberi ruang sangat besar bagi Menegpora selaku representasi Pemerintah untuk terlibat aktif dalam pembinaan dan pengembangan olahraga. Tak sekadar melalui penetapan kebijakan, tapi juga lewat penataran/pelatihan, kompetisi, hingga pengawasan.

Sementara itu, dalam Bab VIII mengenai Pengelolaan Keolahragaan, Pasal 36 Ayat 4 menyebutkan bahwa KON bertugas membantu Pemerintah dalam membuat kebijakan nasional dalam bidang pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi pada tingkat nasional. KON juga bertugas melaksanakan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi berdasarkan kewenangannya.

Di situlah titik singgungnya. UU SKN terkesan kurang tegas membagi peran antara Menegpora selaku representasi Pemerintah dan KON sebagai perwujudan pemberdayaan peran serta masyarakat sesuai amanat Pasal 5 mengenai Prinsip Penyelenggaraan Keolahragaan. Akibatnya, terjadilah “dualisme” pembinaan itu.

Namun demikian, “ruh” UU SKN sebetulnya cukup jelas mengamanatkan semangat kebersamaan dan partisipasi. Pemerintah diharapkan jadi motor penggerak dalam membangun industri olahraga, sedangkan KON/KOI sebagai tokoh utama dalam membangun prestasi.

Jadi, semestinya, tak perlu ada tarik-menarik. Apalagi Presiden SBY secara tegas selalu menyebut good governance sebagai pilar dalam membangun Indonesia. Mustahil mewujudkan good governance tanpa partisipasi masyarakat. Jadi, Menegpora seharusnya justru memberi ruang sebesar-besarnya kepada KON/KOI serta unsur masyarakat lainnya untuk berperan aktif dalam pembinaan dan pengembangan olahraga.

Semoga Bang Andi dengan cepat bisa mendalami permasalahan keolahragaan Indonesia secara jernih. Sehingga seluruh unsur dalam keolahragaan kita bisa kembali bergandengan tangan menangani pembinaan, memajukan prestasi, serta membangun industri olahraga yang mandiri. Selamat bekerja! ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 24 Oktober 2009)