Rabu, September 24, 2008

Setelah Fathul dan Dian, Apa Masih Perlu Korban Berikutnya?

SAYA pikir tewasnya Fathul Mulyadin yang dianiaya oknum suporter Persipura Jayapura di kawasan Senayan, 6 Februari lalu, akan menjadi musibah maut terakhir dalam persepakbolaan Indonesia. Maklum, kejadian tersebut sudah membawa dampak yang lumayan hebat terhadap kelangsungan kompetisi sepak bola nasional.

Kala itu, Menegpora Adhyaksa Dault sampai melarang Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) digunakan untuk menggelar pertandingan tingkat nasional. “Stadion ini hanya untuk pertandingan internasional dan tidak boleh digunakan PSSI untuk pertandingan tingkat nasional, baik itu Liga Indonesia maupun Copa Indonesia,” Adhyaksa menegaskan, kala itu. “Sayang ‘kan dana Rp 90 miliar yang sudah dikeluarkan untuk membenahi stadion itu.”

Efek bola saljunya pun lumayan merepotkan. Persija Jakarta sempat tak boleh menggelar pertandingan di SUGBK. Alhasil, tim Ibukota ini sampai harus numpang “sana-sini” untuk menggelar laga kandangnya.

Larangan itu baru saja dicabut, awal bulan ini. Senin (22/9) lalu, “Tim Macan Kemayoran” sukses menggelar partai kandang versus Arema Malang di SUGBK –tak ada keributan dan tim tuan rumah menang 1-0. Dua pekan sebelumnya, Persija juga menjamu PSIS di SUGBK dan menuai kemenangan besar 5-0.

Tiba-tiba saja, kita dikejutkan lagi oleh berita tewasnya seorang pendukung Persitara Jakarta Utara atau akrab disapa NJ Mania. Pendukung bernama Dian Rusdiana ini tewas pada Minggu petang setelah menjalani perawatan di RSCM, Jakarta Pusat.

Kabarnya, remaja warga Pademangan Barat, Jakarta Utara, itu menjadi korban penyerangan sekelompok “orang tak dikenal” usai laga Persitara melawan Pelita Jaya di Stadion Lebak Bulus, Sabtu (20/9) malam. Dian dan kawan-kawannya diserang sekelompok pemuda di depan pintu tol Pondok Pinang, Jakarta Selatan, dalam perjalanan pulang dari stadion.

Akibat pengeroyokan itu, Dian mengalami luka di belakang kepala. Semula, luka itu dianggap tak begitu parah sehingga Dian masih diizinkan pulang. Namun, kondisinya kemudian memburuk keesokan harinya sehingga harus dilarikan ke RSCM. Di sanalah, akhirnya, Dian dijemput malaikat maut dalam usia baru 16 tahun.

Saya pun nyaris kehilangan kata-kata untuk menyikapi peristiwa tragis ini. Sebab, bagi saya, selembar nyawa manusia jauh lebih berharga di atas segalanya –kemenangan, gelar juara, solidaritas, fanatisme suporter, atau apapun.

Sudah barang tentu, kasus ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Polisi harus mengusutnya secara tuntas –tak peduli pelakunya dari kelompok mana dan siapa di belakang mereka. Jangan biarkan kasus Dian “berlalu” begitu saja seperti kasus tewasnya Fathul.

Sepak bola dan kompetisi Liga Indonesia digelar untuk tujuan-tujuan yang jauh dari sifat kekerasan. Jika niat yang mulia itu tak bisa diwujudkan dan justru dampak negatifnya yang lebih menonjol, jangan salahkan jika publik semakin alergi terhadap pertandingan sepak bola di Tanah Air. Sepak bola memang penting, tapi nyawa manusia jauh lebih penting! *

Selasa, September 23, 2008

Ketika Manajer Jadi “Boneka”

NELANGSA rasanya melihat tim sekelas Newcastle United dipermalukan West Ham 1-3, Sabtu (20/9) lalu. Tak sekadar kalah, Newcastle bisa dibilang tampil “menyedihkan” dalam laga tersebut. Tanpa determinasi, miskin koordinasi, dan nyaris tanpa konsep bermain yang jelas.

Ada banyak faktor, tentunya, yang membuat Newcastle tampil seburuk itu. Namun, penyebab utamanya jelas ketiadaan sang pelatih di pinggir lapangan. Kevin Keegan sudah angkat kaki sejak 4 September lalu, namun Newcastle tak kunjung mendapatkan penggantinya.

Tapi, siapa pula pelatih bagus mau menerima tawaran Newcastle sekarang ini? Khususnya, setelah misteri ketidakbetahan Keegan sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Jabatan manajer –sebutan untuk posisi yang di sini biasa kita sebut “pelatih”— di Newcastle ternyata tak sementereng namanya.

Padahal, Keegan adalah “The Geordie Messiah”. Dialah yang mengangkat Newcastle kembali ke Liga Primer dengan menjuarai Divisi Satu 1992/1993. Karena polesannya pula Newcastle sempat jadi kekuatan yang disegani pada periode 1992-1997.

Dengan reputasi sehebat itu –ditambah lagi ia pernah menangani tim nasional Inggris, rasanya sulit dipercaya jika Keegan hanya dijadikan “boneka” di Newcastle. Diberi jabatan sebagai manajer, tapi terus “direcoki” oleh Denis Wise selaku direktur sport.

Tapi begitulah realitas Liga Primer saat ini. Zaman baru telah datang ketika kewenangan manajer sebagai penguasa tunggal tim pelan-pelan mulai dielaborasi oleh para pemilik klub yang datang dari antah-berantah.

Keegan bukanlah satu-satunya korban. Pada saat hampir berbarengan, Liga Primer juga kehilangan Alan Curbishley. Salah satu pelatih lokal Inggris paling sukses itu juga terpental dari West Ham karena alasan yang sama. Curbishley tak sudi kewenangannya –terutama dalam operasi transfer— terlalu banyak dikebiri oleh dewan direksi klub.

Namun keduanya bukan korban pertama. Sebelum mereka, ada Jose Mourinho yang lebih dulu merasakan panasnya kursi manajer Chelsea di bawah kendali pemilik klub superkaya seperti Roman Abramovich.

Tanpa tedeng aling-aling, Abramovich menempatkan Frank Arnesen sebagai direktur sport yang membuat peran Mourinho dalam urusan pembelian pemain jadi sangat minimal. Ia juga menempatkan Piet de Visser sebagai penasihat pribadi dengan kewenangan dan akses informasi yang acapkali melebihi sang manajer. Belakangan muncul pula Avram Grant sebagai pengganti Arnesen. Bahkan Grant pula yang akhirnya menggusur posisi Mourinho.

Saat ini pun posisi Rafael Benitez di Liverpool sebenarnya bisa dibilang setali tiga uang dengan Mourinho dulu. Ia memang masih memangku jabatan manajer “The Reds”, namun kewenangannya praktis sangat terbatas.

Terbukti dalam kasus Gareth Barry. Benitez sangat menginginkan gelandang Aston Villa itu bergabung ke Anfield. Namun duet pemilik Tom Hicks dan George N. Gillett tak memberi lampu hijau. Belakangan Kepala Eksekutif Liverpool, Rick Parry, malah menyebut harga 18 juta pound yang “disepakati” Benitez dan manajemen Aston Villa kelewat mahal. Makanya, operasi transfer itu tak pernah direalisasikan.

Dalam struktur manajemen puncak Liverpool memang tak ada posisi direktur sport. Tapi, pada prakteknya, fungsi itu ada dan dijalankan oleh Parry sebagai kepala eksekutif. Maka, fungsi Benitez sebagai manajer sesungguhnya kini tak lebih luas ketimbang allenatore --para sejawatnya di Seri A— atau entrenador, rekan-rekan seprofesinya di La Liga.

Keegan dan Curbishley kini mungkin tak henti mengutuk perubahan sistem manajemen klub Liga Primer yang jauh berubah dibanding semasa meraka masih bermain. Namun mereka mungkin hanya bisa sebatas mengutuk dan meratapi. Tanpa bisa mencegah perubahan ini semakin meluas.

Faktanya, klub-klub di Inggris –bukan sekadar Liga Primer— kini semakin banyak jatuh ke tangan para miliarder lokal maupun asing. Sialnya, acapkali mereka tak kenal kultur dan sejarah klub yang jadi miliknya. Demi mengamankan uang yang sudah ditanamkan, mereka pun kemudian menempatkan orang kepercayaannya dengan fungsi dan kewenangan yang akhirnya lebih banyak jadi masalah baru ketimbang solusi.

Lihat saja kasus Mike Ashley. Ia sama sekali tak paham kalau Keegan adalah “jiwa dan hati” para geordie sejati. Maka, sungguh tak masuk akal ketika Ashley lebih banyak memberi kewenangan kepada Wise ketimbang Keegan sebagai manajer klub.

Ashley juga gemar memamerkan hobinya berpesta dan foya-foya, bahkan nonton di St James’ Park sambil menenteng botol sampanye bersama gadis-gadis muda. Padahal, puluhan ribu pemilik tiket terusan St James’ Park hidup pas-pasan, namun begitu loyal mendedikasikan hidup mereka untuk kejayaan “The Magpies”.

Kelak, mungkin giliran pelatih klub-klub Inggris lainnya yang menghadapi persoalan seperti ini. Dari Manchester United, Arsenal, Manchester City, hingga Queen's Park Rangers kini juga sudah jatuh ke tangan “pengusaha balap” Flavio Briatore dan Bernie Ecclestone.

Nantinya, mungkin hanya akan tersedia dua pilihan bagi Keegan dan kawan-kawan. Mereka harus bersedia berkompromi dengan realitas baru ini atau –seperti sekarang— memilih berhenti saja ketimbang jadi “boneka” yang sama sekali tidak lucu. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 22 September 2008)

Jumat, September 19, 2008

Kita Kehilangan “Karakter” Bang Ronny

SEPAK bola Indonesia berduka. Siang ini, Indonesia kehilangan mantan pemain nasional era 1970 dan 1980-an, Ronny Pattinasarany. Ia meninggal dunia dalam usia 58 tahun di Omni Medical Centre, Jakarta Timur, pukul 13.30 WIB.

Kepergian Bang Ronny –demikian sapaan akrab saya kepadanya— mungkin tak terlalu mengagetkan para sahabat dan kenalannya. Pasalnya, ia sudah cukup lama menderita kanker hati, paru-paru, dan tulang belakang. Bahkan sempat menjalani pengobatan di Cina, sebelum kembali ke Jakarta, 31 Agustus lalu.

Kanker ganas itu semula hanya menggerogoti pankreas Bang Ronny. Namun kemudian menjalar ke lever sebelum dipastikan ikut menghancurkan tulang belakang dan paru-parunya. Makanya, saat dibawa ke Omni Medical Centre, kondisi Bang Ronny terlihat sudah sangat lemah.

Saya mendapat kabar bahwa jenasah Bang Ronny akan dikebumikan pada Minggu (21/9) nanti. Rencananya, ia bakal dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak-anaknya.

Tentu saja, saya ikut merasa kehilangan atas kepergian lelaki jangkung yang simpatik itu. Meski bukan tergolong sahabat dekatnya, setidaknya saya pernah cukup sering bertemu dan berinteraksi dengan Bang Ronny selama bergabung di tim RCTI Sports.

Hampir tujuh tahun, 1995-2002, kami sama-sama jadi komentator di stasiun televisi yang dulu dimiliki Grup Bimantara itu. Kadang kami sekadar berpapasan saat bergantian masuk studio, tapi tak jarang pula duduk semeja sebagai sesama komentator.

Ada dua hal yang selalu saya ingat tentang sosok Bang Ronny sebagai komentator. Yang pertama, Bang Ronny sering sekali melontarkan pernyataan ini: “siapa yang menguasai lini tengah, dialah yang akan menguasai pertandingan”.

Saya termasuk yang kurang setuju terhadap hipotesis tersebut. Tapi cukup banyak komentator lain yang sempat mengikuti arus pemikiran Bang Ronny. Meski, belakangan, hipotesis ini mulai ditinggalkan karena fakta di lapangan sering menunjukkan hal yang justru bertolak belakang.

Tapi saya sangat memahami mengapa Bang Ronny punya pandangan seperti itu terhadap permainan. Sebab beliau menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai pemain lini tengah –bahkan pengatur serangan alias playmaker— yang disegani kawan maupun lawan.

Saya bersyukur beberapa kali pernah main bola dalam satu lapangan dengan Bang Ronny. Dan selalu berada di tim yang jadi lawannya. Selama itu pula, tim saya selalu kalah dan saya dibuat terpukau oleh sentuhan-sentuhan Bang Ronny yang tetap luar biasa hingga masa tuanya.

Hal kedua yang selalu mengingatkan saya kepada Bang Ronny adalah kata “karakter”. Boleh percaya atau tidak, dalam setiap ulasannya Bang Ronny nyaris tak pernah alpa menyisipkan kata “karakter” tersebut beserta konteksnya.

Saya dan teman-teman sering tersenyum simpul setiap kali kata “karakter” itu terlontar dari mulut Bang Ronny. Itulah ciri khas beliau. Itu sekaligus pula menggambarkan pandangan Bang Ronny mengenai permainan.

Bang Ronny begitu peduli dan mementingkan aspek karakter itu. Dan, kepada saya, beberapa kali ia mengutarakan keprihatinannya terhadap para pemain Indonesia masa kini yang dinilainya kurang berkarakter. Mungkin karena itulah ia kemudian memilih menceburkan diri dalam pembinaan pemain usia dini lewat SSB AS-IOP.

Sudah agak lama saya tak mendengar kata “karakter” itu meluncur dalam ulasan-ulasan Bang Ronny di televisi –khususnya setelah ia divonis menderita kanker hati sejak Desember 2007. Sekarang, saya bahkan kehilangan kesempatan mendengarkannya lagi untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Bang! *

Rabu, September 17, 2008

Salut untuk Ketegasan Komdis dan Pengurus PSM

AKHIRNYA, hari ini, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menjatuhkan hukuman atas kasus kerusuhan di Stadion Mattoanging Andi Mattalatta, Senin (15/9) malam lalu. Komdis menjatuhkan hukuman lumayan berat kepada suporter PSM Makassar berupa larangan memasuki stadion-stadion di seluruh Indonesia dengan menggunakan atribut perkumpulan mereka selama satu tahun.

Bukan hanya itu. Tim PSM sendiri juga dihukum menggelar dua laga berikutnya tanpa penonton. Mereka masih harus membayar denda Rp 20 juta dan berkewajiban memperbaiki fasilitas-fasilitas stadion yang rusak.

Hukuman itu, menurut Ketua Komdis PSSI Hinca Pandjaitan, terkait kerusuhan pada laga PSM versus Persela Lamongan dalam lanjutan Liga Super Indonesia. Merujuk Pasal 73 dan 74 Ayat 1 Kode Disiplin, panitia pelaksana di Makassar dianggap gagal melakukan tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan sehingga layak dijatuhi hukuman.

Sebenarnya tak hanya kasus PSM versus Persela yang disidangkan oleh Komdis kali ini. Masih ada lagi kasus kerusuhan pada laga Arema Malang versus PKT Bontang di Malang, 13 September lalu. Juga kasus kekerasan yang dilakukan kiper Persiwa, Timotius Mote, saat menghadapi Pelita Jaya di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung. Mote terbukti menanduk kepala striker Pelita Jaya, Rudi Widodo, pada laga tersebut.

Namun, tak bisa dimungkiri, kerusuhan di Makassar yang paling menyedot perhatian. Tak hanya karena skala kerusuhannya yang tergolong serius. Antara lain, diwarnai aksi saling lempar antara petugas pertandingan dan aparat keamanan melawan para perusuh. Bahkan, kabarnya, aksi pengejaran terhadap para perusuh dilakukan hingga keluar kawasan stadion.

Lebih dari itu, kasus ini juga terbilang “sensitif” karena melibat PSM. Selama ini, ada anggapan kuat bahwa “Tim Ayam Jantan” mendapat perlakuan dan perlindungan khusus karena sejumlah pengurus teras PSSI dan BLI punya ikatan emosional yang kental dengan tim asal Sulawesi Selatan itu.

Komdis telah memupus stigma negatif itu dengan keputusannya yang terbilang tegas dan berani terhadap PSM dan suporternya. Untuk itu, rasanya kita perlu angkat jempol untuk ketegasan sikap Komdis kali ini.

Namun saya juga merasa perlu angkat jempol untuk pengurus PSM. Bayangkan, sebelum Komdis menjatuhkan vonisnya, pengurus PSM bahkan sudah menyiapkan diri untuk terusir dari Mattoanging. Mereka langsung menunjuk Stadion Sempaja di Samarinda sebagai kandang usirannya.

Dengan tegas, pengurus PSM juga menyatakan tak akan menentang vonis Komdis terhadap para pendukungnya. “Kami tidak akan membela. Kalaupun BLI menghukum suporter, biarlah. Hukuman itu juga sebagai bagian dari tindakan anarkis mereka,” kata Nurmal Idrus, Asisten Manajer PSM Bidang Humas.

Alangkah indahnya jika semua pelaku sepak bola Indonesia bisa sebijak Nurmal dalam menyikapi persoalan seperti ini. Ketimbang “kasak-kusuk” melobi pengurus PSSI atau membela diri sekenanya, ia memilih bersikap legawa dan melihat sisi positif sanksi dari Komdis untuk masa depan PSM yang lebih baik.

Sikap Nurmal –mewakili pengurus PSM lainnya, tentu— itulah yang membuat Komdis lebih leluasa mengadili kerusuhan di Makassar. Secara tak langsung, itu juga membuka ruang bagi terciptanya konsistensi penegakan hukum dan aturan main di jagat sepak bola Indonesia yang biasanya penuh nuansa abu-abu.

Salut buat Anda, Bung Nurmal, dan para pengurus teras PSM lainnya! Terus tumbuhkan sikap profesional seperti ini agar sepak bola Indonesia lebih cepat maju dan dewasa. *

Senin, September 15, 2008

Biarkan Uang Al Fahim Bicara

DUA pekan terakhir, Liga Primer seperti terseret mesin waktu. Kembali ke masa lalu dan terjebak dalam polemik klasik yang mungkin tak ada habisnya. Perlukah Liga Primer dilindungi dari cengkeraman investor asing yang datang dengan kekuatan finansial luar biasa –semacam Dr Sulaiman Al Fahim di Manchester City?

Isu ini menggelinding kencang sejak Al Fahim mengambil-alih saham City dari tangan Thaksin Shinawatra, akhir Agustus lalu. Pasalnya, Al Fahim seperti enteng saja saat menggelontorkan dana 150 juta pound untuk jadi penguasa baru “The Citizens”.

Kehadiran Al Fahim segera meruntuhkan “kebesaran” Chelsea yang mengandalkan kekuatan dana miliarder Rusia, Roman Abramovich. Dan mata dunia semakin terbelalak saat mengetahui bahwa kekayaan keluarga Al Fahim, konon, 20-30 kali lipat lebih besar dibanding Abramovich!

Hanya dalam hitungan hari, Al Fahim meneruskan gebrakannya dengan langsung “meneror” klub-klub raksasa. Ia mencoba membeli Kaka dari AC Milan, Fernando Torres dari Liverpool, Cristiano Ronaldo dari Manchester United, dan lain-lain.

Memang, pada akhirnya, hampir semua tawaran itu kandas. Hanya Robinho yang sukses diboyong dari Real Madrid dengan rekor transfer Liga Primer sebesar 32,5 juta pound. Tapi, masalahnya, siapa bisa menjamin Al Fahim tak akan “lebih mengamuk” pada bursa transfer kedua, Januari mendatang.

Itulah yang bikin risau para petinggi klub besar yang kadung menikmati kemapanan situasi saat ini. Dengan sinis, Arsene Wenger meminta agar sepak bola dilindungi sehingga tidak menjadi “supermarket” bagi para investor superkaya.

Pemikiran Wenger bak gayung bersambut dengan suara dua orang penting di dunia olahraga Inggris. Menteri Kebudayaan Andy Burnham dan Ketua FA Lord Triesman sama-sama meminta perhatian publik akan meningkatkan kepemilikan klub-klub Liga Primer oleh investor asing.

Sekadar imbauan untuk membangun wacana, tentu sah-sah saja. Namun saya meragukan efektivitasnya. Lebih dari itu, rasanya kita malah perlu balik bertanya. Mengapa harus merisaukan kehadiran para investor baru hanya karena mereka lebih padat modal?

Ketika Liga Primer membuka diri terhadap investor asing sejak awal milenium baru ini, sesungguhnya mereka telah membuat keputusan besar yang sangat berani. Pasalnya, Liga Primer adalah salah satu kompetisi paling atraktif dan disiarkan di berbagai belahan dunia.

Tak mengherankan jika terbukanya keran kepemilikan itu seperti madu yang segera memikat para kumbang. Orang-orang seperti Abramovich, Malcolm Glazer, Stan Kroenke, Tom Hicks, hingga Al Fahim kemudian berduyun-duyung datang membawa harta karunnya.

Liga Primer bukannya tak menikmati berkah kemewahan modal berlimpah itu. Chelsea bisa jadi kekuatan baru di Inggris dan Eropa berkat uang minyak dari Rusia. MU jadi klub terkaya sedunia –menggantikan Real Madrid— juga terjadi pada era Glazer. Maka, terasa naif dan ironis jika Inggris kini meributkan kedatangan Al Fahim.

Lagipula, di dunia sepak bola, masih berlaku “teori” bahwa uang tak bisa membeli gelar juara. Kalaupun bisa, itu hanya sementara. Selanjutnya, bakat dan kualitas juga yang pada akhirnya lebih berbicara.

Kita sudah melihat bagaimana Real Madrid menggelontorkan triliunan rupiah untuk membeli hampir semua bintang terbaik dunia pada kurun waktu 2000-2006. Hasilnya, mereka memang sukses dua kali meraih gelar juara La Liga, Liga Champions, dan Piala Raja.

Namun, begitu era Zidane –primadonanya “Los Galacticos”— berakhir, usai pula kejayaan Madrid. Takhta sepak bola Eropa kini beralih ke tangan klub-klub Liga Primer.

Hal yang sama telah dialami Chelsea. Setelah menguasai Liga Primer dua musim beruntun pada 2005-2006, kini “The Blues” harus merelakan kembalinya “Tim Setan Merah” sebagai penguasa Liga Primer.

“Hikayat” Al Fahim di City pun rasanya tak akan jauh berbeda. Mungkin benar ia bisa mendatangkan 18 pemain megabintang untuk musim 2009/2010. Mungkin juga benar, dengan modal 18 bintang hebat itu, City akhirnya sukses menjuarai Liga Primer. Bahkan mungkin Liga Champions pada musim selanjutnya.

Namun tak ada jaminan sukses itu akan bertahan lama. Bisa dua musim seperti Chelsea sudah bagus, namun untuk bertahan hingga enam musim seperti Madrid akan sangat sulit. Sebab fondasi tim City tak sekuat Madrid maupun Chelsea.

Belum lagi ancaman datangnya konglomerat lain yang –siapa tahu— lebih kaya lagi dibanding Al Fahim. Ini bukan mimpi atau utopia karena publik Inggris juga pernah berpikir seperti itu saat Abramovich pertama kali mendarat di London.

Maka, biarkan uang Al Fahim bicara. Biarkan ia mendatangkan Kaka, Gianluigi Buffon, David Villa, atau entah siapa lagi. Biarkan juga ia mengubah peta persaingan Liga Primer tak lagi sebatas “The Big Four”, tapi meluas jadi “The Big Five”, “The Big Six”, atau apapun namanya.

Faktor kunci yang membuat permainan sepak bola jadi menarik adalah elemen kejutannya. Nah, orang-orang seperti Al Fahim punya kuasa menciptakan elemen-elemen kejutan itu. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 15 September 2008)

Selasa, September 09, 2008

“Alhamdulillah, Saya Lolos Verifikasi Faktual”

AKHIRNYA, saya lolos verifikasi faktual sebagai bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) 2009-2014 di Daerah Pemilihan Jawa Barat. Setelah menjalani proses verifikasi yang panjang oleh KPU Provinsi Jabar selama hampir dua bulan, saya dinyatakan lolos bersama 25 bakal calon lainnya.

Akhir pekan lalu, saya sudah ditelepon salah seorang staf KPU Provinsi Jabar yang mengabarkan bahwa saya lolos verifikasi faktual. Saya tak bisa menyatakan lain, kecuali mengucap syukur alhamdulillah. Maklum, proses verifikasi ini sungguh sangat menguras konsentrasi saya dan teman-teman pendukung saya di daerah.

Bayangkan, untuk sekadar memenuhi persyaratan sebagai bakal calon anggota DPD RI, saya harus melampirkan dukungan dari minimal lima ribu pendukung. Dan mereka harus tersebar di 50 persen kabupaten dan kota di Jawa Barat.

Syukurlah, berkat bantuan teman-teman, dukungan bagi saya bisa mencapai sekitar 5.500 suara. Sebagian besar berasal dari Kota dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bandung dan Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, serta Kabupaten Cirebon. Simpatisan di daerah-daerah lain tidak sempat tergarap karena keterbatasan waktu.

Sebanyak 10 persen dari total pendukung saya itulah yang diverifikasi oleh KPU Provinsi Jabar untuk membuktikan kebenaran dukungan mereka. Di situlah kesulitannya. Sebab tidak mudah menyesuaikan jadwal kedatangan petugas verifikasi dengan aktivitas harian para pendukung saya yang mayoritas pekerja swasta, pelajar-mahasiswa, dan kalangan muda penggemar olahraga.

Toh, semua kesulitan itu kini sudah terlewati. Selanjutnya nama saya dan 25 bakal calon lainnya dikirim ke KPU Pusat di Jakarta untuk menjalani verifikasi lanjutan. Setelah itu, nama-nama bakal calon anggota DPD RI Dapil Jabar ini bakal dicantumkan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) untuk mendapat tanggapan dari masyarakat. Sebelum akhirnya masuk Daftar Calon Tetap (DCT) yang akan dipilih pada Pemilu Legislatif, 9 April tahun depan.

Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan dari para simpatisan dan pendukung saya selama ini. Semoga saya bisa mengemban kepercayaan Anda semua. Yang jelas, jika terpilih mewakili Jawa Barat, sebagai wakil generasi muda saya berharap bisa memberikan “warna baru” di DPD RI nanti. Saya juga berharap bisa ikut mendorong percepatan pembangunan di Jawa Barat dan pemerataan hasil-hasilnya. Amien. *

Capello Mulai Menghitung Mundur

BARCELONA mestinya tempat yang ideal untuk memulai sebuah perhelatan besar pada September ini. Puncak cuaca panas sudah berlalu, tapi aroma musim liburan masih terasa di sana. Ditandai dengan suasana kota yang semarak dan pantainya yang masih dipadati para pelancong mancanegara.

Namun Barcelona tampaknya bukan kota yang cukup bersahabat bagi tim nasional Inggris. Pada laga pertama kualifikasi Piala Dunia 2010 Zona Eropa Grup 6, “The Three Lions” ternyata harus berjuang keras untuk sekadar menang 2-0 atas tim lemah Andorra –negeri terkecil kelima di Eropa.

Padahal, laga ini seharusnya sekadar “pemanasan” bagi tim asuhan Fabio Capello. Pertarungan sebenarnya baru akan mereka hadapi pada laga kedua lawan Kroasia. Inilah partai balas dendam terhadap tim yang memupus harapan Inggris lolos ke putaran final Piala Eropa 2008.

Lagipula, tak ada yang bisa dibanggakan oleh Andorra –negeri dengan penduduk hanya 72 ribu jiwa. Sebagian besar para pemainnya hanya main di klub semiamatir dan sehari-hari menekuni profesi lain di luar lapangan hijau. Bisa dihitung dengan jari pemain Andorra yang sepenuhnya berkarier sebagai pesepak bola profesional.

Jangan lupa, 28 Maret 2007, Inggris juga pernah membungkam Andorra dengan skor telak 3-0. Padahal, saat itu, Inggris tengah mengalami periode sulit semasa ditangani Steve McClaren. Toh masih bisa menang besar.

Sangat wajar jika kemenangan 2-0 kali ini diterima publik Inggris dengan penuh tanda tanya. Mengapa tim ini tidak bisa tampil lebih baik di tangan Capello? Dengan performa seperti ini, masih bisakah mereka lolos ke Afrika Selatan 2010?

Keraguan memang wajar mengemuka. Pasalnya, Capello datang dengan reputasi harum berkat deretan suksesnya bersama Real Madrid, AS Roma, hingga AC Milan. Namun, di tangannya, penampilan Inggris tak lebih bagus dibanding era McClaren maupun Sven Goran Eriksson.

Wajar jika pelatih Andorra, David Rodrigo, justru merasa bangga terhadap timnya. “Sekalipun papan skor menunjukkan kami kalah 0-2, tapi kami bangga. Kami menampilkan sebuah permainan yang sangat terorganisasi dalam bertahan,” katanya, penuh semangat. “Kami melawan Inggris, sebuah tim besar dan penting, dan kami hanya kalah dua gol. Kami merasa menang secara moral malam ini.”

Wajar pula jika suara-suara skeptis terhadap kepemimpinan Capello mulai bermunculan. Bahkan disuarakan langsung oleh para pelatih klub Liga Primer –salah satunya Harry Redknapp dari Portsmouth— yang biasanya cukup “sopan” terhadap arsitek tim nasionalnya.

Di luar dugaan, Capello menanggapi “serangan” itu dengan sikap defensif khas Italia. Ia meminta para koleganya di Liga Primer agar menaruh respek terhadap posisinya di tim nasional. Seperti halnya ia mengaku menghormati posisi mereka di klubnya.

Reaksi Capello itu sungguh di luar perkiraan. Meski sudah beberapa bulan memasuki sepak bola Inggris, ternyata ia masih terlalu kental dengan kultur sepak bola negeri asalnya. Ia masih alergi terhadap kritik, terkesan selalu menjaga jarak, dan tetap menjadikan hasil akhir sebagai tujuan utama.

Makanya, Capello seperti tak hirau akan mandulnya Wayne Rooney. Padahal, tim nasional Inggris punya tradisi sukses bersama para penyerang suburnya, dari era Bobby Charlton, Gary Lineker, Alan Shearer, hingga Michael Owen.

Ia juga tak ambil pusing terhadap buruknya kinerja lini tengah Inggris sekarang ini. Padahal, seperti halnya Eriksson dan McClaren, ia juga belum mampu menemukan formula yang tepat atas keberadaan Steven Gerrard, Frank Lampard, dan Gareth Barry di lini tengah.

Cederanya Gerrard yang berbuntut operasi pangkal paha –menjelang laga lawan Andorra dan Kroasia— mungkin hanya sebuah kebetulan. Namun, jika Gerrard tak kecewa dimainkan di sayap kiri saat menghadapi Republik Ceko, sangat mungkin ia akan memilih menunda operasi ini.

Satu per satu, Capello memang mulai mengecewakan orang-orang di sekelilingnya. Mereka yang semula mengagumi reputasinya dan berharap banyak akan tuah “tangan dinginnya”.

Lalu, apa jawaban Capello tentang hal ini? “Saya percaya penuh terhadap tim ini. Kami baru saja memulai perjalanan menuju Afrika Selatan,” katanya, mantap.

Lagi-lagi, Capello menunjukkan sisi ke-italia-annya yang kental. Namun, kali ini, ia memang membutuhkannya. Karena mungkin tinggal itulah modal terbesarnya untuk membangun sukses bersama tim nasional Inggris. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 8 September 2008)

Kamis, September 04, 2008

“Bulan Madu” Inter Milan Berakhir

HASIL mengecewakan diraih juara bertahan Inter Milan di kandang Sampdoria, Sabtu (30/8) atau Minggu dini hari WIB. Mereka dipaksa pulang hanya membawa satu angka pada partai perdana kompetisi Seri A Italia musim 2008/2009.

Inter bahkan bisa dibilang cukup beruntung mampu memaksakan hasil imbang. Pasalnya, meski bikin gol lebih dulu melalui Zlatan Ibrahimovic, permainan Inter hanya bagus pada babak pertama. Babak selanjutnya, Sampdoria menekan balik dan mengendalikan permainan sebelum akhirnya menyamakan kedudukan lewat gol Gennaro Delvecchio.

Memang, pelatih Jose Mourinho mengaku tak terlalu kecewa atas hasil tersebut. Imbang di kandang lawan sekelas Sampdoria, menurutnya, bukan “musibah”. Lagipula, ia menambahkan, Seri A itu lebih mirip lomba maraton, bukan adu sprint. Artinya, bukan start awal yang terpenting, melainkan hasil akhir di pengujung musim nanti.

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa hasil imbang ini tetap mengecewakan. Setidaknya, gagal memenuhi harapan pecinta sepak bola Seri A yang memperkirakan “Nerazzurri” akan makin superior dengan kehadiran Mourinho yang dikenal bertangan dingin.

Kendati demikian, bagi saya, hasil imbang ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Ada banyak faktor yang membuat Inter kesulitan mengembangkan “kecepatan” pada awal musim kompetisi ini.

Yang pertama, jelas faktor Mourinho sendiri. Kehadiran pelatih baru selalu membawa konsekuensi perubahan bagi timnya. Tak hanya strategi permainan, tapi juga metoda latihan, strategi transfer, hingga sistem komunikasi internal di dalam tim.

Apalagi Mourinho dikenal sebagai pelatih yang kuat pendirian dan selalu gigih mempertahankan konsepnya. Benturan-benturan kecil tak bisa dihindari dengan Presiden Massimo Moratti maupun Direktur Teknik Marco Branca.

Contoh kecilnya terlihat dalam kasus Ricardo Quaresma. Mourinho sangat menginginkan Quaresma sebab Inter tak punya pemain sayap yang cepat dan bisa menusuk. Namun Moratti maupun Branca tak terlalu antusias menyikapinya –meskipun akhirnya didatangkan juga.

Yang kedua, situasi internal Inter juga tak terlalu kondusif. Mourinho merasa skuatnya terlalu besar dan butuh perampingan. Hanya saja, perampingan itu berjalan lamban karena pemain yang hendak dilepas –seperti Olivier Dacourt, Dejan Stankovic, Pele, atau Nelson Rivas— tak terlalu diminati klub lain.

Di sisi lain, skuat Inter saat ini dihuni banyak “pasien” –sebagian bahkan sudah lumayan lama berkutat dengan cederanya. Akibatnya, pada laga lawan Sampdoria maupun partai-partai lain selama pramusim, gelandang Esteban Cambiasso terpaksa dimainkan sebagai stopper. Maklum, Walter Samuel, Nicolas Burdisso, Ivan Cordoba, Christian Chivu, hingga Rivas masih menjalani perawatan.

Faktor ketiga sekaligus yang terpenting, persaingan kini semakin ketat. Tiga musim setelah skandal Calciopoli berlalu, para pesaing Inter tampaknya mulai bangkit membenahi skuatnya secara lebih serius. Lazio, Fiorentina, dan Juventus sudah melakukannya meski masih “setengah hati”.

Musim ini, giliran AC Milan melakukannya dan “sepenuh hati”. Tak tanggung-tanggung, mereka mendatangkan kembali Andriy Shevchenko dan merekrut Ronaldinho. Milan juga memperkuat lini pertahanan dengan memboyong Philippe Senderos dan gelandang bertahan Mathieu Flamini. Bisa dibilang, kini Milan sama kuatnya dengan Inter di semua lini.

Dua musim terakhir ini, klub-klub Seri A seperti berkompetisi sekadar untuk jadi runner-up di bawah Inter. Musim ini, untuk pertama kalinya sesudah “gempa” Calciopoli, publik Seri A bisa merasakan kembali makna kompetisi yang sebenarnya. Setidaknya, tak ada lagi istilah Inter “sudah pasti juara” sebelum kompetisinya itu sendiri dimulai. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 1 September 2008)

Rabu, September 03, 2008

Bursa Transfer Pemain Kembali Bergairah

DRAMA di bursa transfer pemain musim kompetisi 2008/2009 mencapai puncaknya. Menjelang batas akhir, Senin (1/9) tengah malam, kesibukan melanda hampir semua liga besar di Eropa. Puncaknya ditandai dengan tumbangnya rekor pembelian pemain temahal di Liga Primer.

Adalah Robinho yang menumbangkan rekor transfer Andriy Shevchenko yang bernilai 46,5 juta euro –saat dibeli Chelsea dari AC Milan, dua musim lalu. Dari Real Madrid, ia terbang ke Manchester City dengan rekor baru transfer Liga Primer sebesar 49 juta euro.

Hampir saja rekor Shevchenko ditumbangkan oleh dua pemain sekaligus. “Sayang”, negosiasi antara Tottenham Hotspur dan Manchester United soal Dimitar Berbatov akhirnya mentok di angka 46,4 juta euro saja.

Kegairahan itu tak hanya terjadi di Inggris. Di Italia, setelah empat tahun tiarap usai “gempa” Calciopoli, transaksi jual-beli pemain di Seri A mencatat total angka yang cukup spektakuler, hampir 450 juta euro. Angka itu setara dengan total belanja klub-klub Seri A selama empat musim sebelumnya.

AC Milan yang jadi “bintang” dengan operasi transfernya yang fenomenal. Mereka membuat persaingan di Seri A semakin menarik dengan merekrut megabintang Ronaldinho dari Barcelona dan Shevchenko dari Chelsea. Sebuah isyarat kuat bahwa Milan ingin “balas dendam” setelah terpuruk di urutan kelima pada musim lalu.

Kompetisi La Liga pun tak kalah semarak. Barca merogoh kocek 36 juta euro untuk menggiring Daniel Alves serta Seydou Keita dari Sevilla, Aleksandr Hleb dari Arsenal, dan Martin Caceres dari Villarreal. Ini juga menggambarkan keseriusan Barca mencegah saingan berat mereka, Real Madrid, menjuarai La Liga untuk ketiga kalinya secara beruntun.

Dari perspektif kita sebagai penggemar siaran langsung sepak bola Eropa, fenomena bergairahnya kembali bursa transfer pemain ini jelas sesuatu yang positif. Bergairahnya bursa transfer membuat perputaran pemain bintang jadi lebih aktif sehingga kompetisi pun jadi semakin menarik untuk diikuti.

Agar menarik dan mengundang minat publik, kompetisi sebaiknya memang bersifat dinamis. Ia tak boleh statis, apalagi kaku. Kalau juaranya itu-itu saja, kompetisi akan cepat membosankan. Apalagi kalau pemainnya juga itu-itu terus, maka penonton akan semakin enggan datang ke stadion atau sekadar nonton melalui layar kaca. *

Selasa, September 02, 2008

Awal yang Sulit bagi Tim-tim Favorit

PEKAN perdana kompetisi Seri A dan La Liga, akhir pekan lalu, menghadirkan nuansa yang seragam. Di luar dugaan, tim-tim unggulan seolah “kompak” bertumbangan. Hanya juara bertahan Seri A, Inter Milan, yang bisa dibilang “selamat” dengan menahan imbang tuan rumah Sampdoria, 1-1.

AC Milan yang dianggap sebagai pesaing terberat Inter di kancah Seri A musim ini baru bisa sekadar tampil atraktif. Kegagalan memanfaatkan banyak peluang yang mereka peroleh akhirnya harus dibayar mahal dengan menyerah 1-2 kepada tim tamu Bologna yang baru promosi dari Seri B. Sangat memalukan bagi Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi –pemilik saham mayoritas Milan— yang sengaja nonton langsung di Stadion San Siro.

Di ajang La Liga, juara bertahan Real Madrid yang tampil cukup mengesankan selama pramusim juga langsung keok. “Los Blancos” kalah 1-2 di kandang Deportivo La Coruna, Stadion Riazor, yang memang sering jadi “momok” bagi mereka.

Begitu pula Thierry Henry dan kawan-kawan yang merupakan pesaing abadi Madrid. Setelah dikalahkan Wisla Krakow di kualifikasi Liga Champions, Barcelona kembali kalah dari tim gurem Numancia. Sungguh debut yang tidak mengenakkan bagi pelatih baru Josep Guardiola. Apalagi Numancia tampil sebagai tim promosi musim ini.

Rentetan fakta mengejutkan ini membuat kita bertanya-tanya. Ada apa dengan para favorit itu? Mengapa mereka tak bisa langsung “panas” pada partai pembuka musim ini?

Ternyata cukup beragam problematika yang dihadapi masing-masing tim unggulan itu. Jika Milan mengeluhkan kurangnya keberuntungan, pasukan Barca dianggap belum sepenuhnya padu, maka pelatih Madrid merasa terganggu oleh operasi transfer –terutama kepindahan Robinho— yang tak kunjung tuntas.

Namun, satu hal yang pasti, terlalu gegabah menghapus tim-tim ini dari daftar kandidat juara hanya karena kalah pada laga pertama. Seperti dikatakan Jose Mourinho, pelatih Inter, kompetisi ini seperti maraton –bukan adu sprint. Awal yang baik jelas dibutuhkan untuk mengangkat moral dan kepercayaan diri. Namun, lebih dari itu, dibutuhkan stamina yang panjang untuk mengarungi kompetisi hingga sembilan bulan ke depan. Selain itu, juga dibutuhkan performa yang konsisten dari pekan ke pekan.

Nah, tim sekelas Milan, Barca, atau Madrid punya kesanggupan memenuhi persyaratan itu dengan skuatnya yang besar dan materi pemain di atas rata-rata. Itulah kelebihan paling signifikan yang membedakan mereka dengan tim-tim kecil dan medioker. Sehingga, pada akhir musim nanti, jangan kaget jika tim-tim favorit itu tetap mendominasi posisi-posisi terhormat. *

Senin, September 01, 2008

Problem Dana Klub Bisa Jadi “Bom Waktu”

SATU per satu klub Liga Super Indonesa dan Divisi Utama mulai menekan tombol “lampu kuning”. Paling akhir, kemarin, Persema Malang melontarkan kemungkinan tidak mulusnya perjalanan mereka mengikuti kompetisi Divisi Utama 2008/2009 karena terbentur masalah keuangan.

Menurut Asisten Manajer Persema, Asmuri, persoalan ini mengemuka karena “Laskar Ken Arok” belum bisa memastikan cairnya dana hibah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang tahun 2008. Padahal, pasokan dari APBD melalui pos KONI itulah sumber pendanaan utama untuk kesebelasan yang berlatar belakang Perserikatan.

Tahun lalu, Persema mengaku digelontori dana APBD sebesar Rp 17 miliar. Pada 2008 ini, “direncanakan” Persema memperoleh bagian Rp 15 miliar dari total Rp 18 miliar dana hibah yang masuk pos KONI.

Dengan plafon sebesar itu, tak heran jika Persema termasuk tim yang lumayan “gagah perkasa” memborong 29 pemain pada masa persiapannya. Tercatat nama-nama seperti I Komang Putra, Harry Saputra, Aris Budi Prasetyo, Christian Lenglolo, hingga Mbom-Mbom Julien berlabuh di Stadion Gajayana Malang.

Untuk pemain sekelas Lenglolo, contohnya, Persema menyediakan plafon Rp 800-900 juta/musim. Sedangkan pemain lokal yang punya nama seperti Harry nilai kontraknya berkisar Rp 500-800 juta. Pemain lokal yang kualitasnya di bawah itu mendapatkan Rp 100-400 juta.

Masalah kemudian muncul saat pengucuran dana itu dihadapkan pada ketentuan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan keuangan daerah. UU No 17/2003 tentang Keuangan Daerah maupun Permendagri No 59 Tahun 2007 dengan tegas melarang APBD dijadikan “mesin ATM” bagi klub sepak bola di daerahnya.

Tampaknya, Persema –juga tim-tim lain eks Perserikatan— sama sekali tak siap menghadapi situasi ini. Mereka juga tak punya alternatif pendanaan lain, entah itu lewat pola kemitraan, kerjasama operasional, atau swastanisasi.

Maka, yang terjadi kemudian, Persema dan tim-tim lain yang senasib seperti “menunggu Godot” saja. Entah apa yang ditunggu karena uang sebetulnya sudah ada di kas APBD tapi tak ada yang berani mencairkan karena takut berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Jika situasi ini dibiarkan terus berjalan tanpa pemecahan masalah, tim-tim itu tinggal menghitung hari saja untuk kolaps. Dan itu akan menjadi “bom waktu” yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup kompetisi sepak bola di Tanah Air. *