Kamis, September 04, 2008

“Bulan Madu” Inter Milan Berakhir

HASIL mengecewakan diraih juara bertahan Inter Milan di kandang Sampdoria, Sabtu (30/8) atau Minggu dini hari WIB. Mereka dipaksa pulang hanya membawa satu angka pada partai perdana kompetisi Seri A Italia musim 2008/2009.

Inter bahkan bisa dibilang cukup beruntung mampu memaksakan hasil imbang. Pasalnya, meski bikin gol lebih dulu melalui Zlatan Ibrahimovic, permainan Inter hanya bagus pada babak pertama. Babak selanjutnya, Sampdoria menekan balik dan mengendalikan permainan sebelum akhirnya menyamakan kedudukan lewat gol Gennaro Delvecchio.

Memang, pelatih Jose Mourinho mengaku tak terlalu kecewa atas hasil tersebut. Imbang di kandang lawan sekelas Sampdoria, menurutnya, bukan “musibah”. Lagipula, ia menambahkan, Seri A itu lebih mirip lomba maraton, bukan adu sprint. Artinya, bukan start awal yang terpenting, melainkan hasil akhir di pengujung musim nanti.

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa hasil imbang ini tetap mengecewakan. Setidaknya, gagal memenuhi harapan pecinta sepak bola Seri A yang memperkirakan “Nerazzurri” akan makin superior dengan kehadiran Mourinho yang dikenal bertangan dingin.

Kendati demikian, bagi saya, hasil imbang ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Ada banyak faktor yang membuat Inter kesulitan mengembangkan “kecepatan” pada awal musim kompetisi ini.

Yang pertama, jelas faktor Mourinho sendiri. Kehadiran pelatih baru selalu membawa konsekuensi perubahan bagi timnya. Tak hanya strategi permainan, tapi juga metoda latihan, strategi transfer, hingga sistem komunikasi internal di dalam tim.

Apalagi Mourinho dikenal sebagai pelatih yang kuat pendirian dan selalu gigih mempertahankan konsepnya. Benturan-benturan kecil tak bisa dihindari dengan Presiden Massimo Moratti maupun Direktur Teknik Marco Branca.

Contoh kecilnya terlihat dalam kasus Ricardo Quaresma. Mourinho sangat menginginkan Quaresma sebab Inter tak punya pemain sayap yang cepat dan bisa menusuk. Namun Moratti maupun Branca tak terlalu antusias menyikapinya –meskipun akhirnya didatangkan juga.

Yang kedua, situasi internal Inter juga tak terlalu kondusif. Mourinho merasa skuatnya terlalu besar dan butuh perampingan. Hanya saja, perampingan itu berjalan lamban karena pemain yang hendak dilepas –seperti Olivier Dacourt, Dejan Stankovic, Pele, atau Nelson Rivas— tak terlalu diminati klub lain.

Di sisi lain, skuat Inter saat ini dihuni banyak “pasien” –sebagian bahkan sudah lumayan lama berkutat dengan cederanya. Akibatnya, pada laga lawan Sampdoria maupun partai-partai lain selama pramusim, gelandang Esteban Cambiasso terpaksa dimainkan sebagai stopper. Maklum, Walter Samuel, Nicolas Burdisso, Ivan Cordoba, Christian Chivu, hingga Rivas masih menjalani perawatan.

Faktor ketiga sekaligus yang terpenting, persaingan kini semakin ketat. Tiga musim setelah skandal Calciopoli berlalu, para pesaing Inter tampaknya mulai bangkit membenahi skuatnya secara lebih serius. Lazio, Fiorentina, dan Juventus sudah melakukannya meski masih “setengah hati”.

Musim ini, giliran AC Milan melakukannya dan “sepenuh hati”. Tak tanggung-tanggung, mereka mendatangkan kembali Andriy Shevchenko dan merekrut Ronaldinho. Milan juga memperkuat lini pertahanan dengan memboyong Philippe Senderos dan gelandang bertahan Mathieu Flamini. Bisa dibilang, kini Milan sama kuatnya dengan Inter di semua lini.

Dua musim terakhir ini, klub-klub Seri A seperti berkompetisi sekadar untuk jadi runner-up di bawah Inter. Musim ini, untuk pertama kalinya sesudah “gempa” Calciopoli, publik Seri A bisa merasakan kembali makna kompetisi yang sebenarnya. Setidaknya, tak ada lagi istilah Inter “sudah pasti juara” sebelum kompetisinya itu sendiri dimulai. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 1 September 2008)

Tidak ada komentar: