Rabu, Januari 07, 2009

Sudahkah Pemain Kita Sadar Nutrisi?

COBA bikin jajak pendapat kecil-kecilan di kalangan pemain Liga Indonesia –ISL maupun Divisi Utama. Mintalah para pemain menyebutkan tiga jenis makanan yang relatif paling sering mereka santap dalam sepekan?

Jangan kaget kalau Anda akan mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Saya yakin sekali nama mi instan, “gorengan”, dan mi bakso kuah akan menempati urutan lumayan tinggi dalam hasil survei tersebut. Nama lain yang ikut terjaring sangat mungkin adalah siomay, es campur, ketoprak, bubur ayam, dan sejumlah “jajanan” lainnya.

Ya, begitulah memang realitas sepak bola kita. Jangan pernah membayangkan dalam kehidupan sehari-harinya para pemain kita terbiasa menyantap makanan dengan standar nutrisi tinggi. Apalagi menjalani menu dengan rujukan diet ketat ala para bintang sepak bola Liga Italia Seri A.

Kesadaran akan pentingnya asupan makanan “berkualitas” memang belum tumbuh di kalangan pesepak bola kita. Bahkan sebagian besar klub juga tak menempatkan ahli gizi yang kompeten untuk menyelia menu makanan selama pemain tinggal di mes, misalnya.

Porsi makan pemain kita umumnya memang besar –bukan rahasia lagi. Sayangnya, baru sekadar besar porsinya namun belum padat nutrisi. Padahal, menyantap makanan yang salah dapat memengaruhi performa pemain.

Menurut sejumlah jurnal ilmiah yang pernah saya baca, dua atau tiga hari menjelang pertandingan, sebaiknya pemain banyak mengonsumsi makanan yang kaya karbohidrat. Lalu, 24 jam sebelum pertandingan, jauhi gorengan dan makanan berlemak lainnya. Hindari juga makanan dengan bumbu yang terlalu menyengat.

Untuk menjaga “kenyamanan” perut, sebaiknya makanan terakhir dikonsumsi pemain 3-4 jam sebelum pertandingan. Juga harus dipastikan bahwa mereka cukup minum supaya tidak mengalami dehidrasi sebelum, selama, dan setelah pertandingan.

Setelah pertandingan, makanan yang kaya karbohidrat boleh sesegera mungkin dikonsumsi. Sekitar 50 gram karbohidrat sebaiknya dikonsumsi dalam dua jam setelah pertandingan guna membantu tubuh memulihkan cadangan glycogen.

Bila seminggu usai pertandingan si pemain tak harus menjalani pertandingan berikutnya disarankan untuk menyantap makanan yang kaya protein (hewani) tapi tetap rendah lemak. Hal in penting agar tubuh bisa menyimpan kalori dari makanan berkabohidrat kompleks. Pemain setidaknya membakar 1.700 kalori per pertandingan sedangkan tubuh hanya mampu menyimpan 600 kalori per harinya.

Makanan kaya karbohidrat adalah sumber utama kalori dalam menu diet pemain. Karbohidrat yang dimaksud adalah karbohidrat kompleks yang harus seimbang dengan protein. Karbohidrat seperti itu mudah didapat dari sayuran dan buah-buahan.

Jangan lupa, cairan yang hilang dari tubuh selama menjalani pertandingan atau latihan keras harus segera digantikan. Sebagai patokan, bila berat tubuh berkurang 1 kg selama masa latihan itu berarti hilangnya cairan dalam tubuh sekitar 1 liter.

Patokan yang kedua adalah bila air seni berwarna lebih gelap itu berarti tubuh sedang kekurangan cairan. Karena itu, saat pemain merasa haus, segeralah minum. Minuman khusus untuk olah raga bisa jadi pilihan yang baik. Di samping itu, jus buah murni tanpa gula juga sangat baik untuk menjadi pengisi cairan tubuh.

Namun pemain tidak disarankan untuk minum sekaligus dalam jumlah banyak karena berpotensi mengakibatkan sakit perut. Lebih baik sedikit demi sedikit tapi sering. Anda yang kebetulan masih jadi pemain aktif, silakan mencobanya! *

Selasa, Januari 06, 2009

APBD untuk Persik: Langkah Berani atau “Bunuh Diri”?

HAMPIR dua pekan saya “lupa” mengurusi blog ini karena menjalani rutinitas “kesibukan” akhir tahun yang padat. Dari urusan pekerjaan di kantor hingga menjalani tur ke Jawa Tengah bersama anak-anak saya yang sedang menikmati liburan sekolah.

Tepat ketika memutuskan harus kembali mengisi blog ini, saya dikejutkan oleh sebuah berita menarik dari Jawa Timur. DPRD Kota Kediri baru saja mengesahkan kucuran dana Rp 12,5 miliar dari APBD tahun anggaran 2009 untuk modal Persik mengarungi sisa musim kompetisi 2008/2009.

Ini sebuah keputusan yang sungguh berani dari para wakil rakyat “Kota Tahu”. Bayangkan, Rp 12,5 miliar! Itu bukan uang sedikit. Apalagi pada tahun anggaran 2008, Persik juga sudah menikmati kucuran dana Rp 7,5 miliar. Bukannya berkurang, justru makin besar anggaran yang tersedot untuk “Tim Macan Putih” itu.

Yang jadi masalah, saat ini Pemerintah masih “melarang” pemanfaatan anggaran dalam APBD untuk pendanaan tim sepak bola. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 yang direvisi menjadi Permendagri Nomor 59/2007.

Ketentuan itulah yang membuat sejumlah tim mengalami “sesak napas” pada paruh pertama ISL musim 2008/2009. Tim sebesar Persija Jakarta saja sempat mengalami keterlambatan pembayaran gaji. Apalagi tim dengan modal pas-pasan semacam Persitara, PSIS Semarang, atau Persijap Jepara.

Kalangan DPRD Kota Kediri berargumen bahwa pengucuran dana APBD itu tak menyalahi aturan. Pasalnya pemberiannya dilakukan melalui mekanisme dana hibah, melalui satuan kerja di Lingkungan Pemerintah Kota Kediri. Lebih jelasnya, KONI Kota Kediri yang jadi pelaksana pengucuran dana tersebut.

Bagi saya, ini menarik. Sebab mekanisme dana hibah itu argumen lama yang belakangan diragukan sendiri oleh kalangan Pemerintah Daerah. Atas dasar keragu-raguan itulah sejumlah daerah jadi enggan –atau bermain “kucing-kucingan”— dalam mengucurkan dana APBD untuk tim sepak bolanya.

Dugaan saya, kalangan DPRD Kota Kediri berani menerobos keragu-raguan itu karena melihat celah dalam Permendagri tersebut. Saya masih ingat, dalam “Lokakarya Pembiayaan Sepak Bola” di Surabaya, medio September lalu, muncul keyakinan bahwa Permendagri 59/2007 tidak sepenuhnya melarang sepak bola. Hanya saja, penggunaannya harus memperhatikan asas rasionalitas dan jumlahnya diharapkan semakin mengecil dari tahun ke tahun.

Celah itu terasa makin menganga jika kita mencermati pasal 42 ayat (4a) Permendagri 59/2007 yang mengatur tentang belanja hibah. Klausul itu berbunyi, “Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas, dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.”

Dari perspektif politik, bunyi ketentuan jelas menguntungkan bagi klub sepak bola. Sebab, klub sepak bola –terutama perserikatan— umumnya dipimpin oleh kepala daerahnya masing-masing. Dan, diakui atau tidak, klub-klub tersebut telah menjadi sayap politik kepala daerah dalam meraih atau mempertahankan dukungan khalayak.

Persoalannya kemudian, ada ketentuan lain yang berkaitan dengan urusan hibah APBD ini. Ada Peraturan Pemerintah Nomor 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang melarang hibah dan bantuan sosial diberikan secara berulang-ulang. Semangat PP Nomor 58/2005 ini jelas sekali: tidak menghendaki pembiayaan klub sepak bola melalui dana APBD.

Publik, kalangan anggota dewan, serta para pejabat Pemda boleh saja bingung terhadap Permendagri 59/2007 yang terkesan ambigu dan bertentangan dengan aturan hukum di atasnya itu. Namun, satu hal yang pasti, secara hirarki PP Nomor 58/2005 lebih tinggi kedudukannya dibanding Permendagri 59/2007.

Jadi, menurut Anda, keberanian DPRD dan Pemkot Kediri itu sebuah terobosan atau pada akhirnya akan menjadi langkah “bunuh diri”? *