Senin, Oktober 27, 2008

Ketika Rooney Lupa Kulitnya

ADA insiden kecil yang sangat menarik saat Manchester United (MU) bertandang ke Stadion Goodison Park, Sabtu (25/10) lalu. Lawatan ke kandang Everton itu, selalu jadi acara “pulang kampung” yang tak ramah bagi Wayne Rooney, striker andalan “Tim Setan Merah”.

Benar saja. Sepanjang pertandingan, ejekan publik tuan rumah terus mengiringi Rooney setiap kali ia memegang bola. Provokasi suporter “The Toffees” memuncak pada menit ke-69 ketika Rooney menjatuhkan Mikel Arteta –salah satu pemain kesayangan pendukung Everton— dan akibatnya ia diganjar kartu kuning.

Bagi saya dan mungkin banyak penonton lain, itu sebenarnya pelanggaran biasa. Tapi, ketika wasit Alan Wiley melihatnya berbeda dan menganggapnya layak diberi kartu kuning, itu juga hal biasa. Itulah “wilayah” kekuasaan wasit yang tak bisa kita campuri selama pertandingan bergulir.

Saya rasa Rooney juga mengerti hal itu. Bahwa wasit memiliki otoritas dalam membuat penafsiran yang acapkali sangat subjektif terhadap sebuah pelanggaran atau insiden dalam satu pertandingan. Dalam posisi sebagai pemain tim tamu dan bermain di depan suporter mantan timnya, saya mengira Rooney akan menerima kartu kuning itu dengan legawa.

Reaksi Rooney sungguh di luar dugaan. Dalam “iringan” riuh-rendah cemoohan publik Goodison Park, Rooney justru kehilangan kontrol. Tak kalah sengit, ia merespons reaksi publik dengan mencium kaos MU tepat di bagian logo klub juara bertahan Liga Primer itu.

Insiden kecil itu nyaris membawa “malapetakan” bagi Rooney maupun timnya. Wasit langsung mendekati striker berusia 23 tahun itu dan memberinya peringatan. Tentu saja, peringatan itu sama sekali tak dihiraukan oleh Rooney.

Untunglah pelatih MU, Alex Ferguson, cepat tanggap dan tak mau ambil risiko. Dua menit berselang, ia menarik Rooney keluar dan menggantikannya dengan Nani. Sebuah keputusan yang tepat dan bijak.

Jika dibiarkan meneruskan pertandingan, kartu merah bukan tak mungkin keluar dari saku wasit. Sekarang ini saja kasus Rooney bisa dipastikan masuk agenda Komisi Disiplin FA setelah wasit Wiley memberikan laporannya. Setelah membahas laporan itu, FA akan memutuskan apakah insiden itu cukup serius untuk ditindaklanjuti atau tidak.

Bahkan Rooney berpotensi “merusak” dirinya lebih jauh lagi jika dibiarkan terus main. Seperti pernah dilakukannya terhadap wasit Kim Milton Nielsen pada pertandingan Liga Champions lawan Villarreal, 14 September 2005 lalu.

Sungguh ironis, dilema elementer seperti ini masih menimpa pemain sekaliber Rooney. Selaku bintang tim sebesar MU dan juga anggota skuat inti tim nasional Inggris, mestinya Rooney sudah “selesai” dari ujian mental seperti ini. Bahkan mestinya sejak pertama kali meninggalkan Everton dan berlabuh di Old Trafford pada awal September 2004.

Maklum, dulu ia begitu menggebu-gebu menunjukkan kecintaannya terhadap Everton, klub yang membesarkannya. “Sekali biru, akan selalu biru”, begitulah ia menggambarkan fanatismenya terhadap Everton yang memang menjadikan biru sebagai warna kebesarannya.

Dalam era industri sekarang ini, terbukti fanatisme terhadap satu klub tak berlaku lagi bagi seorang pemain. Setiap saat ia harus siap pindah dan beralih ke tim lain –bahkan yang tergolong musuh bebuyutan tim idolanya.

Toh, itu bukan masalah besar jika pemain bisa menyikapinya secara dewasa. Rooney mungkin bisa belajar dari Raul Gonzalez. Sebagai bintang yang “dibuang” Atletico Madrid, ia membayar kepercayaan Real Madrid dengan gol-golnya dalam “El Derbi Madrileno”. Atau Rooney bisa belajar dari cara Luis Figo menghadapi hujatan suporter Barcelona yang tak rela ia menyeberang ke Real Madrid.

Cemoohan dari suporter tim lama adalah risiko bagi setiap pemain yang pindah ke klub lain atas kemauan sendiri. Entah untuk meningkatkan karier atau demi penghasilan lebih baik. Cemoohan itu mestinya disikapi sebagai ungkapan rasa cinta yang tak berbalas.

Rooney sepatutnya menikmati saja cemoohan itu, bahkan melihatnya sebagai pujian dalam bentuk lain. Meladeninya dengan sikap provokatif justru hanya akan membuatnya semakin dibenci. Sekaligus membuatnya seperti “kacang yang lupa kulitnya”. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 27 Oktober 2008)

Kamis, Oktober 23, 2008

Sepak Bola Indonesia Butuh Anger Management?

SEPANJANG tahun 2008 ini setidaknya kita mencatat beberapa kasus pemukulan terjadi di pentas sepak bola Indonesia. Ada yang dilakukan oleh ketua umum, manajer tim, asisten manajer, pelatih, asisten pelatih, wasit, hingga penonton yang mestinya duduk manis di tribun.

Di antaranya, kasus pemukulan wasit Yandri kepada Asisten Manajer PSM Makassar Faizal Minang, Minggu (12/10) lalu. Ketika itu, Faizal yang sebenarnya bermaksud memukul. Tapi Yandri ternyata lebih gesit dan mampu berbalik meng-KO Faizal.

Sebelumnya, ada upaya pemukulan Manajer PSIS Semarang, Yoyok Sukawi, terhadap wasit Sunaryo Joko, Kamis (9/10). Di kompetisi Divisi Utama, pelatih Persikab, Deny Syamsudin, juga diserang oknum penonton yang menerobos hingga ke pinggir lapangan saat bertandang ke Mitra Kukar, Selasa (7/10) lalu.

Masih ada lagi kasus pemukulan terhadap pelatih tim nasional Libya, Gamal Adeen M Abu Nowara. Ia “mengaku” dipukul oleh salah seorang asisten pelatih Indonesia, Jumat (29/8), pada turnamen Piala Kemerdekaan. Meskipun kubu timnas Indonesia kemudian membantah tuduhan tersebut.

Paling “spektakuler”, tentunya, tindak kekerasan terhadap Raja Isa saat masih menjadi pelatih Persipura, medio Agustus lalu. Saat tengah memimpin timnya menjamu Persijap di Stadion Mandala, Raja Isa malah diserang sejumlah pengurus “Tim Mutiara Hitam” yang dipimpin Ketua Umum M.R. Kambu. Bahkan Odniel Marauce, salah seorang pengurus klub Persipura, sempat melayangkan pukulannya.

Raja Isa sampai harus lari lintang-pukang menghindari serangan itu. Sementara di tribun, pendukung Persipura balas mengecam aksi brutal para pengurusnya. Kebrutalan yang kemudian berbuah denda Rp 50 juta bagi Marauce dan Rp 25 juta untuk Kambu.

Dari deretan contoh peristiwa tersebut, kita mendapatkan fakta yang menarik. Tindak kekerasan selama petandingan ternyata tak hanya dilakukan pemain, tapi juga dilakukan oleh pengurus, bahkan wasit dan pelatih. Emosi tak terkendali tidak hanya meluap pada diri pihak-pihak yang terkait langsung dalam pertandingan, tapi juga dialami pihak-pihak pendukungnya seperti pelatih maupun pengurus yang selama pertandingan posisinya di “pinggir lapangan”.

Mengacu kepada berbagai kasus tersebut, mungkin sepak bola Indonesia sudah saatnya memikirkan sebuah format pelatihan “Anger Management” untuk jajarannya. Karena bila kekerasan ini kerap terjadi dan kemudian dianggap hal biasa, banyak pihak yang akan dirugikan.

Bukan hanya pihak yang terlibat dalam kekerasan itu yang merugi. Perkembangan sepak bola nasional pun akan terkena imbasnya. Belum lagi sanksi dari AFC atau FIFA bila insiden tersebut terjadi dalam pertandingan internasional.

“Anger Management” adalah bentuk terapi untuk membantu mengatasi berbagai rasa marah yang bisa mempengaruhi kesehatan seseorang, pekerjaan, perilaku sosial, atau hubungan personal. Tujuan utamanya, mengajarkan seseorang untuk mampu mengenali dan mengelola kemarahannya.

Di mancanegara, “Anger Management” sudah banyak direkomendasikan oleh hakim dalam kasus kekerasan di pertandingan olah raga yang kasusnya sampai ke meja hijau. Seperti kasus pemukulan yang dilakukan seorang pemain futsal di Amerika Serikat. Sang pelaku diminta hakim mengikuti “Anger Management” sebagai persyaratan atas hukuman percobaan yang dijatuhkan padanya. Bintang basket NBA, Ron Artest, tahun lalu juga harus menghabiskan liburan musim panas di kelas “Anger Management” karena perilaku brutalnya di lapangan.

Hukuman yang dijatuhkan pada pelaku tindak kekerasan dalam olah raga apapun umumnya berat. Apalagi kalau kasusnya sampai ke meja hijau. Betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah kemarahan terlihat dalam jumlah denda yang harus dibayar Marauce dan Kambu.

Alangkah sayangnya dana APBD yang disalurkan ke klub terbuang hanya untuk membayar denda atas amarah seperti ini. Jadi, mengapa tidak mulai berpikir tentang “Anger Management”? *

Senin, Oktober 20, 2008

“Sport Jantung” Bersama Liverpool

PEMEO bahwa bola itu bundar seperti menemukan pembenarannya dalam lanjutan kompetisi Liga Primer putaran kedelapan, pekan lalu. Khususnya pertandingan Liverpool lawan Wigan yang ditayangkan langsung oleh stasiun televisi tvOne. Sepanjang pertandingan, entah berapa kali hati kecil kita dipaksa “keliru” memprediksi seperti apa jadinya akhir duel nan seru ini.

Kebanyakan orang mungkin yakin Liverpool bisa menang karena rekor kandang mereka sepanjang tahun 2008 lumayan dahsyat. “The Reds” tidak terkalahkan dari 13 pertandingan di Stadion Anfield –10 di antaranya berbuah kemenangan.

Tapi keyakinan itu menjadi berkurang karena lini belakang Liverpool tak diperkuat bek kiri Fabio Aurelio dan bek tengah Martin Skrtel. Aurelio sudah biasa diganti Andrea Dossena. Tapi Daniel Agger yang mengisi posisi Skrtel sudah 13 bulan tak mencicipi ketatnya pertandingan Liga Primer.

Semakin berkurang karena absennya striker andalan Fernando Torres. Seperti halnya kapten Steven Gerrard, Torres ibarat sebelah kaki bagi Liverpool. Tanpa Torres atau Gerrard, permainan Liverpool jadi pincang. Tanpa keduanya sekaligus, mungkin malah “lumpuh”.

Keyakinan suporter Liverpool juga sangat terganggu oleh faktor pelatih Wigan, Steve Bruce. Empat kali tandang ke Anfield membawa dua tim berbeda, Birmingham dan Wigan, Bruce tetap bisa pulang dengan kepala tegak. Latar belakang sebagai bek tengah Manchester United (MU) era 1980-an tampaknya sangat menolong Bruce dalam memahami cara menjinakkan Liverpool.

Ah, benar saja. Tak sampai 30 menit, Liverpool sudah dibuat tertinggal oleh gol striker maut Wigan, Amr Zaki. Mudah diduga, gol itu berawal dari kesalahan Agger saat menguasai bola di depan gawang Jose Reina. Kesalahan yang ironisnya justru berawal dari kepercayaan diri yang kelewat besar di sebuah laga perdana.

Benar, Agger kemudian membayar lunas kesalahan itu dengan assist kepada Dirk Kuyt. Tapi magis Bruce kembali menemukan jalannya lewat “gol ala Widodo C. Putro” yang dilesakkan Zaki dengan aksi akrobatik menjelang akhir babak pertama.

Sampai di situ, kebanyakan orang mulai meragukan kesanggupan Liverpool merealisasikan predikat barunya sebagai “King of Comeback”. Meski musim ini mereka sudah tiga kali membuktikannya saat menghadapi MU, Middlesbrough, dan Manchester City.

Sampai pertengahan babak kedua, juga tak ada tanda-randa drama itu bakal berulang. Pertahanan berlapis Wigan seperti “sarang burung” yang penuh liku dan memerangkap para pemain Liverpool. Tak ada tanda-tanda bakal bisa ditembus.

Namun “bola yang bundar” itu akhirnya menggelinding ke sisi yang lain setelah Antonio Valencia diganjar kartu merah. Inilah momentum yang ditunggu-tunggu Steven Gerrard dan kawan-kawan untuk menemukan pintu masuk ke “sarang burung” pertahanan Wigan.

Serangan lawan yang bergelombang dan cepat membuat kaki Mario Melchiot dan kawan-kawan mulai gontai, kelelahan. Mereka tak kuat lagi mengikuti pergerakan Jermaine Pennant dan Albert Riera yang terus meneror dari dua sisi lapangan. Gol Riera dan kemudian tendangan voli indah Kuyt pun seperti tinggal soal waktu saja.

Itulah kenikmatan menonton sepak bola yang sebenarnya. Ada kombinasi yang sempurna antara keraguan dan keyakinan, kelelahan dan kegigihan, kegagalan dan keberuntungan, kekecewaan dan kebanggaan, serta –tentu saja— kekalahan dan kemenangan. Semuanya tak bisa diprediksi kehadirannya. Sehingga penggemar Liverpool dipaksa terus “sport jantung” saat menyaksikan tim favoritnya beraksi.

Hanya saja, jantung termasuk organ tubuh yang rapuh. “Sport jantung” yang kelewat sering hanya akan membawa penyakit, bahkan mungkin kematian –berupa kekalahan, tentunya. Dan, jika Liverpool tak segera membenahi kebiasaan tampil buruk pada babak pertama, “kematian” itu bisa saja terjadi saat Liverpool bertandang ke markas Atletico Madrid atau Chelsea pada pekan mendatang. Atau sebaliknya? ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor, edisi 20 Oktober 2008)

Say No To Alcohol

KITA sering tak sadar kalau bahaya pernah begitu dekat dalam kehidupan kita. Dan kita baru menyadarinya setelah marabahaya itu berlalu dan kita masih baik-baik saja. Seperti yang saya alami di Manchester saat berlangsungnya final Piala UEFA, Rabu (14/5) lalu.

Sepanjang pagi hingga siang hari itu, saya berada di Piccadilly Gardens –sekitar 10 menit jalan kaki dari hotel tempat saya menginap. Sambil menunggu keberangkatan ke Stadion City of Manchester, saya berbaur dengan ratusan dan kemudian jadi ribuan suporter yang memenuhi kawasan niaga itu.

Di sana, saya menyaksikan bagaimana suporter Glasgow Rangers “menduduki” kawasan itu. Sebagian bertelanjang dada, main bola, nyanyi-nyanyi, dan ada pula yang cari tambahan dengan jual kaos atau “ngamen” memakai alat musik tiup tradisional.

Saya juga melihat dengan mata kepala sendiri bahwa layar raksasa yang dipasang memunggungi Hotel Ramada masih berfungsi siang itu. Dan, yang tak terlupakan, saya melihat dengan jelas betapa kuatnya orang-orang Skotlandia itu menenggak bir.

Kalau Anda melihat orang bepergian, barang bawaan mereka umumnya makanan dan pakaian di dalam ransel. Sulit dipercaya, di Stasiun Manchester Piccadilly, saya melihat puluhan suporter Rangers turun menenteng tas besar yang isinya berkaleng-kaleng bir. Bahkan ada yang memanggul satu kerat berisi –mungkin— 20 atau 24 botol bir.

Entah mengapa, siang itu, saya langsung punya firasat tak enak. Makanya, saat melaporkan situasi lapangan dan rencana tulisan, saya berkirim sms kepada salah seorang rekan di kantor: “Du, kayaknya bakal rusuh nih ntar malem”.

Ah, ternyata benar. Malam itu, saat saya duduk manis di Stadion City of Manchester, Piccadilly dilanda kerusuhan. Marah karena layar raksasa gagal berfungsi menjelang kick-off, puluhan pria mengamuk dan menyerang petugas. Situasi di Piccadilly Gardens malam itu digambarkan media massa Inggris dengan kata-kata yang menyeramkan: War Zone.

Sabtu (17/5) lalu, giliran 90 ribu pendukung Portsmouth dan Cardiff City menyerbu Wembley. Aneh, saya tak punya firasat buruk. Bahkan, sekalipun sempat terjepit di antara puluhan pendukung kedua tim di kereta subway Jubilee Line dari Bond Street menuju Wembley Park, saya juga tak merasa terancam.

Kuncinya sederhana: alkohol. Tak ada pesta alkohol di Wembley, Piccadilly Circus, Waterloo, atau kawasan lain yang jadi titik persinggahan suporter. Di dalam Stadion Wembley, pemeriksaan juga ekstraketat untuk mencegah kemungkinan lolosnya suporter teler. Bahkan di ruangan pers yang lumayan mewah itu pun tercantum jelas tulisan: “No Alcohol”.

Hasilnya, Piala FA berlangsung aman dan lancar meski suporter Portsmouth dan Cardiff sempat saling ejek saat lagu kebangsaan God Save The Queen dan Hen Wlad Fy Nhadau (Tanah Kelahiran Ayahku) bergantian dikumandangkan. Rasanya benar kata Bang Haji (Rhoma Irama), minuman keras itu memang lebih banyak mudaratnya. *

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 19 Mei 2008)

Selasa, Oktober 14, 2008

Ayo Mampir di Portal Vivanews.com

SATU lagi pendatang baru hadir di jagat media Indonesia. Kali ini, masuk melalui dunia maya. Namanya simpel dan mudah diingat: vivanews.com.
Sebagai sebuah portal berita, saya melihat vivanews.com bisa jadi alternatif menarik. Ia menawarkan ragam pilihan yang lebih kaya dibanding portal-portal lain yang lebih dulu hadir.
Saya suka sekali masuk ke halaman teknologinya. Meskipun menu sainsnya, menurut saya, masih agak kurang digarap. Saya juga suka mengintip foto-fotonya yang lumayan wah. Bahkan saya juga terkejut karena ada halaman khusus mengenai korupsi. Cukup mengasyikkan berita-beritanya.
Tapi, tentu saja, saya paling sering buka-buka halaman bolanya. Itu kan memang dunia saya. Dan isinya boleh juga, meski jelas masih bisa lebih ditingkatkan --sesuai tekad vivanews.com untuk mengutamakan kecepatan serta kedalaman.
Saya merasa perlu berbagi informasi soal portal baru ini. Soalnya, saya sedikit ikut "terlibat" di sana lewat rubrik Analisis yang dipasang di pojok kiri bawah halaman Bola.
Minggu ini, saya ber-Celoteh soal ancaman krisis keuangan global terhadap persepakbolaan dunia, khususnya Eropa. Silakan Anda baca dan jangan lupa mengomentarinya. Di blog saya ini pun boleh. *

Senin, Oktober 13, 2008

Capello Harus Berhenti Bereksperimen

HASIL fantastis dibukukan tim nasional Inggris saat menjamu Kazakhstan di Stadion Wembley, Sabtu (11/10) atau Minggu dini hari WIB. Tak tanggung-tanggung, Inggis membantai tim pecahan Uni Soviet itu dengan skor sangat telak: 5-1!

Inilah kemenangan terbesar yang diraih “The Three Lions” sejak ditangani Fabio Capello, 14 Desember 2007. Ditambah kemenangan 4-1 atas Kroasia, bulan lalu, Inggris pun kian menunjukkan potensinya sebagai salah satu tim paling “panas” di Eropa saat ini.

Yang menarik, dalam pertandingan di Stadion Wembley ini, Capello menurunkan formasi baku 4-4-2. Bukan pola eksperimen 4-3-3 seperti yang sempat dicobanya dalam beberapa kali latihan prapertandingan.

Wayne Rooney dan Emile Heskey diturunkan sebagai duet di lini depan. Pembagian tugas di antara mereka jelas dan simpel. Heskey membuka ruang dan menjadi “tembok” pemantul aliran umpan dari sayap kanan maupun kiri.

Rooney yang kemudian memanfaatkan bola-bola “pantulan” dari Heskey tersebut. Dengan postur Heskey yang tinggi-kekar dan keuletannya dalam perebutan bola, pasokan bola bagi Rooney bisa dibilang cukup terjamin. Tinggal pintar-pintarnya Rooney memanfaatkan peluang yang tercipta.

Hasilnya pun nyata. Rooney mencetak dua gol kemenangan Inggris. Ia sekaligus meneruskan tren positif produktivitas golnya dalam sebulan ini.

Yang tak kalah menarik, dalam laga ini, Capello juga menduetkan Steven Gerrard dan Frank Lampard di pusat lini tengah. Sebuah keputusan yang sangat berpotensi menjadi sumber polemik sekaligus amunisi bagi para kritikus seandainya Inggris gagal memetik kemenangan.

Toh, keberanian Capello –yang memang didukung data statistik— berbuah manis. Duet Gerrard-Lampard mampu memperlihatkan kematangan bermain sebagaimana sudah mereka tunjukkan selama bertahun-tahun di Liverpool dan Chelsea.

Bermain 4-4-2 dengan dua pemain sayap –Theo Walcott di kanan dan Gareth Barry di kiri— memang tak mudah bagi Gerrard dan Lampard. Di klubnya, mereka terbiasa mendapat ruang gerak sangat besar untuk merangsek ke kotak penalti dan mencetak gol.

Lain halnya saat bermain dengan pola 4-4-2 racikan Capello. Suka-tak suka, Gerrard dan Lampard harus memberi perhatian lebih banyak terhadap pertahanan. Mereka harus lebih ikhlas membiarkan Walcott dan Barry yang bermanuver dan mendapat peluang bikin gol.

Mungkin karena faktor usia dan karakter bermainnya, Gerrard tampak lebih optimal menjalanlan tugasnya saat menghadapi Kazakhstan. Padahal, dengan komitmen seperti itu, ia sebenarnya “mengabaikan” kelebihannya sebagai penembak jitu dari lini kedua.

Tapi begitulah permainan tim. Setiap pemain harus siap mendedikasikan dirinya untuk tim dan melupakan ambisi pribadinya. Itulah yang sudah dilakukan Gerrard untuk “The Three Lions”.

Benar, Kazakhstan memang bukan tim papan atas Eropa dan mungkin bukan barometer yang tepat untuk mengukur kemampuan tim Inggris yang sebenarnya. Bahkan permainan Inggris sendiri pun belum bisa dibilang sempurna.

Namun memang tak ada yang sempurna di dunia. Dan Capello tak perlu mencari-cari kesempurnaan itu. Yang harus dia lakukan hanyalah membuka mata dan hati untuk menerima kenyataan bahwa kerangka tim dan pola permainan ideal untuk timnya sudah didapatkan.

Capello tinggal konsisten mempertahankan kerangka tim dan pola 4-4-2 ini saat menjalani laga tandang di Belarus, Rabu (15/10) nanti. Ia juga harus gigih mempertahankan duet Gerrard-Lampard sebagai tulang punggung lini tengah. Seperti halnya ia juga harus berani terus mempercayai Rooney sebagai mesin golnya.

Dengan konsistensi dan kepercayaan penuh dari Capello, saya yakin Gerrard, Lampard, Rooney, bersama kapten John Terry akan membawa Inggris kembali jadi kekuatan yang disegani di Eropa. Bahkan mungkin di putaran final Piala Dunia 2010 nanti. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 13 Oktober 2008)

Selasa, Oktober 07, 2008

Mourinho dan Mulut Besarnya Itu

KEHADIRAN Jose Mourinho di panggung kompetisi Seri A benar-benar membawa warna baru. Kebiasaannya mengumbar kata-kata pedas telah menjadikan kompetisi paling bergengsi di Italia itu terasa lebih hidup, bergairah, sekaligus “makin panas”.

Meski kompetisi baru seumur jagung, Mourinho sudah buka front di sejumlah “medan pertempuran”. Dengan Direktur Sport Catania, Pietro Lo Monaco, ia terlibat perang kata-kata yang menjurus kasar. Lo Monaco bahkan sampai menyatakan “sumpal saja mulut Mourinho” saking kesalnya terhadap arogansi pelatih baru Inter Milan itu.

Tak kalah seru perang kata-katanya dengan Claudio Ranieri. Inilah pelatih yang tergusur dari kursi kepelatihan Chelsea saat Mourinho datang dengan predikat juara antarklub Eropa yang diraihnya bersama FC Porto musim 2003/2004.

Ranieri mengecam Mourinho sebagai pribadi yang tidak terpuji dan bakal segera “termakan” oleh omongannya sendiri. Tanpa basa-basi, “The Special One” balas mengejek Ranieri yang tak becus mengucapkan kalimat sederhana semacam “good morning” padahal pernah empat tahun menangani Chelsea. Mourinho juga mengkritik Ranieri sebagai sosok pelatih kuno dan sulit mengubah cara berpikirnya.

Masih ada lagi sejumlah front lain yang dibangun Mourinho pada awal kehadirannya di “Negeri Pizza”. Ia menyerang Carlo Ancelotti, pelatih AC Milan yang pernah meledeknya karena tak punya latar belakang sebagai pemain hebat. “Mungkin ia lupa, permainan terbaik Milan justru saat ditangani Arrigo Sacchi,” katanya, menyindir. “Dan, seperti saya, Sacchi juga tak pernah jadi pemain hebat.”

Dengan gagah berani, Mourinho juga menantang pers Italia dengan hanya mengirim asisten pelatih Giuseppe Baresi saat jumpa pers usai mengalahkan Lecce. Sebuah sikap yang jamak terjadi di Liga Primer, namun jarang sekali dilakukan para pelatih klub Seri A.

Sederet pertempuran yang dilancarkan Mourinho pada awal musim 2008/2009 ini membuat kompetisi Seri A langsung “panas”. Tak lagi adem-ayem dan menjemukan seperti pada musim-musim sebelumnya.

Yang menarik, Mourinho tampak tenang-tenang saja menghadapi situasi bergejolak itu. Ia tetap tenang, percaya diri, bahkan terus mengendalikan permainan –kalau perlu dengan melancarkan taktik mengaku “kalah”.

Simak saja caranya menyudahi perseteruan dengan Ranieri yang dirasanya mulai menguras energi. “Dia bicara sekali dan dia senang, dia bicara dua kali dan dia lebih senang. Dia bicara tiga kali dan senyum di wajahnya mengembang. Saya bicara sekali saja dan dia sedih,” katanya, menyindir. “Cukup sampai di sini. Skor 3-1 untuknya namun gol saya sangat indah.”

Begitu juga ketika menghadapi tekanan dari pers Italia soal ketidakhadirannya dalam jumpa pers. Mourinho tak kehabisan akal untuk membalikkan keadaan. “Dalam karier saya yang pendek, saya sudah 20 kali mengirim asisten ke konferensi pers. Dan di kesempatan ke-21, disebut tidak menghormati pers. Apa masalahnya?” katanya, sengit.

Ia pun kemudian membeberkan fakta bahwa Baresi sengaja dipilih karena dinilai mengerti betul sejarah Inter. “Saya memilih orang-orang yang bisa mewakili klub dengan martabat dan berkelas. Masalahnya, Anda tidak menghormati orang seperti Baresi,” katanya, menyerang balik.

Alangkah cantiknya “serangan balik” Mourinho itu. Dari perspektif komunikasi, ia tak hanya membuat kalangan pers Italia mati kutu. Lebih dari itu, ia sukses membangun pencitraan yang sangat positif bagi dirinya, Baresi, bahkan Inter Milan sebagai institusi yang mempekerjakannya.

Dari kasus perang kata-kata Mourinho dan pers Italia ini, kita mulai bisa menyelami pola pikir pelatih asal Portugal itu dengan perspektif yang lebih positif. Kuncinya adalah tidak terjebak dalam pemaknaan verbal semata terhadap setiap kata-kata pedas yang dilontarkannya.

Pernyataan dan sikap Mourinho memang mudah bikin jengkel –apalagi bagi para pesaingnya. Tapi, jika ditelisik lebih jauh, sepertinya ia memang sengaja membangun kejengkelan publik itu untuk tujuan lain yang lebih besar.

Dalam kasus Inter, saya “curiga” ia sengaja menempatkan diri sebagai sasaran tembak bagi pers dan “barisan anti-Inter”. Dengan demikian, ia bisa menjauhkan Adriano dan kawan-kawan dari sorotan pers Italia yang terkenal “kejam”.

Pers pun jadi lupa terhadap problem gaya hidup Adriano. Mereka juga tak terlalu cermat mengamati performa Ricardo Quaresma yang kurang mengesankan. Bahkan kekalahan dalam derby Milan pun “terlupakan” karena fokus perhatian publik lebih tertuju kepada sang pelatih.

Mourinho mungkin bukan tipe pelatih yang gaya manajemennya bisa ditiru. Namun, setidaknya, ia bisa jadi alternatif yang menarik sekaligus memberi warna tersendiri. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 6 Oktober 2008)