Jumat, Agustus 29, 2008

Menggugat Rasa Merdeka di Piala Kemerdekaan

TURNAMEN sepak bola Piala Kemerdekaan berakhir, semalam. Kejuaraan yang nama resminya “Pertamina Independence Cup 2008” itu berakhir dengan meninggalkan sejumlah kesan.

Bagi mereka yang terbiasa nonton tim nasional Indonesia, kesan paling melekat mungkin soal kuatnya “rasa merdeka” selama kejuaraan ini. Bukan karena nama turnamennya atau lantaran digelar menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-63.

Rasa “merdeka” yang saya maksud adalah keleluasaan yang begitu besar untuk menikmati semua pertandingannya. Bayangkan, semua pertandingannya ditayangkan oleh dua stasiun televisi yang “kebetulan sekali” masih satu grup.

Penonton yang datang langsung ke Stadion Utama Senayan pun sangat “merdeka” menonton semua pertandingan itu. Mereka bisa duduk santai sambil mengangkat kaki, tidur-tiduran, atau bahkan pindah-pindah kursi untuk mencari posisi nonton yang paling pas. Wong stadionnya memang kosong melompong.

Suasana turnamen kali ini membuat rekan-rekan saya dari kalangan pers merasakan betul arti “kemerdekaan” dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Jauh berbeda dengan suasana saat kita jadi salah satu tuan rumah Piala Asia 2007. Waktu itu, sebagai wartawan, rasanya kami betul-betul “dijajah” oleh aturan ekstraketat yang ditetapkan staf panitia dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) yang sok galak itu.

Namun, di balik “kemerdekaan” yang luar biasa kali ini, terselip kesedihan mendalam jauh di lubuk hati saya. Cuma sesedikit inikah para pendukung “Tim Merah Putih” –hanya dua ribuan orang per pertandingan? Ke mana lautan suporter kita yang begitu mengharu-biru seperti pada Piala Asia lalu?

Meski mulai bosan, lagi-lagi saya harus menyebut bahwa semua ini tanggung jawab PSSI. Kenyataan tragis ini adalah buah kegagalan PSSI sendiri –terutama Badan Liga Sepak Bola Indonesia— dalam membangun kekompakan dan semangat persaudaraan sesama suporter lewat kompetisi Liga Indonesia.

Akibatnya, saat tim nasional Indonesia bertanding di Jakarta, komunitas suporter asal kota lain yang punya riwayat permusuhan dengan pendukung Persija jadi enggan datang. Meski sangat ingin menonton langsung, mereka merasa lebih aman menikmatinya lewat layar kaca saja.

Begitu pula sebaliknya. Bila tim nasional bertanding di Bandung, misalnya, Jakmania pun niscaya berpikir puluhan kali untuk datang ke “Kota Kembang”. Sama halnya jika main di Malang, suporter Persik Kediri atau Persebaya Surabaya niscaya akan ragu juga untuk datang ke Stadion Gajayana atau Kanjuruhan.

Ini sungguh suasana yang tidak sehat bagi tim nasional kita. Dengan situasi seperti ini, “Tim Merah Putih” seperti dikerdilkan jadi milik sesaat kelompok suporter tertentu yang belum tentu siap mendukung Bambang Pamungkas dan kawan-kawan sepenuh hati.

Padahal, seperti di banyak negara lain, mestinya semua pecinta sepak bola Indonesia bisa “merdeka” mendukung tim nasional di mana pun tim itu bertanding. Mau main di Jakarta, Bandung, Malang, atau Jayapura toh mereka mengangkat bendera yang sama: Merah Putih!

Sungguh tragis manakala kenyataannya jadi seperti sekarang ini. Jakmania sedang merasa diperlakukan kurang adil oleh BLI dan PSSI karena Persija tak kunjung mendapat izin tampil di Stadion Utama Senayan. Mereka pun memilih “menarik diri”. Sementara itu, mereka yang punya latar belakang Persib, Persita, atau mungkin Persikabo ragu untuk “merapat”. Akibatnya, Stadion Utama Senayan pun jadi lautan bangku kosong.

Sampai kapan kita akan hidup dalam kepicikan seperti ini? Hanya Anda semua –suporter sepak bola Indonesia— yang bisa menjawab dan mengakhirinya. Saya hanya bisa berharap. ***

Kamis, Agustus 28, 2008

“Los Galacticos” Tinggal Cerita

SEBUAH peristiwa menarik terjadi awal pekan ini di Liga Inggris. Pelatih Liverpool, Rafael Benitez, akhirnya menegaskan komitmennya untuk bertahan di Anfield hingga empat tahun ke depan. Di sisi lain, Benitez sekaligus menegaskan bahwa ia mengambil keputusan itu seraya menolak tawaran Real Madrid.

Di satu sisi, penegasan Benitez menunjukkan loyalitasnya kepada Liverpool, klub yang musim lalu dibawanya menjuarai Liga Champions. “Saya senang di sini dan saya akan tetap di sini. Target saya adalah tetap tinggal di sini dan terus berjuang bersama tim,” ujar Benitez, mantap.

Namun, sesungguhnya, bukan penegasan soal kesetiaan Benitez itu yang paling menarik. Bagi saya, yang lebih menarik justru sikap Benitez terhadap tawaran Madrid –mantan klubnya sebagai pemain junior maupun asisten pelatih dulu.

Tanpa tedeng aling-aling, Benitez menegaskan bahwa ia telah menolak pinangan Madrid. Meskipun, secara jujur, ia mengakui tawaran tersebut –seperti halnya pinangan Inter Milan— membuatnya bangga.

Ya, siapa yang tidak bangga diminta jadi pelatih atau pemain Madrid. Begitu banyak nama besar telah menyatakan “ya” begitu kesempatan emas itu tiba. Dari Zinedine Zidane, Luis Figo, Ronaldo, David Beckham, Michael Owen, Robinho, hingga pelatih Fabio Capello.

Kini, ada Benitez yang ternyata “berani” menolak pinangan Madrid. Padahal, Madrid bukanlah tantangan yang terlalu menakutkan baginya. Sebab Benitez punya pengalaman memulihkan kekuatan Valencia hingga akhirnya menguasai La Liga.

***

FENOMENA melemahnya daya tarik Madrid sebenarnya bukan baru muncul sekarang ini. Dan Benitez bukanlah “nama besar” pertama yang cukup berani mengatakan “tidak” kepada klub terkaya sejagat itu.

Musim lalu, kita sudah mendengar bagaimana Madrid begitu serius berupaya mendatangkan penyerang Arsenal, Thierry Henry. Mereka menggoda Henry dengan berbagai cara –bahkan hingga sekarang, menjelang akhir masa kontraknya di Arsenal. Sayangnya, sejauh ini, semua upaya tersebut tak membuahkan hasil.

Sebelum itu, Madrid juga pernah ditampik oleh Samuel Eto’o. Penyerang lincah asal Kamerun itu lebih memilih pindah dari Real Mallorca ke Barcelona. Meskipun ada motif pribadi di balik sikapnya, penolakan Eto’o tetap merupakan “penghinaan” tersendiri terhadap panji-panji kebesaran Madrid.

Masih ada sejumlah nama lain yang diketahui pernah menepis ajakan pindah ke Madrid pada akhir era kepemimpinan Presiden Florentino Perez. Sebut saja Francesco Totti (AS Roma) atau pelatih Arsene Wenger.

Ini jelas tamparan tersendiri bagi Perez dan Madrid. Pasalnya, pada era kepresidenannya, Perez sukses membangun Madrid jadi klub yang paling beken sejagat dan identik dengan julukan “Los Galacticos”. Sebab mereka hanya mendatangkan pemain dengan kategori megabintang.

Selama enam tahun era Perez inilah kita melihat Madrid membangun citra kebesarannya melebihi rival-rival abadinya di Eropa, seperti Barcelona, AC Milan, Juventus, dan Manchester United. Mereka membuktikannya lewat gelar Liga Champions 2001/2002 dan dua kali kampiun La Liga pada 2001 serta 2003. Masih harus ditambah lagi sukses menjuarai Piala Toyota, Piala Super Eropa, dan Piala Super Spanyol.

Namun keberhasilan itu harus ditebus mahal dengan hengkangnya sejumlah talenta muda, seperti Ivan Riki, Javier Portillo, dan lain-lain. Keberhasilan itu juga makan korban, setidaknya, tujuh orang pelatih dan empat direktur sport. Keberhasilan yang juga menelan biaya pembelian pemain 285 juta pound (sekitar Rp 4,6 triliun) plus 4 juta pound/tahun untuk membayar gaji masing-masing “galacticos” itu.

***

KINI, era “Los Galacticos” itu telah berakhir. Saat Perez turun dari takhtanya, mereka tertinggal 10 poin dari Barcelona di klasemen sementara. Mereka juga tersingkir di ajang Liga Champions dan Copa del Rey. Dan, jika kembali gagal menuai satu gelar pun musim ini, Madrid akan menyamai periode terburuknya pada 1950-1953.

Tim lain di Spanyol sah-sah saja dua tahun berurutan mengakhiri musim tanpa gelar. Bahkan Barcelona pernah hampa gelar selama enam tahun beruntun. Tapi tidak bagi Madrid. Itulah sebabnya Perez buru-buru mengambil “pensiun dini” begitu harapan akan memetik gelar juara pada musim 2005/2006 mulai meredup.

Ronaldo tak pernah membawa Madrid menjuarai Liga Champions sejak bergabung empat tahun lalu. Beckham bahkan tak mencicipi satu gelar pun bersama Madrid sejak datang pada tahun 2003.

Perez boleh menepuk dada sanggup mendatangkan pemain-pemain impian semua klub di dunia. Tapi, yang tak dia sadari, Perez sekaligus telah membesarkan “monster raksasa” yang kemudian tak sanggup dia kendalikan.

Satu per satu para megabintang itu menua dan menurun kontribusinya. Mereka pun mulai jadi beban bagi bibit-bibit muda lokal yang merasa harus bekerja lebih keras, lebih serius, lebih mati-matian –tapi dengan apresiasi yang jauh lebih seadanya.

Mulailah muncul friksi di antara kumpulan para bintang itu dan rekan lokalnya. Pertentangan muncul, konflik menajam, pengelompokan mengkristal, dan “boom”! Madrid tenggelam dalam kebesarannya sendiri. “Klub ini telah kehilangan jiwanya,” demikian dikatakan Ivan Helguera, usai dikalahkan Barcelona, November tahun lalu.

Namun Madrid tak hanya kehilangan jiwanya. Sesungguhnya mereka juga kehilangan semangat, karakter, sekaligus jati dirinya sebagai tim Spanyol dengan tradisi permainan cepat, ngotot, dan pantang menyerah.

Yang tersisa bagi Fernando Martin –pengganti Perez— kini tinggal puing-puing kejayaan era “Los Galacticos” itu. Maka, bersiap-siaplah melihat sebuah perubahan besar terjadi di Madrid musim mendatang. Ronaldo akan pergi, disusul Roberto Carlos, Thomas Gravesen, Julio Baptista, Ivan Helguera, Zidane, bahkan mungkin Raul Gonzalez. “Los Galacticos” akan tinggal sebagai kisah romantis belaka dalam sejarah persepakbolaan dunia. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Maret 2006)

Rabu, Agustus 27, 2008

Beban Warisan Olimpiade Beijing

PESTA olahraga yang spektakuler itu mencapai puncaknya, semalam. Lewat upacara penutupan yang sama meriah dengan pembukaannya, Olimpiade Beijing 2008 berakhir dan memunculkan tuan rumah Cina sebagai juara umum.

Selanjutnya, pesta empat tahunan itu bakal menyeberang ke Inggris, Olimpiade London 2012. Namun, meskipun hajatan berikutnya masih setengah windu lagi, setidaknya ada satu hal yang sudah bisa dipastikan, yakni soal skala kemegahannya.

Tokoh kunci panitia penyelenggara Olimpiade 2012, Sebastian Coe, menegaskan bahwa Olimpiade Beijing akan jadi olimpiade terakhir dengan skala besar. Bahkan “warisan” Olimpiade Beijing atau olimpiade-olimpiade sebelumnya kemungkinan besar tak akan pernah dihidupkan lagi pada masa yang akan datang.

Menurut Lord Coe yang meninjau langsung ke Beijing, kesejahteraan masyarakat akan lebih menjadi agenda dibanding mencoba menyaingi apa yang telah dicapai Beijing. “Olimpiade bukanlah sekadar 16 hari penyelenggaraan yang spektakuler. Komite Olimpiade Internasional sendiri mengakui Olimpiade Beijing akan menjadi yang terakhir dengan penampilan dan suasana sebesar ini,” ia menegaskan. “Sebuah kesalahan jika berpikir olimpiade selanjutnya harus mencontoh olimpiade sebelumnya.”

Penekanan pada frasa “kesejahteraan rakyat” agaknya sengaja dilontarkan oleh Lord Coe. Ia bermaksud menenangkan publik Inggris bahwa Olimpiade London 2012 kelak tak akan menimbulkan “bencana ekonomi” seperti halnya Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada.

Ketika itu, menurut sebuah laporan yang pernah saya baca, total biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan hajatan tersebut mencapai 1,6 miliar dolar Kanada. Sialnya, angka penerimaannya ternyata jauh di bawah itu. Alhasil, penduduk Montreal harus menanggung biaya hajatan olimpiade tersebut lewat pajak khusus hingga 30 tahun kemudian.
***
PESTA olahraga multicabang –apalagi sekelas olimpiade— memang sering meninggalkan warisan persoalan bagi tuan rumahnya. Itu tak hanya dialami Montreal. Tercatat, sejak 1956, hampir semua tuan rumah olimpiade mengalami dua hal kontradiktif. Pertumbuhan ekonominya naik menjelang penyelenggaraan olimpiade. Lalu, merosot hingga setahun setelah olimpiade.

Perlambatan ekonomi terbesar bagi negara tuan rumah, terjadi di Australia (1956), disusul Jepang (1964), Amerika Serikat (AS, 1984), dan Korea Selatan (1988). Dari sebelas kali penyelenggaraan sejak 1956, hanya Olimpiade Atlanta 1996 yang tidak menjerumuskan tuan rumahnya dalam perlambatan ekonomi.

Spanyol malah terjerat resesi pada 1993, setelah sukses menyelenggarakan Olimpiade Barcelona 1992. Olimpiade Athena 2004 dan Sydney 2000 juga membuat Yunani maupun Australia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi 1,5-2% antara sebelum dan sesudah olimpiade.

Olimpiade Beijing tampaknya juga akan mewariskan persoalan serupa. Apalagi perekonomian global saat ini tengah diombang-ambing persoalan harga minyak yang jauh di atas kewajaran. Bila sebelumnya Cina menikmati keajaiban ekonomi dengan angka pertumbuhan jauh di atas 10 persen per tahun, tahun ini diperkirakan sekitar 10 persen saja.

Perdana Menteri Cina, Wen Jia Bao, bahkan pernah menyebut tahun 2008 akan menjadi “periode yang sangat sulit” bagi Cina. Pasalnya, mitra dagang utama “Negeri Tirai Bambu” itu, seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa kini dalam cengkeraman resesi.

Jangan lupa, Olimpiade Beijing itu sendiri hasil akumulasi tujuh tahun masa persiapan dengan total biaya 60-70 miliar dolar AS –enam kali lipat ongkos Olimpiade Athena 2004. Itu merupakan angka terbesar yang pernah dikeluarkan untuk penyelenggaraan sebuah olimpiade.

Menurut Liu Zhi, juru bicara Dewan Kota Beijing, mayoritas biaya dikeluarkan untuk pembangunan fisik. “Sekitar 40,9 miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur, energi, dan transportasi sepanjang 2001-2007,” Liu Zhi memaparkan. Hasilnya, Olimpiade XXIX ini memang terkesan mewah dalam segala hal dan mungkin akan sulit ditandingi sampai kapan pun.
***
MASALAHNYA sekarang, bagaimana Cina memanfaatkan semua fasilitas itu pasca-Olimpiade Beijing? Misalnya, dimanfaatkan untuk apa 20 set alat metal detector tangan, metal detector badan, dan pemindai Sinar X –total harganya mencapai Rp 60 miliar— yang kini terpasang di Gerbang 5 komplek Stadion Nasional?

Itu hanya salah satu contoh. Belum lagi kalau kita berpikir tentang nasib Stadion Sarang Burung yang spektakuler itu. Atau Stadion Tianjin yang khusus dibangun sebagai pendampiing Beijing –padahal aktivitas olahraga di sana sebenarnya tak terlalu semarak.

Sulit membayangkan bagaimana Cina kelak memanfaatkan dan merawat semua fasilitas mewah itu. Dan itulah yang kini jadi perhatian Lord Coe. “Hari-hari mengabaikan stadion berkapasitas 90 ribu tempat duduk telah berakhir,” katanya, menyindir. “Kami harus menyediakan sesuatu bagi masyarakat setempat lebih dari sekadar menyombongkannya.”

Semoga saja, kesadaran itu tak hanya milik Lord Coe. Tapi juga tumbuh di kalangan pembina olahraga kita –khususnya di Pekanbaru, Riau, selaku tuan rumah PON XVIII/2012. Jangan sampai stigma olimpiade sebagai mercusuar yang palsu kelak juga dialami pula di pesta olahraga nasional sekelas PON.

Jadikan PON sebagai ajang “seleksi” menuju pesta olahraga multicabang yang lebih tinggi: SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Sehingga warisan yang ditinggalkannya kelak bukan lagi beban dan utang, melainkan “modal” untuk kemajuan olahraga nasional. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 25 Agustus 2008)

Senin, Agustus 25, 2008

Antara Kurang Gizi dan Profesionalisme Pemain Kita

APA kesan Anda tentang para pemain Liga Indonesia? Sebagian mungkin menjawab posturnya “terlalu subur” jika yang teringat adalah Christian Gonzalez atau Danilo Fernando. Sebagian lagi mungkin memilih jawaban “kurang mantap” jika yang jadi patokan adalah pemain semacam Arif Suyono, Eka Ramdani, atau Kurniawan Dwi Yulianto.

Semuanya sah-sah saja dan ada benarnya. Tapi mungkin Anda sulit menerima jika ada yang menyebut pesepak bola kita secara umum kurang gizi. Ya, kurang gizi!

Percaya atau tidak, begitulah hasil penelitian yang mengambil sampel tiga klub sepak bola di Bantul, Yogyakarta, dan Pasuruan. Ternyata, penelitian ini menyimpulkan bahwa klub-klub sepak bola kita belum sepenuhnya memperhatikan pemenuhan gizi para pemainnya.

Fakta menarik itu diungkapkan oleh pakar gizi Mirza Hapsari dalam sosialisasi kegiatan Lustrum prodi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), akhir pekan lalu. “Meski didanai APBD setiap tahunnya, namun kebanyakan manajemen klub belum memerhatikan pengelolaan makanan secara mandiri dan profesional,” kata Mirza.

Yang paling mengejutkan, jumlah makanan yang diberikan setiap harinya ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan gizi pemain. Padahal seorang pesepak bola memerlukan status dan asupan gizi yang baik dan seimbang.

Dari hasil penelitian itu, Mirza menyimpulkan bahwa belum ada komitmen dan niat baik dari Pemerintah Daerah ataupun manajemen klub untuk mengalokasikan dana secara proporsional guna memenuhi gizi para pemain. Rata-rata pemenuhan gizi yang diberikan kepada pemain dari tiga klub yang diteliti hanya 2.500-2.800 kalori per hari. Itu berarti hanya sedikit lebih tinggi di atas kebutuhan orang normal yang mencapai 2.400 kalori/hari.

Pemenuhan gizi sebesar itu jelas jauh dari cukup. “Idealnya, untuk ukuran atlet dan olahragawan indonesia sekitar 3.000-3.500 kalori," kata Mirza, menegaskan.

Saya –mungkin juga Anda—jadi senyum-senyum sendiri membaca laporan ini. Bayangkan, pada era sepak bola profesional yang sedang digalakkan oleh BLI, kita ternyata masih berurusan dengan masalah laten yang sudah lumayan tua umurnya: kurang gizi.

Padahal, klub-klub Liga Super Indonesia dibiayai oleh Pemda masing-masing dengan anggaran belasan –bahkan di atas 20-an— miliar rupiah. Jika tiga klub yang dijadikan sampel itu adalah Persiba Bantul, PSIM Yogyakarta, dan Persekabpas Pasuruan, anggarannya memang tak sebesar Persija atau Persik Kediri. Tapi miliarannya masih dekat dengan kisaran dua digit. Masih lebih dari cukup –mestinya— untuk menjamin ketercukupan gizi para pemainnya.

Saya kira, masalahnya memang bukan soal kurangnya dana. Bisa jadi, plafonnya sudah cukup tapi “mengucur” ke seksi dapurnya agak tersumbat karena berbagai “kendala” dan “kutipan”.

Tapi sangat mungkin juga masalahnya ada pada diri para pemain itu sendiri. Makanan dengan gizi yang cukup tersedia, tapi pemain enggan menyantapnya secara cukup dan teratur. Mereka memilih makan sekadarnya dan “melengkapinya” dengan jajan di luar mes yang sifatnya serabutan. Ada tukang bakso ya beli, ada tukang somay ya pesan, dan ada tukang gorengan pun dipanggil.

Mereka mungkin menganggap kebiasaan buruk itu sebagai masalah selera belaka. Sehingga merasa tak punya tanggung jawab profesional untuk menerapkan pola konsumsi yang sadar gizi.

Padahal, seperti ditengarai ahli gizi UGM, Prof Dr Hamam Hadi, kurangnya perhatian terhadap pemenuhan gizi para olahragawan dan atlet itulah yang menyebabkan merosotnya prestasi olahraga Indonesia. Sementara di negara maju perhatian terhadap masalah gizi para atlet sangat besar demi menunjang prestasi mereka.

Makanya, jangan kaget kalau pemain bola kita sering tidak konsisten penampilannya. Kadang tampil begitu lincah dan cekatan, tapi 1-2 hari kemudian mainnya lesu dan kurang bertenaga. Jangan-jangan si pemain memang kekurangan gizi atau bahkan menderita anemia. *

Arsenal, Sindrom Pasca-Vieira

SULIT bagi saya untuk tak tersenyum saat membaca komentar Arsene Wenger mengenai keinginan Thierry Henry bertahan di Arsenal. “Bersama Henry, kami akan menjadi tim terbaik di dunia,” kata Wenger, penuh percaya diri.

Tentu, sah-sah saja Wenger punya prediksi dan harapan seperti itu. Henry memang salah satu penyerang terbaik di Eropa saat ini. Dari kedua kaki dan kepalanya, sudah ratusan gol tercipta untuk Arsenal, Juventus, Monaco, maupun tim nasional Prancis.

Namun, bagi saya, menjadikan Henry sebagai alasan Wenger memprediksi Arsenal bakal jadi tim terbaik dunia tetap kurang masuk akal. Setidaknya, Henry sudah bersama Arsenal enam tahun, toh belum sekalipun mampu membawa timnya berjaya di Eropa –apalagi dunia.

Saya kira, pujian berlebihan Wenger terhadap Henry semata menunjukkan kegembiraan yang meluap-luap atas keputusan sang penyerang ulung itu. Maklum, bukan rahasia lagi, Barcelona sangat meminati Henry dan –jika tertarik— ia bisa terbang ke Spanyol pada akhir musim ini. Ternyata, Henry lebih memilih loyal terhadap Arsenal.

Namun, sebenarnya, bukan sekali itu saja kita melihat Wenger kehilangan konteks dan rasionalitas dalam menyikapi persaingan terkini di kancah Liga Primer. Pekan lalu, yang lebih sensasional, kita malah mendengar kabar bahwa pelatih asal Prancis itu mencoba merekrut kembali gelandang Patrick Vieira. Padahal, akhir musim lalu, Wenger pula yang memberi lampu hijau penjualan Vieira ke Juventus.

***

ARSENAL memang seperti kapal yang tengah limbung terombang-ambing di tengah samudra yang bergolak. Peta persaingan yang memanas dengan Chelsea, Manchester United (MU), dan Liverpool membuat Arsenal kehilangan posisinya sebagai klub terdepan di Liga Primer.

Kompetisi belum lagi separuh jalan. Namun, usai pertandingan lawan MU, Wenger sudah melempar handuk. Ia menilai Chelsea tak mungkin lagi terbendung merebut mahkota juara musim 2005/2006 karena penampilan mereka memang “terlalu konsisten”. Bahkan Arsenal sampai ketinggalan 24 poin di belakang sang juara bertahan.

Tak mudah bagi tim sebesar Arsenal mengakui kehebatan Chelsea –tetangga sekaligus musuh bebuyutannya. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Wenger sekarang. Padahal, semusim lalu, pengakuan kalah semacam ini rasanya mustahil meluncur dari mulut Wenger –pria separuh baya yang flamboyan tapi juga tinggi gengsinya. Lalu, apa yang salah dengan Wenger dan Arsenal sekarang?

Mungkin tak ada yang salah. Yang ada hanya perbedaan. Chelsea makin konsisten, sedangkan Arsenal justru kian labil. Mereka bisa tampil bagus di Liga Champions, tapi kedodoran di Liga Primer dan Piala FA. Bahkan melawan tim seperti Cardiff saja hampir kalah di putaran ketiga Piala FA.

Ada satu lagi perbedaan yang lebih signifikan. Musim-musim sebelumnya, Arsenal masih punya dan dipimpin Vieira. Sekarang tak ada lagi. Yang ada, tinggal Fredrik Ljungberg, Robert Pires, Alexander Hleb, serta sederet gelandang muda semacam Cesc Fabregas dan Mathieu Flamini.

Sebetulnya, memang, tak terlalu banyak perbedaan itu. Arsenal praktis hanya kehilangan Vieira dan Edu –pindah ke Valencia. Tapi, saya kira, justru di situlah inti permasalahannya. Bagi Arsenal, ditinggalkan Vieira tak bisa dibaca sekadar kehilangan seorang pemain.

Vieira adalah kapten, jenderal lapangan tengah, sekaligus inspirator permainan Arsenal selama satu dekade terakhir. Khususnya, sejak Arsenal ditinggalkan generasi emas sebelumnya, seperti Tony Adams, Ian Wright, atau David Seaman. Sejak itu, praktis Vieira yang jadi panutan baru seluruh awak tim “The Gunners”.

Benar, Arsenal masih punya banyak bintang lain dalam skuadnya. Ada Henry yang produktivitas golnya bahkan telah menjadi legenda baru di Highbury. Ada pula Dennis Bergkamp yang koleksi gol dan loyalitasnya hampir bisa disejajarkan dengan Wright. Bahkan juga masih ada pemain pilar lain semacam bek sentral Sol Campbell atau gelandang Pires.

Namun tak satu pun dari mereka bisa menggantikan peran dan posisi –apalagi kharisma— Vieira. Benar, mereka kini jadi bintang-bintang andalan Arsenal. Tapi mereka tak mampu menginspirasi pemain lain seperti dulu telah dilakukan Vieira.

Ada banyak pemain hebat di dunia ini. Bahkan sebuah tim mungkin bisa punya lebih dari seorang bintang besar. Tapi belum tentu bintang besar itu bisa menjadi inspirator permainan timnya. Apalagi sampai ke level yang biasa disebut para pengamat “ruh permainan tim”.

Vieira adalah salah satunya. Dialah ruh permainan Arsenal lewat kualitas skill, wibawa, kepemimpinan, dan kerja keras yang selalu dia tunjukkan di lapangan hijau. Ia mungkin tak banyak cakap seperti Roy Keane di MU. Ia mungkin juga tak banyak bikin gol seperti Steven Gerrard di Liverpool.

Tapi Vieira tetap punya posisi istimewa di lapangan maupun di kamar ganti tim Arsenal. Saat ia bicara, pemain lain mendengarkan. Saat ia memberi perintah, bintang sekelas Bergkamp dan Pires pun menuruti. Dan saat ia memberi wejangan, pemain badung semacam Robin van Persie juga mematuhi.

Wajar jika kini Henry terus-terang mengaku sangat kehilangan Vieira. Perasaan yang tak cuma dirasakannya di lapangan hijau, tapi juga di kamar ganti dan saat menjalani latihan sehari-hari.

***

TENTU saja, tak berarti bahwa pemain seperti Vieira tak boleh pergi atau pensiun dari timnya. Toh, kita tak bisa menolak hukum alam. Proses menjadi tua dan keinginan mencari tantangan baru juga termasuk hukum alam yang tak terhindari.

Namun sebuah tim sebetulnya bisa meminimalkan pengaruh negatif hukum alam itu. Caranya, dengan mempersiapkan diri untuk kehilangan “ruh tim” itu secara bijaksana dan jauh-jauh hari.

Bagaimana sebuah tim mempersiapkan diri untuk kehilangan “sang inspirator” bisa kita pelajari dari kasus Josep Guardiola di Barcelona. Sama seperti Vieira, pada era 1990-an, peran dan posisi Guardiola di Barcelona juga sulit dicari tandingannya.

Toh, Barcelona mampu melewati “sindrom pasca-Guardiola” –mulai musim 2001/2002— itu dengan baik. Jauh-jauh hari mereka mempersiapkan bintang lokal Xavi Hernandez sebagai pewarisnya. Kebetulan gaya permainan keduanya agak serupa. Tapi, karena jarak usia antara Guardiola dan Xavi lumayan jauh, maka disiapkanlah Luis Enrique sebagai “jembatan penghubung” kesenjangan generasi itu.

Tiga tahun setelah Guardiola pergi, barulah Enrique gantung sepatu. Tapi ia mundur saat Xavi sudah sangat siap menggantikannya –mulai musim 2004/2005. Bahkan, Xavi juga sudah mendapat pendamping yang lebih dari sekadar cukup dalam diri Ronaldinho, Deco, dan lain-lain.

Wenger sesungguhnya bukan tak mencoba melakukan hal serupa. Ia sudah lama menyiapkan Fabregas dan Flamini sebagai pewaris Vieira. Hanya saja, sayangnya, ia terlalu berani melepas Vieira saat pewarisnya belum cukup matang. Lebih sial lagi, ia tak punya “jembatan penghubung” antargenerasi itu karena Edu juga ikut pergi dan Gilberto Silva belakangan terlalu sering cedera.

Terpuruknya Arsenal pasca Vieira jelas bukan sebuah kesengajaan –bisa dibilang kombinasi antara ketidakberuntungan dan sedikit salah perhitungan. Namun, disengaja atau tidak, Arsenal kini merasakan langsung dampaknya. Percaya atau tidak, dalam permainan sepak bola, pemain berkualitas “ruh” atau “inspirator permainan” itu memang ada –meski tak semua tim memilikinya. ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor, Januari 2006)

Jumat, Agustus 22, 2008

“Tragedi Suryadi”, Titik Tolak Menuju Transparansi Dana APBD untuk Sepak Bola

KABAR mengagetkan datang dari Kediri, Jawa Timur, Kamis (21/8) lalu. Sekitar pukul 07.00 WIB, Bendahara Persik Kediri, Suryadi, ditemukan tergeletak tak sadarkan diri di mes timnya. Korban kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Syukurlah, nyawanya terselamatkan. Namun hingga sore hari korban belum dapat dimintai keterangan.

Hasil “olah TKP” pihak berwajib menunjukkan fakta mengejutkan. Di samping tubuh korban ditemukan barang bukti berupa cairan antinyamuk serta sisa muntahan di sprei. Dari temuan tersebut, muncul indikasi kuat bahwa korban minum racun.

Meski demikian, Polisi tak mau buru-buru memastikan penyebab kejadian di Jalan Diponegoro Nomor 7 –ada juga yang bilang kejadiannya di Kantor Badan Pengawas Kota Kediri di Jalan Ir Sutami— itu. Apalagi korban hingga sore harinya belum bisa dikonfirmasi.

Yang jelas, sebelum insiden itu, Suryadi baru saja dipanggil pihak Kejaksaan. Malam sebelumnya, korban juga sempat mengikuti rapat koordinasi membahas persoalan korupsi di Sekretariat Persik bersama Ketua Umum H.A. Maschut, Iwan Budianto, dan lain-lain.

Isu korupsi kini memang tengah jadi “bola panas” di “Tim Macan Putih”. Ketua Harian Persik, Antonius Rahman, sudah diperiksa Kejati Jatim. Tokoh penting Persik itu diperiksa terkait keberadaan dana sebesar Rp 4 miliar dari APBD Kota Kediri tahun 2008. Diduga dana Poltek tersebut sudah “salah jalan”, dialihkan ke kas Persik.

Sebagai orang yang tahu banyak permasalahan ini, Suryadi tampaknya jadi stres dan depresi. Apalagi dugaan penyimpangan dana itu saat ini sudah ditangani Kejati Jatim. Makanya, ia mencoba bunuh diri dengan menenggak racun serangga.

***

SEBAGAI sesama “insan sepak bola”, tentunya kita patut merasa prihatin terhadap Suryadi. Jika bukan karena beban persoalan yang kelewat berat, niscaya ia tak akan memilih jalan pintas itu. Apalagi Suryadi bukan orang baru di lingkungan sepak bola. Ia sudah hampir sepuluh tahun ikut membesarkan Persik sejak masih di Divisi Tiga.

Kenekatan Suryadi itu membuat kita bertanya-tanya. Mengapa ia harus takut berurusan dengan Kejati Jatim? Mengapa pula Suryadi yang juga menjabat Asisten Manajer Persik itu merasa tak ada pilihan lain kecuali bunuh diri?

Ini sungguh situasi yang tak mudah dipahami. Sebab, bagaimanapun, Suryadi hanya salah satu unsur dalam kepengurusan Persik. Apapun yang berkaitan dengan pengelolaan tim –termasuk urusan dana, mestinya jadi tanggung jawab bersama para pengurus. Terutama jajaran pengambil keputusan, seperti ketua umum dan manajer tim.

Tidak pada tempatnya Suryadi lari dari persoalan ini dan membiarkan masalahnya ikut terkubur. Akan lebih bijak jika ia berani menghadapi persoalan ini dan membeberkannya secara transparan –tanpa ditambah atau dikurangi.

Bukan apa-apa. Sudah lama anggaran tim eks Perserikatan dicurigai sebagai “harta karun” bagi segelintir orang yang mendapat kesempatan jadi pengelola tim. Sudah jumlahnya besar, pertanggungjawabannya sering tak jelas. Bahkan meninggalkan tunggakan pajak miliaran rupiah, seperti terjadi sekarang di PSIS Semarang.

Akibatnya, banyak daerah kini tak berani lagi mengucurkan dana untuk timnya. Apalagi setelah munculnya Permendagri No 13/2006 yang kemudian diubah dengan Permendagri No 59/2007.

Demi kemajuan sepak bola nasional, situasi gamang dan samar-samar ini harus segera dijernihkan. Suryadi bisa jadi “pionir” atau mungkin “martir” dalam hal ini. Itu tadi, dengan cara membeberkan secara gamblang sehingga masalahnya bisa dituntaskan dan jadi pembelajaran bagi semua pihak.

Sehingga nantinya kita boleh berharap tak ada lagi dana APBD yang diselewengkan atas nama sepak bola. Dan tak ada lagi tatap mata curiga dari Pemerintah maupun masyarakat terhadap keberadaan tim-tim sepak bola di daerahnya. Semoga saja, “tragedi Suryadi” bisa jadi titik tolak bagi transparansi dan akuntabilitas pemakaian dana APBD untuk sepak bola. *

Argentina Paling Memesona

JIKA bicara soal gaya permainan, sepak bola Amerika Latin selalu diidentikkan dengan permainan yang imajinatif dan berteknik tinggi. Sedangkan, di sisi lain, sepak bola Eropa biasa dibaca sebagai permainan yang lebih kental dengan kecepatan dan kekuatan stamina.

Pada masa lalu, saat bertemu Brasil atau Argentina, tim-tim Eropa biasanya takut dipermalukan oleh gocekan maut dan permainan satu-dua bintang sekelas Maradona, Pele, atau Socrates. Sebaliknya, para pemain Amerika Latin selalu risau menghadapi kekuatan dan penjagaan disiplin ala Hans Peter Briegel, Terry Butcher, atau Manuel Amoros.

Adakah gambaran semacam itu masih kita lihat di panggung Piala Dunia 2006? Setidaknya, masihkah karakteristik semacam itu melekat dalam penampilan 32 tim finalis setelah sama-sama memainkan satu petandingan di penyisihan grupnya?

Saya termasuk yang meragukan. Meskipun, memang, satu pertandingan saja jelas belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang kekuatan dan karakter sebenarnya ke-32 tim peserta putaran final.

Spanyol berpesta gol, tapi lawannya tim debutan. Jerman memang atraktif, tapi belum sepenuhnya teruji. Inggris sama sekali belum menunjukkan dirinya sebagai sebuah tim dengan barisan gelandang yang mungkin terbaik di dunia. Apalagi Prancis, masih jauh dari gambaran sebagai tim yang pernah juara Eropa dan dunia. Adapun Brasil belum bisa menaikkan level permainannya dari partai uji coba ke pertandingan sebenarnya.

Sejauh ini, menurut saya, praktis baru tiga tim yang penampilannya tergolong sudah teruji dan memuaskan. Republik Ceko dengan kemampuannya memeragakan serangan balik cepat yang menusuk dan mematikan. Italia dengan keuletan barisan belakang dan potensi kedahsyatan lini depannya. Dan Argentina dengan kerapihan kerjasama antarunit, antarlini, serta keseimbangan timnya yang sangat mantap.

Nah, di antara tim-tim yang mampu menyajikan start cukup memuaskan itu, saya paling terkesan oleh Argentina. Meskipun, perlu diingat, bahwa kesan positif ini sama sekali bukanlah sebuah isyarat bahwa “Tim Tango” akan menjadi favorit terkuat untuk menjuarai Piala Dunia 2006.

Impresi saya terhadap Argentina mulanya justru dibangun oleh pesimisme yang lumayan kental. Betapa tidak, musim lalu, kita hanya melihat Lionel Messi yang jadi pemain Argentina paling menonjol. Sedangkan Hernan Crespo, Javier Saviola, Pablo Aimar, Juan Pablo Sorin, hingga Walter Samuel semua menunjukkan grafik penampilan yang datar-datar saja.

Sialnya, Messi sendiri belum termasuk pemain penting di tim senior Argentina asuhan Jose Pekerman. Apalagi pemain jenius itu belakangan sibuk berurusan dengan problem cedera yang didapat semasa memperkuat Barcelona. Sulit bagi saya membayangkan sebuah tim bisa jadi juara dunia dengan komposisi dan situasi pemain seperti itu. Apalagi hasil-hasil uji coba Argentina pun terbilang biasa saja.

Namun, pada laga perdana lawan Pantai Gading, penampilan Argentina membuat saya terkejut sekaligus terpesona. Saya begitu kagum melihat bagaimana rapih dan disiplinnya kerjasama mereka menghadapi lawan yang punya stamina dan kekuatan fisik sangat dahsyat. Jika lawannya bukan Argentina, saya kira, Pantai Gading mungkin layak mendapatkan tiga angka dari petandingan itu.

Meskipun materi pemainnya terbilang tak istimewa, barisan belakang Argentina tampil sangat kokoh. Roberto Ayala mampu menjadi komandan yang sangat berwibawa bagi Nicolas Burdisso, Gabriel Heinze, dan Sorin. Ayala sendiri tak pernah kehilangan nyali menghadapi penyerang bertipe “pembunuh” semacam Didier Drogba.

Duet Crespo-Saviola mungkin pula bukan pilihan paling ideal di lini depan. Tapi kedua pemain ini mampu memborong dua gol ke gawang Pantai Gading. Crespo dan Saviola juga terus merepotkan pertahanan lawan dengan kegigihan dan kejeliannya menempatkan diri di kotak penalti lawan. Saviola bahkan makin bersinar ketika Argentina membungkam Serbia-Montenegro pada pertandingan berikutnya.

Tapi yang paling mengesankan saya adalah kinerja lini tengahnya yang dipimpin playmaker Juan Roman Riquelme. Saya kira, performa barisan gelandang Argentina –juga Spanyol— paling menonjol di antara semua tim yang tampil pada pertandingan pertamanya.

Secara khusus, saya harus memberi kredit tersendiri bagi Riquelme. Ia bermain sangat dinamis, percaya diri, dan kreatif. Gol yang diciptakan Saviola ke gawang Pantai Gading adalah contoh nyata hebatnya visi bermain Riquelme. Ia mampu membaca rencana pergerakan pemain belakang lawan dan “menghukumnya” dengan umpan mematikan yang meloloskan Saviola dari jebakan offside.

Riquelme sering dikritik banyak orang sebagai pemain jenius yang angin-anginan. Bahkan ia dianggap tipe pemain “kolam kecil” yang hanya pas membela tim sekelas Villarreal atau Boca Juniors, tapi tak cukup layak bagi Barcelona dan tim nasional Argentina.

Riuelme juga sering dikritik terlalu lama dan lamban mengalirkan bola. Sehingga pemain cepat semacam Saviola atau Crespo kerap kehilangan momentum dan peluang. Salah satu yang sering mengkritiknya soal kecepatan ini adalah Mario Kempes, pahlawan Argentina pada Piala Dunia 1978.

Namun, jika melihat penampilannya saat menghadapi Pantai Gading, saya kira, tudingan itu salah alamat. Riquelme justru sangat percaya diri mengorkestrasi arus serangan Argentina. Ia juga berani membuat keputusan-keputusan yang berisiko tinggi. Salah satunya umpan jitu kepada Saviola yang bisa menjadi sia-sia saja jika timing dan arahnya tak cukup akurat.

Jika kita masih percaya tentang dikotomi sepak bola Eropa dan Amerika Latin, maka Argentina adalah paduan yang sempurna dari kedua aliran permainan si kulit bundar itu. Ada unsur kekuatan dan keuletan Eropa dalam penampilan Ayala, Burdisso, atau Maxi Rodriguez. Tapi juga sarat sentuhan magis dalam liukan dan operan cantik Riquelme, Saviola, dan Crespo.

Argentina mungkin tak sekuat Inggris pertahanannya, tak seulet Spanyol lini tengahnya, dan tak setajam Brasil barisan penyerangnya. Tapi Argentina punya perpaduan ketiganya sekaligus. Mereka kuat, ulet, juga tajam.

Saya kira, yang mereka butuhkan sekarang tinggal kekompakan tim, konsistensi, dan mental juara yang harus terus dipupuk mengingat kejuaraan berlangsung sebulan penuh. Dan satu lagi yang mungkin tak kalah menentukan: keberuntungan! ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Juni 2006)

Rabu, Agustus 20, 2008

Terry, Kapten Baru Inggris dengan Pertimbangan Nonteknis

BAN kapten tim nasional Inggris akhirnya tetap melekat di lengan John Terry. Laga uji coba Inggris menjamu Republik Ceko di Wembley, Rabu (20/8) atau Kamis dini hari WIB, jadi ajang penahbisan kapten definitif “The Three Lions” pada era Fabio Capello.

Dengan demikian, Terry membalikkan prediksi banyak orang yang menduga Capello akan lebih memilih Rio Ferdinand, stopper Manchester United (MU). Faktanya, Capello menempatkan Ferdinand hanya sebagai wakil kapten.

Terry sekaligus memperpanjang kepemimpinannya sebagai skipper Inggris. Maklum, ia memang sudah menjabat kapten sejak mundurnya David Beckham dari jabatan itu pasca-Piala Dunia 2006. Selama Inggris ditangani Steve McClaren sepanjang 2006-2007, ban kapten itu pun tak lepas dari lengannya.

Toh, tetap saja, keraguan sempat muncul ketika era Capello dimulai. Apalagi Capello kemudian sempat menggilir jabatan kapten itu kepada Terry, Ferdinand, Steven Gerrard, Beckham, bahkan Gareth Barry. Lalu, apa yang membuat Capello akhirnya lebih percaya kepada Terry?

Capello menjelaskan bahwa kepribadian Terry menjadi faktor penting di balik penunjukannya sebagai kapten. “Saya kira, kepribadian yang kuat adalah alasan saya memilih John. Kapten sangat penting karena dia mengarahkan tim,” ia menjelaskan.

Saya kira, pemikiran Capello mengenai jabatan kapten ini cukup menarik. Tak sekadar karena ini menyangkut tim besar sekelas Inggris. Lebih dari itu, ia juga membuat keputusan yang sangat berani dengan menempatkan kepribadian –baca: karakter pemain— sebagai faktor paling utama.

Padahal, kita tahu, bahwa kepribadian hanya salah satu pertimbangan yang bersifat nonteknis. Di luar itu, masih cukup banyak faktor teknis yang biasanya lebih dipertimbangkan dalam pemilihan kapten. Sebut saja soal jam terbang di tim nasional (caps), status dalam tim (inti/cadangan), posisi bermain, skill individu, dan sebagainya.

Kita ambil contoh tim nasional Argentina di Olimpiade Beijing. Jika pertimbangannya dominan faktor teknis, saya rasa Sergio Batista akan menunjuk Lionel Messi sebagai kapten. Atau mungkin Javier Mascherano karena karakternya yang sangat kuat. Toh, ia lebih memilih Juan Riquelme karena faktor senioritasnya. Sejauh ini, keputusan Batista terbukti cukup efektif.

Bahwa Capello lebih memilih Terry karena alasan karakter, itu juga bukan tanpa alasan. Maklum, timnas Inggris saat ini masih terpuruk setelah gagal lolos ke putaran final Piala Eropa 2008. Tim seperti ini memang butuh pemimpin yang kuat dan berkaraker –tak hanya di pinggir, tapi juga di dalam lapangan.

Selain itu, gaya permainan Inggris sendiri memang cenderung keras, cepat, langsung, dan ofensif. Nah, Terry termasuk pemain yang mewakili kecenderungan permainan seperti itu.

Yang tak kalah penting, timnas Inggris sendiri merupakan kumpulan para kapten dan wakil kapten dari klub-klub besar. Ada Terry (Chelsea), Gerrard (Liverpool), Beckham (LA Galaxy), Barry (Aston Villa), David James (Portsmouth), dan lain-lain.

“Sialnya”, Ferdinand sendiri cuma kapten ketiga di hirarki kepemimpinan “Tim Setan Merah”. Tentu, akan sedikit lucu jika Ferdinand yang justru memimpin para kapten sebenarnya saat mereka tampil di level antarnegara. Sedikit-banyak, hambatan psikologis akan muncul.

Itulah yang ingin dihindari Capello. Ia tak mau timnas Inggris yang masih terseok-seok ini terlalu banyak direcoki persoalan yang sifatnya nonteknis. Makanya, dengan pendekatan yang sebenarnya juga nonteknis, ia mantap menunjuk Terry sebagai “penyambung lidahnya” di lapangan hijau. *

Lin Dan, Penguasa Tunggal Putra

MENYAKSIKAN final tunggal putra Kejuaraan Bulu Tangkis All England 2006 sungguh membuat kita miris. Terlihat jelas betapa dominannya Lin Dan menguasai nomor paling bergengsi di cabang olahraga bulu tangkis ini. Padahal, usianya kini baru 22 tahun –tak beda jauh dengan bintang Indonesia, Sony Dwi Kuncoro, yang tersingkir di putaran pertama.

Lihat saja bagaimana ia menaklukkan Lee Hyun Il pada final yang digelar di National Indoor Arena, Birmingham, Minggu malam (22/1) lalu. Lin Dan seolah tak punya rasa takut atau gentar sedikit pun menghadapi permainan ulet Hyun Il yang terkenal sulit ditembus.

Padahal, Lin Dan tidak tampil dalam kondisi terbaiknya malam itu. Pemain yang punya julukan “Super Dan” itu memaksakan diri tampil dalam keadaan kurang fit. Bahkan, pada set kedua saat memimpin 8-5, lutut kirinya terasa nyeri akibat salah jatuh setelah melepaskan smes sambil loncat. Toh, semua itu bukan halangan baginya untuk merebut gelar juara tunggal putra. Hanya dalam 50 menit, ia membungkam bintang asal Korea Selatan itu dengan 15-7, 15-7.

Usai pertandingan, tak banyak yang bisa diungkapkan Hyun Il tentang kekalahannya. Secara terus-terang, ia mengakui dirinya tak mampu mengimbangi standar permainan yang dikembangkan lawannya. Bahkan, katanya, “Meskipun sedang cedera, permainan Lin Dan masih sangat bertenaga dan tak terbendung.”

Keberhasilan kali ini membuat Lin Dan sukses merebut kembali gelar yang direbutnya pertama kali pada 2004. Ini sekaligus ketiga kalinya berturut-turut pemuda yang gemar memberi hormat ala tentara itu lolos ke partai puncak All England.

Benar, Lin Dan gagal di Olimpiade Athena 2004 yang dijuarai Taufik Hidayat. Benar, ia juga tak mampu merebut gelar prestisius tunggal putra Kejuaraan Dunia 2005. Tapi, tiga tahun terakhir ini, posisi sebagai pemain nomor satu IBF tak lepas dari tangannya.

Ia pun terus memenangkan berbagai kejuaraan penting. Sebelum All England 2006, ia lebih dulu menjuarai Piala Dunia 2005 yang digelar akhir tahun lalu di negerinya dengan mengalahkan Boonsak Ponsana 21-13, 21-11 di final. Daftar kemenangannya tahun lalu masih harus ditambah dengan sukses di Jerman, Hongkong, Jepang Terbuka, dan China Masters. Plus jadi finalis di Malaysia Terbuka, All England, dan Kejuaraan Dunia.

***

KOMENTAR Hyun Il tentang permainan Lin Dan merupakan pengakuan jujur akan kehebatan pemain nomor satu dunia itu. Pengakuan yang tak cuma meluncur dari mulut Hyun Il, tapi juga semua lawan yang disingkirkan Lin Dan di All England 2006.

Simak saja komentar Lee Chong Wei yang hampir bisa mengalahkannya di semifinal. “Sulit sekali mengembangkan permainan saat menghadapi Lin Dan,” kata pemain andalan Malaysia yang kalah 9-15, 15-10, 14-17 itu. “Terakhir kali kalah lawan dia, saya menyerah terlalu mudah. Jadi, saya tetap senang karena kali ini bisa memberi perlawanan sengit.”

Jika Hyun Il dan Chong Wei saja mengakui betapa sulitnya meladeni permainan Lin Dan, bisa dibayangkan kesulitan yang harus dihadapi para pemain tunggal lainnya. Sebab, saat ini, Hyun Il dan Chong Wei justru paling berpotensi menghentikan keperkasaan Lin Dan.

Hyun Il belakangan memang sangat menanjak prestasinya dan jadi ujung tombak Korea Selatan di berbagai kejuaraan besar. Lolos ke final All England 2006 adalah prestasi tertinggi dalam kariernya –melebihi keberhasilan masuk final Asia Games 2002 dan kalah 7-15, 9-15 dari Taufik.

Chong Wei juga termasuk “meteor baru” di percaturan tunggal putra dunia. Bintang asal Malaysia itu kini sudah melewati seniornya, Mohammad Hafiz Hashim dan Wong Choong Hann. Bahkan sudah jauh meninggalkan pemain seangkatannya, seperti Kuan Beng Hong, Lee Tsuen Seng, Yeoh Kay Bin, Sairul Amar Ayob, dan Pei Wei Chung.

Talenta besar Chong Wei ditunjukkannya saat menjuarai kejuaraan Swiss Terbuka, awal bulan ini. Ia hanya butuh 35 menit untuk menaklukkan mantan juara dunia asal Cina, Xia Xuanze, dengan skor 15-8, 15-0. Bahkan Chong Wei juga pernah mengalahkan Lin Dan di final Malaysia Terbuka 2005 dengan skor ketat 17-15, 9-15, dan 15-9.

Dengan modal teknik bagus, permainan cepat, dan kemampuan bermain menyerang, tak terlalu mengherankan jika Chong Wei telah menaklukkan hampir semua pemain terkuat dunia saat ini. Termasuk Taufik yang dikalahkannya pada perempat final Malaysia Terbuka 2005, Juli tahun lalu.

Chong Wei juga sudah lebih dulu mengalahkan Peter Gade pada kejuaraan Singapura Terbuka 2004. Saat itu, sebagai pemain urutan ke-17 IBF, ia sanggup menumbangkan Gade yang masih menduduki peringkat kedua dunia dengan 15-5, 15-13 pada babak kuarter final.

Yang paling spektakuler saat ia mempertahankan gelarnya di Malaysia Terbuka 2005. Sebelum menumbangkan Lin Dan di final, ia lebih dulu membungkam Bao Chunlai di semifinal dan Taufik di perempat final.

Toh, pada kejuaraan yang “lebih serius” seperti All England ini, terbukti Chong Wei –juara Denmark Terbuka 2005— belum mampu menghentikan laju kemenangan Lin Dan. Lalu, siapa kiranya yang bisa menghentikan dominasi Lin Dan di percaturan tunggal putra dunia?

***

BELAKANGAN ini, publik bulu tangkis dunia mulai mengelu-elukan nama Chen Jin sebagai calon bintang baru. Potensi anak muda berumur 20 tahun itu terlihat saat menjuarai Jerman Terbuka pada pertengahan Januari lalu. Di final, ia mengalahkan seniornya yang dua kali juara All England, Chen Hong, dengan skor 15-3, 15-7.

Di All England 2006, penampilan Chen Jin juga tak mengecewakan. Ia mampu menembus perempat final sebelum dikalahkan Peter Gade 6-15, 13-15. Jauh lebih lumayan dibanding Sony.

Tapi, saya kira, Chen Jin bukanlah tandingan Lin Dan. Secara teknis, ia tak memiliki kecepatan dan kelincahan untuk mengimbangi permainan menyerang ala Lin Dan. Kualitas pertahanannya pun tak cukup solid untuk membendung smes-smes menghunjam yang jadi andalan Lin Dan.

Suatu saat, mungkin, Chen Jin bisa jadi pemain nomor satu dunia. Tapi tidak saat ini. Setidaknya, bukan pada saat Lin Dan sedang menikmati masa jayanya sekarang ini.

Satu-satunya pemain masa kini yang paling mungkin mematahkan dominasi Lin Dan justru Taufik. Ya, dialah bintang bulu tangkis asal Pangalengan yang kini sedang sibuk mempersiapkan diri untuk naik pelaminan.

Taufik sudah beberapa kali membuktikan dirinya sebagai “jawaban” atas permainan speed and powerfull game ala Lin Dan. Salah satunya ketika mereka bertemu di final Kejuaraan Dunia tahun lalu. Di luar dugaan, Lin Dan ternyata kalah mudah, 3-15 dan 7-15. Kekalahan itu membuatnya begitu “mendendam” terhadap Taufik.

Menghadapi pemain dengan gaya main dan kemampuan seperti Lin Dan memang tak mudah. Sebelum bicara soal teknis, pertama-tama sang lawan harus punya kekuatan mental. Tanpa kekuatan mental dan rasa percaya diri yang tinggi, lawan niscaya langsung ciut saat menghadapi smes Lin Dan yang bertubi-tubi dan sangat bertenaga.

Taufik termasuk satu dari sedikit pemain yang mentalnya sangat kuat. Makanya, ia tak pernah terlihat gentar saat bertemu Lin Dan. Sebaliknya, ia terlihat sangat yakin bisa meredam senjata andalan lawannya itu. Makanya, saat smes-smesnya terbukti bisa dimentahkan, gantian Lin Dan yang kehilangan kepercayaan diri.

Tentu saja, dibutuhkan pula dukungan kesempurnaan teknik, pertahanan rapat, dan stamina luar biasa untuk meredam keperkasaan Lin Dan. Deretan persyaratan itu sangat berat tapi semuanya bisa dipenuhi Taufik.

Sayangnya, keistimewaan Taufik tak dibarengi ketekunan, kedisiplinan, dan ambisi yang sepadan. Taufik terlalu pilih-pilih turnamen dan acapkali kurang serius mempersiapkan diri jika yang dihadapi hanya kejuaraan “kelas dua” –menurut kriterianya sendiri.

Itulah sebabnya posisi Taufik di daftar peringkat IBF –kini di urutan ke-10— tak pernah bisa mendekati Lin Dan. Itu pula sebabnya Lin Dan bisa terus mendominasi peta persaingan tunggal putra dunia, seolah tanpa rival yang sepadan. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 25 Januari 2006)

Senin, Agustus 18, 2008

Chelsea Meyakinkan, MU Butuh Striker Baru

(Menyorot Pekan Pertama BPL yang Lenyap dari Layar Kaca)

SUDAH nonton Liga Primer Inggris (BPL) pekan perdana, Sabtu-Minggu kemarin? Sebagian besar mungkin belum cukup beruntung. Menunggu siaran TV free to air tak kunjung datang, berlangganan lewat TV berbayar pun kecele.

Maklum, Astro TV ternyata cuma kuat bertahan semusim menyiarkan BPL. Tanpa basa-basi dan pemberitahuan yang memadai sejak jauh-jauh hari, mereka “dengan santai” melepaskan siaran BPL musim 2008/2009. Seolah lupa bahwa puluhan ribu pelanggan memilih mereka justru karena faktor BPL tersebut.

Apa boleh buat. Mungkin memang begitulah mentalitas lembaga penyiaran kita. Yang free to air maupun yang berbayar tetap saja seenaknya kalau sudah menyangkut program dan komitmen.

Kabar baiknya, kini datang Aora TV menawarkan alternatif. Kabarnya, TV berbayar yang dimotori Rini Soewandi –Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Megawati— itu bakal menyiarkan BPL mulai pekan kedua, tepatnya Sabtu mendatang. Entah untuk berapa musim.

Lepas dari rasa dongkol yang belum sepenuhnya hilang, melalui cuplikan pertandingan yang saya lihat “dari berbagai sumber”, ada banyak hal menarik dari persaingan pekan pertama BPL musim ini. Salah satunya, penampilan gemilang Chelsea yang jadi primadona pekan pertama dengan menggilas Portsmouth 4-0.

Penampilan tajam Chelsea seakan meneruskan tren positif yang mereka tunjukkan selama tur pramusim ke Asia Timur, Kuala Lumpur, dan Amerika Utara. Apalagi deretan pencetak gol ke gawang Portsmouth –Joe Cole, Nicolas Anelka, Frank Lampard, dan Deco— adalah pemain-pemain yang juga tampil mengesankan selama tur.

Itu menunjukkan bahwa tur pramusim yang dijalani Chelsea sangat efektif dalam menyatukan pemain lama dan baru, meningkatkan kebugaran pemain, sekaligus menerjemahkan konsep baru yang dibawa pelatih. Yang paling penting, menyiapkan Chelsea agar bisa langsung “panas” saat kompetisi dimulai.

Luiz Felipe Scolari memang datang ke Stamford Bridge tidak dengan tangan hampa. Ia membawa sistem permainan yang baru untuk Chelsea, meski basisnya tetap 4-4-2 atau 4-5-1 dan kerangka timnya masih skuat inti warisan Jose Mourinho dan Avram Grant.

Secara umum, Chelsea yang diinginkan Scolari adalah seperti Brasil pada Piala Dunia 2002. Mereka sangat kokoh di lini tengah dengan sederet gelandang serang yang haus gol menopang pergerakan striker utama –di Brasil, fungsi ini dimainkan Ronaldo pada era Scolari.

Sedangkan untuk memanfaatkan lebar lapangan, ia memberi mandat penuh kepada bek kanan dan kiri untuk naik-turun secara agresif. Dan fungsi itu kemarin dilakoni dengan sangat baik oleh Jose Bosingwa dan Ashley Cole.

Dengan performa seperti ini, ditambah fakta bahwa mereka belum menurunkan striker utama Didier Drogba, saya tak ragu menyebut Chelsea sebagai salah satu kandidat juara paling serius musim ini. Beratnya jadwal pertandingan tak akan jadi beban bagi mereka karena skuatnya besar dan barisan pemain pelapisnya sangat berbobot. Itulah enaknya punya bos kaya dan royal seperti Roman Abramovich.

Sementara itu, sang juara bertahan Manchester United (MU) jadi satu-satunya anggota “The Big Four” yang gagal memetik tiga angka pada pekan perdana. MU hanya bisa bermain imbang 1-1 melawan Newcastle United yang tampil gagah berani di Old Trafford.

Seperti sudah saya sampaikan dalam tulisan-tulisan saya di Harian TopSkor, problem terbesar MU saat ini ada di lini depan. Kegagalan menembus gawang Portsmouth pada laga Community Shield adalah sinyal paling kuat akan tumpulnya lini depan “Tim Setan Merah” tanpa Cristiano Ronaldo.

Kompetisi memang baru satu putaran, masih jauh dari “kiamat” bagi tim asuhan Alex Ferguson. Tapi, jangan lupa, Ronaldo baru bisa tampil lagi paling cepat awal Oktober. Itu berarti akan ada 5-6 pertandingan tanpa kehadiran gelandang jenius asal Portugal itu.

Selama kurun waktu itu, Ferguson betul-betul diuji kejeliannya untuk meramu kombinasi yang efektif di lini depan. Jika selama ini ia kelihatan yakin terhadap konsep striker tunggal, boleh jadi sekarang ia lebih sering menampilkan Carlos Tevez dan Wayne Rooney sekaligus.

Tapi, sekalipun duet Tevez-Rooney nantinya bisa “jalan”, saya tetap melihat perlunya MU membeli satu striker lagi sebelum batas pendaftaran 31 Agustus. Striker tersebut harus beda karakter maupun posturnya dengan Tevez maupun Rooney. Ia juga harus lebih bernaluri sebagai target man dan “betah” berlama-lama di kotak penalti menunggu pasokan bola dari rekan-rekannya.

Itulah tipe striker yang tak dipunyai MU saat ini. Dan karena itu pula Ferguson ngotot mengejar Dimitar Berbatov dari Tottenham Hotspur. Ya, Berbatov memang memenuhi persyaratan itu. Tapi seandainya “proyek” Berbatov kandas, saya kira tak ada salahnya Ferguson berpaling kepada striker Ajax, Klaas Jan Huntelaar. Menurut saya, ia bahkan lebih memenuhi persyaratan dibanding Berbatov. Kita tunggu saja. *

Jumat, Agustus 15, 2008

Menyedihkan, Pengurus PSIS Tidak Paham soal Pajak Penghasilan

ADA kabar menyedihkan datang dari Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/8) lalu. Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang, Ahmadi, mengkritik Manajemen PSIS Semarang karena hingga saat ini belum menyetor pembayaran pajak kepada negara sebesar Rp 2,147 miliar.

Nilai tunggakan pajak sebesar itu merupakan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sepanjang 2007. Dan tunggakan tersebut merupakan kewajiban tahun 2007 yang berasal dari kontrak pemain, gaji pemain, gaji ofisial, dan sebagainya.

Berdasarkan laporan BPK, sepanjang 2007, PSIS mendapat bantuan Rp 14,4 miliar. Dari total bantuan yang dicairkan dalam tiga termin itu, Rp10,756 miliar dialokasikan untuk kontrak pemain, gaji pemain, dan gaji ofisial. Berarti semuanya dikenakan pajak sesuai PPH pasal 21.

Tunggakan itu, kabarnya, bisa terjadi karena mekanisme pengucurannya yang “tersendiri”. Di instansi lain, jika mendapat pembayaran dari Pemkot langsung dipotong pajak saat dana dikucurkan.

Namun hal ini tidak berlaku bagi PSIS sehingga terkumpul pajak Rp 2,147 miliar yang belum disetor ke kas negara. Bahkan, Pemkot Semarang sendiri belum melakukan verifikasi atas penggunaan dana PSIS sepanjang 2007. Sehingga angka tunggakan Rp 2,147 miliar itu bisa saja membesar.

Yang lebih memprihatinkan di balik kasus tunggakan ini adalah jawaban Manajemen PSIS yang dilontarkan Manajer Yoyok Sukawi. Ia mengaku tidak mengetahui kalau para pesepak bola wajib membayar pajak penghasilan.

Menurut Yoyok, ketidaktahuan itu karena kewajiban membayar pajak penghasilan merupakan urusan pemain dan Pemerintah. Ia menyesalkan tidak ada pemberitahuan sejak awal dari Pemerintah mengenai hal ini.

Yoyok juga mengatakan bahwa pihaknya telah mengirim surat pemberitahuan kepada seluruh pemain lokalnya. “Tagihan” yang dikirimkannya itu berlaku pula untuk pemain lokal PSIS yang musim ini pindah membela klub lain. Konon, ada sekitar 30 pemain lokal yang terkena kewajiban ini.

Meski respons Manajemen PSIS terhadap kritik DPRD Kota Semarang cukup sigap, saya tetap prihatin terhadap kasus ini. Bayangkan, Manajemen PSIS yang terdiri atas sejumlah tokoh terkenal –Yoyok bahkan putra Walikota Semarang, Sukawi Sutarip, yang sedang "dibidik" KPK— itu ternyata tak paham soal pajak penghasilan.

Rasanya sungguh ironis, menyedihkan, sekaligus tak masuk akal. Apa iya Manajemen PSIS benar-benar tak paham soal pajak penghasilan? Bukankah mereka juga sudah diverifikasi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) dari segi finansial saat mengajukan diri sebagai peserta Liga Super Indonesia 2008/2009?

Saya punya sedikit pengalaman jadi konsultan bagi beberapa pemain sepak bola kita saat mereka bergabung dengan sebuah klub. Entah itu klub Liga Super, Divisi Utama, atau Divisi Satu. Entah itu klub di kota besar di Jawa, pedalaman Kalimatan Timur, hingga nun jauh di Sulawesi Utara.

“Anehnya”, setiap kali terjadi pembicaraan kontrak, soal pajak itu tak pernah luput diagendakan. Dan setiap kali itu pula solusinya seragam: pemain terima bersih! Maksudnya, angka yang disepakati sebagai hak pemain kemudian ditambah nilai pajaknya. Total jumlahnya itulah yang tercantum sebagai nilai kontrak resmi yang dilaporkan. Sehingga tak ada masalah tunggakan pajak.

Mungkin benar, setiap daerah memang punya “keunikan” sendiri. Boleh jadi, sistem kontrak pemain yang diberlakukan di PSIS itu juga “unik” dan berbeda dengan kebanyakan tim lain di Indonesia.

Itu sah-sah saja. Tapi, kalau pajak penghasilannya sampai terlupakan saking “uniknya”, ya siap-siap saja menanggung risikonya. *

Ketika Angka Delapan Jadi Sempurna

MELIHAT pesta pembukaan Olimpiade Beijing, Sabtu (9/8) lalu, sulit untuk tidak merasa kagum. Acaranya begitu meriah, semarak, dan kolosal dengan pesta kembang api yang sangat spektakuler sebagai puncaknya.

“Sebuah (angka) delapan menjadi 10 yang sempurna,” koran Sydney Morning Herald yang terbit di Australia memberikan pujian. “Dunia mungkin tak akan pernah lagi menyaksikan sebuah upacara dengan gema dan kreativitas seperti ini.”

Koran terbitan London yang sangat berpengaruh di Inggris, Evening Standard News, menyebut upacara tersebut “Keajaiban Cina” di halaman mukanya. Mereka menilai bahwa ini akan menjadi olimpiade paling ambisius dalam sejarah olahraga yang dibuka dengan pertunjukan paling spektakuler.

Pujian dari Italia tak kalah hiperbolis. “Menakjubkan. Terlalu menakjubkan,” jurnalis Leonardo Coen memberikan sanjungan dalam situs harian yang berbasis di Roma, La Republicca.

Bisa dikatakan bahwa Olimpiade Beijing, melalui upacara pembukaannya saja, sudah berhasil mengikis citra negatif yang sempat mengganggu Cina. Bukan lagi masalah hak asasi manusia, intimidari terhadap kebebasan pers, atau pemerintahannya yang otokratis yang jadi perhatian dunia.

Hari itu, dunia melihat Cina secara berbeda. Seperti dengan pas diungkapkan oleh media Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung: “Ini bukan buah kekejaman rezim yang diktator, melainkan sebuah pencapaian yang diraih dengan upaya tak terbatas dari sebuah negeri yang diorganisasi secara ketat”.

***
SULIT membayangkan bahwa olimpiade ini dibuka hanya tiga bulan setelah gempa besar di Provinsi Sichuan yang merenggut lebih dari 70 ribu jiwa. Sebuah bencana dahsyat yang memaksa mata dunia saat itu sepenuhnya tertuju kepada Cina.

Bahkan, hanya beberapa hari sebelum tanggal keramat “08-08-08” saat olimpiade dibuka, Cina masih juga diusik persoalan gempa. Dalam skala yang lebih kecil, gempa kembali mengguncang Sichuan dan sekitarnya.

Saat gempa besar itu melanda, dunia sempat khawatir Cina tak akan punya cukup energi untuk meneruskan pesta olahraga sejagat itu. Kalaupun olimpiade itu tetap digelar di “Negeri Tirai Bambu”, publik dunia sangat bisa memahami jika segala sesuatunya berjalan secara bersahaja.

Namun, Sabtu lalu, tak tampak lagi sisa-sisa duka akibat gempa besar itu. Yang tampak hanya kegairahan dan semangat luar biasa dari rakyat Cina untuk menjadikan olimpiade kali ini yang termegah dalam sejarah.

Pembukaan olimpiade kali ini membawa pesan lebih dari sekadar pembukaan pesta olahraga dunia. Ini sebuah isyarat tentang bangkitnya Cina, sebuah negara dengan tradisi peradaban yang panjang untuk menjadi negara terkemuka di jagat ini.

***

DARI pembukaan yang dahsyat itu, pelajaran paling penting yang bisa kita petik adalah soal kemauan. Cina seolah membuktikan bahwa tak ada yang mustahil untuk diraih selagi ada kemauan kuat untuk mewujudkannya.

Benar, gempa besar Sichuan sempat menggoyahkan kepercayaan diri Pemerintah dan rakyat Cina untuk terus menggelar olimpiade ini. Juga benar bahwa dampak sosial dan ekonomi akibat gempa tersebut belum sepenuhnya bisa dipulihkan dalam tiga bulan.

Tetap menggelar olimpiade, bahkan dengan pembukaan yang spektakuler, sama sekali tak menunjukkan bahwa Pemerintah Cina tak peka terhadap penderitaan rakyatnya. Justru harus dipahami sebagai bukti kuatnya komitmen Pemerintah Cina terhadap olahraga dan citra negara.

Lewat kesemarakan Olimpiade Beijing, mereka justru “melampaui dua-tiga pulau sekaligus”. Mereka sukses memperbaiki citra negatif Cina di mata dunia sekaligus berhasil mengetuk hati jutaan warga dunia untuk ikut memperhatikan nasib para korban gempa.

Terbukti, salah satu perusahaan elektronik raksasa negeri itu menyiapkan paket bonus istimewa. Untuk setiap emas yang diraih atlet Cina, satu sekolah akan dibangun.

Satu bangunan sekolah memang tak cukup untuk menghibur jutaan warga Sichuan yang jadi korban. Namun itu adalah simbol kemauan kuat rakyat Cina untuk bangkit dari keterpurukan dan menjadi raksasa baru di dunia olahraga.

Saya pun jadi teringat pesan Rasul, tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina. Semoga saja para pengambil kebijakan di negeri kita belajar dari Olimpiade Beijing ini. Sehingga kelak mereka pun memiliki komitmen dan kemauan politik yang kuat terhadap kemajuan olahraga kita. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 11 Agustus 2008)

Rabu, Agustus 13, 2008

Saatnya Bobotoh Mendukung Persib dengan Hati

“TIM Maung Bandung” akhirnya bisa bernapas lega. Kepolisian Daerah Jawa Barat mengizinkan penyelenggaraan pertandingan Persib Bandung melawan Persitara Jakarta Utara, Sabtu (16/8) mendatang, di Stadion Siliwangi. Pertandingan yang akan dimulai pukul 15.30 WIB itu bakal digelar tanpa penonton.

Izin itu sendiri diperoleh dengan susah-payah. Konon, Manajemen Persib mengurusnya sejak dua pekan lalu dengan mengajukan surat permohonan. Mereka juga bertemu langsung dengan Kapolda Jabar Inspektur Jenderal (Pol) Susno Duadji. Padahal, biasanya, permohonan izin “cukup” diajukan oleh panitia pelaksana pertandingan.

Seperti diungkapkan Ketua Harian Persib Bandung, Edi Siswadi, masalah perizinan ini memang dilematis. Sebagai pengurus teras Persib, ia khawatir “Tim Maung Bandung” terkena sanksi lebih berat dari Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) jika gagal menggelar laga lawan Persitara. Di sisi lain, ia mendukung ketegasan Polda terkait aksi anarkis bobotoh saat Persib menjamu Persija, bulan lalu.

Namun demikian, pada akhirnya Edi yang saat ini menjadi pejabat sementara wali kota Bandung itu tetap mensyukuri terbitnya izin dari Polda Jabar. Meski tanpa penonton, ia beranggapan tampil di Bandung tetap lebih menguntungkan bagi stamina dan psikologi pemain dibanding jika harus bermain di luar kota.

Edi tak lupa mengingatkan, pertandingan ini merupakan uji coba bagi bobotoh. ”Kalau terjadi kerusuhan lagi, bisa-bisa Persib tak akan diizinkan bertanding di Bandung hingga akhir kompetisi,” ia menegaskan. “Sekalipun tanpa penonton, bobotoh bisa saja rusuh di luar stadion.”


***

BENAR kata Edi, izin dari Polda Jabar memang lebih pas disebut sebagai ujian bagi para pendukung fanatik Persib yang biasa disebut bobotoh. Bahkan mungkin bisa disebut juga sebagai “remedial” –kesempatan belajar dan mengikuti ujian ulang bagi siswa yang nilainya kurang.

Sepintas, remedial terkesan lebih mudah dibanding ujian terdahulu. Tapi, sesungguhnya, bisa jadi lebih berat. Maklum, secara psikologis ada tekanan lebih besar untuk membuktikan diri bisa lebih baik. Dan kegagalan dalam remedial bisa membawa akibat yang lebih serius dibanding ujian biasa. Inilah aspek psikologis yang perlu dipahami betul oleh pemain, pengurus, dan seluruh konstituen Persib menyongsong laga lawan Persitara.

Begitu tegangnya suasana batin para pengurus teras Persib sampai-sampai mereka cenderung bersikap ekstrem. Untuk menonton di Siliwangi sudah jelas mustahil. Bahkan untuk sekadar datang ke Siliwangi pun mereka akan “ditolak” oleh para pengurus Persib. Apa kata dunia –suporter ditolak oleh timnya sendiri?

Oke, kehadiran bobotoh di Siliwangi memang tidak tepat dalam suasana sekarang ini. Nonton melalui siaran langsung Anteve mungkin lebih pas. Sekaligus bisa jadi pemuas kerinduan bobotoh terhadap aksi-aksi para idolanya.

Namun pengurus Persib ternyata juga dihinggapi ketakutan berlebihan terhadap urusan nonton bareng ini. Buktinya, seperti dikutip Harian Galamedia, Edi mengimbau bobotoh agar mereka tidak melakukannya di tempat terbuka. Karena, menurutnya, jika dilaksanakan di tempat terbuka, bisa mengundang kerawanan yang lain.

Pada suatu masa nanti, kita semua mungkin akan tertawa geli membaca kembali kisah ini. Nonton bareng saja kok diatur-atur! Memangnya bisa diatur-atur?

Tapi semua itu memang demi kebaikan Persib sendiri. Kepada para pendukung Persib, saya malah punya imbauan yang lebih ekstrem. Ini saatnya mendukung Persib dengan hati dan dalam hati saja! (Dukungan dari dalam hati justru lebih murni dan bebas dari ancaman sanksi BLI maupun Komdis PSSI) *

Sekali Lagi, Ganda Campuran

SENANG rasanya melihat dinamika perkembangan berita bulu tangkis Indonesia dalam sebulan terakhir ini. Setelah babak-belur di Kejuaraan Dunia di Madrid, para pendekar Cipayung di luar dugaan menuai sukses lumayan mengesankan di turnamen bergengsi Jepang Terbuka, pekan lalu.

Memang, hanya satu gelar yang bisa dibawa pulang dari Tokyo –lagi-lagi dari nomor ganda campuran. Taufik Hidayat yang tampil cukup spektakuler di Yoyogi National Gymnasium rupanya masih perlu meningkatkan ketahanan fisiknya untuk mengimbangi superioritas Lin Dan. Adapun gelar di nomor ganda putra harus kita bagi dengan Amerika Serikat –tempat tinggal Tony Gunawan saat ini.

Sekalipun demikian, bagi saya, penampilan pasukan Cipayung di Jepang Terbuka tetap bisa dibilang sukses. Mewakilkan tujuh atlet di partai puncak setelah babak-belur di Kejuaraan Dunia adalah sebuah lompatan sekaligus kebangkitan yang cukup berarti –paling tidak, secara psikologis.

Secara khusus, pujian harus diberikan kepada para atlet dan pembina nomor ganda campuran. Bayangkan, di Jepang, mereka sukses menyajikan “All Indonesian Final” yang sangat membanggakan.

Seingat saya, terakhir kali para pemain kita mampu menyajikan final sesama mereka di sebuah turnamen besar terjadi pada Indonesia Terbuka 2005 saat ganda putra Candra Wijaya/Sigit Budiarto dikalahkan Markis Kido/Hendra Setiawan. Namun, kalau Tony masih dianggap pemain Indonesia, maka final sesama pemain kita paling akhir terjadi di nomor ganda putra Indonesia Terbuka 2006, awal Mei lalu.

Sudah lumayan lama, memang. Apalagi kalau dibandingkan dengan keberhasilan Cina menyajikan “All China Final” secara rutin di nomor tunggal dan ganda putri berbagai kejuaraan internasional dalam kalender IBF.


***


LOLOSNYA Nova Widianto/Lilyana Natsir ke final Jepang Terbuka jelas membanggakan. Tapi sama sekali tak mengejutkan. Sepanjang 2006, ini partai final ketujuh bagi mereka. Dan empat di antaranya sudah membuahkan gelar juara di Kejuaraan Asia, Singapura, Cina Taipei, dan Korea Terbuka 2006.

Yang mengejutkan adalah ikut lolosnya pasangan campuran baru –tapi stok lama— Flandy Limpele/Vita Marissa ke partai puncak. Apalagi mereka kemudian sukses memetik gelar juara pada turnamen internasionalnya yang pertama.

Benar, belum saatnya PB PBSI menepuk dada atas sukses mereka “menjodohkan” Flandy/Vita. Setidaknya, kita masih perlu menguji mereka lebih jauh di sederet turnamen yang sudah menunggu dalam waktu dekat ini: Cina Terbuka, Invitasi Piala Dunia, Denmark Terbuka, dan kemudian Asian Games di Qatar.

Jangan lupa, di Jepang lalu, Flandy/Vita juga belum merasakan ketangguhan pasangan juara dunia Nathan Robertson/Gail Emms. Pasangan ini absen karena Robertson memilih konsentrasi ke kejuaraan Denmark Terbuka yang waktunya memang agak berdekatan dengan Jepang Terbuka.

Selain itu, karena ini penampilan perdana mereka sebagai pasangan, unsur kejutan juga banyak membantu mereka. Hampir semua ganda campuran terbaik dunia saat ini sudah kadung terbiasa dengan gaya permainan ulet Nova/Lilyana. Saya rasa, mereka cukup kaget menghadapi gaya permainan Flandy/Vita yang lebih cepat dan agresif.

Jangan lupa, saya kira tak sedikit juga lawan-lawan mereka yang mungkin sedikit meremehkan pasangan baru ini. Maklum, akhir-akhir ini, Flandy agak jeblok prestasinya saat berduet dengan Eng Hian maupun Sigit Budiarto di nomor ganda putra.

Vita juga tak pernah merasakan manisnya juara saat berpasangan dengan Devin Lahardi maupun Anggun Nugroho. Prestasi terbaik bersama Anggun hanya masuk semifinal Malaysia Terbuka 2006 yang berbintang empat. Berpasangan dengan Devin malah hanya bisa mencapai kuarter final Kejuaraan Asia dan Indonesia Terbuka 2005. Sekali menembus final tapi hanya turnamen bintang tiga Cina Taipei Terbuka 2005.



***


NAMUN, apapun dalihnya, sukses Flandy/Vita di Jepang Terbuka tetap layak disambut hangat. Rasanya tak keliru jika saya pernah berharap PB PBSI mau lebih serius memperhatikan nomor yang selama ini sering terkesan “dianaktirikan” ini.

Saya memang melihat ganda campuran sebagai nomor yang cukup ideal bagi para pemain Indonesia. Sebab nomor ini bisa mereduksi kelemahan kita di sektor putri, sebaliknya memaksimalkan potensi para pemain putra kita.

Kalau main di tunggal dan ganda putri nyaris mustahil untuk mengimbangi para pemain Cina, lain soal di ganda campuran. Sebab, secara tradisional, Indonesia selalu melahirkan para pemain putra yang punya kemampuan menguasai lapangan sangat baik. Tipe pemain seperti inilah yang biasanya kemudian berkembang pesat saat main di nomor ganda campuran.

Dalam sejarah bulu tangkis Indonesia, kita pernah mengenal sederet nama pemain putra yang berprestasi di nomor ganda campuran. Dari Christian Hadinata, Edi Hartono, Trikus Haryanto, Bambang Suprianto, hingga generasi terkini seperti Nova, Anggun, dan Flandy.

Main ganda campuran itu unik, teristimewa bagi pemain putranya. Lebih dari sekadar butuh smes kuat, kelincahan, dan daya jelajah lapangan yang luas, main ganda campuran juga butuh kecerdasan dan naluri yang kuat dalam menempatkan bola. Sebab, salah menempatkan bola –misalnya saat melepaskan servis atau mengirim lob— akan jadi bumerang yang membahayakan pertahanan sendiri.

Makanya, sosok pemain ganda campuran itu agak khas. Ia harus punya kombinasi kemampuan sebagai pemain tunggal sekaligus ganda putra. Makanya, sosok pemain ganda campuran yang sukses biasanya juga khas: smesnya mungkin tak terlalu dashyat, tapi kemampuan bertahan, variasi pukulan, dan penempatan bolanya sangat prima.

Mungkin karena kebiasaan bermain sejak kecil plus kultur budaya masyarakatnya, Indonesia sebetulnya punya banyak pemain yang memenuhi “kriteria” seperti itu. Sebagian masih bermain di ganda putra dan sebagian lagi pernah berkutat di tunggal namun kurang sukses. Sekadar menyebut nama, saya berani menyebut nama Luluk Hadiyanto, Hendra Setiawan, atau Tony Gunawan sebagai contoh pemain yang cukup potensial sekiranya mau menekuni nomor ganda campuran –secara serius ataupun sekadar “sambilan”.

Nah, di sinilah pentingnya peran jajaran pembina di lingkungan PB PBSI untuk lebih jeli mencermati potensi para atlet di Cipayung. Jika memang sukses sulit digapai di tunggal dan ganda putra –maupun putri, mengarahkan mereka ke nomor ganda campuran mungkin bisa jadi alternatif yang lebih prospektif. Tentu saja, tanpa mengorbankan pembinaan sektor tunggal dan ganda putranya itu sendiri. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 17 Oktober 2006)

Senin, Agustus 11, 2008

Kegagalan Taufik Sudah Bisa Ditebak

NASIB tragis dialami pebulu tangkis tunggal putra Indonesia, Taufik Hidayat. Hari ini, ia gagal mempertahankan medali emas tunggal putra di Olimpiade Beijing 2008. Taufik disingkirkan pemain veteran Malaysia, Wong Choong Hann, dengan dua set langsung 19-21 dan 16-21.

Kegagalan ini tentu menyedihkan. Sebab Taufik satu-satunya peraih medali emas di Olimpiade Athena 2004 lalu. Selain itu, ia juga masih diunggulkan di posisi ketujuh dalam olimpiade kali ini. Tapi, baru memasuki putaran kedua, harapan itu langsung terkubur.

Sedih sudah tentu, namun sejujurnya kegagalan Taufik telah diperkirakan banyak orang. Maklum, belakangan ini prestasinya memang terus merosot. Persiapannya ke Beijing pun bisa dibilang berantakan.

Bayangkan, 23 Juli lalu, Taufik masih menjalani perawatan di rumah sakit Pondok Indah. Saat itu, ia diduga mengalami gejala demam berdarah dengue. Toh, ia tetap nekat memaksakan diri tampil di Beijing.

Hasilnya? Lapangan badminton Beijing University of Technology Gymnasium jadi saksi bisu sisa-sisa kejayaan Taufik yang nyaris tak berbekas. Setelah kalah di set pertama 19-21, ia tetap tak mampu memulihkan kondisinya. Dari posisi tertinggal 8-12, Taufik sempat mengejar jadi 13-12. Namun Choong Hann membalikkan keadaan jadi 15-13, 18-14, dan akhirnya 21-16.

Kegagalan ini bukan kesalahan Taufik. Adalah PB PBSI dan Komite Olimpiade Indonesia yang terlalu gegabah memaksakan diri tetap menerjunkan Taufik. Boleh jadi, mereka berharap ia bisa bikin kejutan dengan mengeluarkan seluruh sisa kehebatan pada olimpiade terakhirnya ini.

Tapi, bagi saya, harapan itu palsu belaka. Sebab, dalam era bulu tangkis modern ini, nyaris tak ada lagi kejutan itu. “Hukumnya” sudah sangat jelas: siapa paling siap, dialah yang terbaik. Hampir mustahil mengharapkan seorang pemain yang sama sekali tak diunggulkan atau datang dengan persiapan ala kadarnya tiba-tiba menguasai turnamen sekelas olimpiade atau kejuaraan dunia.

Coba saja simak, siapa penghuni posisi pertama peringkat BWF dalam empat tahun terakhir? Jawabannya: Lin Dan. Coba lihat juga siapa-siapa saja pemenang kejuaraan besar dalam dua tahun terakhir. Tak akan jauh dari nama Lin Dan, Lee Chong Wei, Bao Chunlai, atau mungkin Lee Hyun Il –para penguasa peringkat BWF.

Mereka adalah para pemain tunggal putra terbaik dunia sekarang ini. Dan mereka secara tekun dan konsisten terus menjaga kondisinya agar selalu siap menghadapi berbagai kejuaraan. Sangat berbeda dengan Taufik yang belakangan ini terlalu disibukkan oleh aneka persoalan di luar lapangan bulu tangkis.

Empat tahun lalu, Taufik memang berjaya di Athena –meskipun tidak diunggulkan. Tapi, saat itu, ia datang dengan persiapan jauh lebih matang dibanding sekarang. Bahkan kondisi fisik dan staminanya pun jauh lebih baik. Saat itu, boleh jadi pula, Taufik punya motivasi khusus karena belum pernah merasakan kemewahan jadi peraih medali emas olimpiade.

Taufik memang masih termasuk salah satu pemain dengan teknik permainan paling lengkap saat ini. Tapi itu saja tak akan cukup untuk membuatnya jadi yang terbaik. Permainan bulu tangkis modern juga menuntut kedisiplinan dan kesiapan secara fisik maupun mental. Itulah yang sekarang tak ada lagi dalam diri Taufik. *

Jumat, Agustus 08, 2008

Terapi Istimewa Ferguson untuk Ronaldo

“OPERA sabun” kepindahan Cristiano Ronaldo ke Real Madrid berakhir antiklimaks. Penyerang sayap asal Portugal itu akhirnya memutuskan bertahan di Manchester United (MU). Minimal semusim lagi dari empat tahun sisa kontraknya.

Padahal, hingga pekan lalu, Ronaldo masih bersikeras ingin pindah ke Madrid –klub idolanya sejak masa kanak-kanak. Bahkan Ronaldo sempat bilang tak sudi kembali ke Old Trafford, kandang “Tim Setan Merah”.

Toh, semua kekerasan hati pemain berusia 23 tahun itu kini mencair. Terhitung mulai hari ini, Ronaldo menapakkan kembali kakinya di Carrington, markas latihan MU, dan bergabung dengan rekan-rekan setimnya.

Hal yang paling menarik bagi saya adalah alasan Ronaldo di balik perubahan sikapnya. Ia menyebut bagaimana Alex Ferguson begitu sabar dan telaten membujuknya untuk tetap di Old Trafford. Itu sangat berperan di balik keputusannya tidak hijrah ke Spanyol.

Sabar dan telaten? Dua kata itu mungkin terasa asing bagi kebanyakan pemain MU. Bagi mereka, Ferguson mungkin lebih identik dengan tekanan dan sumpah-serapah.

Hampir semua pemain MU pernah merasakan tak enaknya “diceramahi” Ferguson dengan rentetan kalimat penuh tekanan yang dia lontarkan tepat di depan wajah si pemain. Itulah “hairdryer treatment” ala Ferguson saat ia kesal melihat penampilan seorang pemain. Atau saat ia memacu motivasi pemain yang dilihatnya main di bawah standar keinginannya.

Ferguson nyaris tak pandang bulu dalam hal memperlakukan pemain. Hampir semua bintang MU pernah merasakan terapi khasnya itu. Dari Steve Bruce pada era 1980-an, Dennis Irwin pada 1990-an, hingga generasi Wayne Rooney sekarang.

Toh, semua itu bukan tanpa perkecualian. Konon, ada beberapa pemain yang luput dari siksaan “terapi alat pengering rambut” itu. Di antara mereka, tercatat nama-nama seperti Bryan Robson, Eric Cantona, Roy Keane, dan kini Ronaldo.

Saya kira, di situlah cerdiknya Ferguson. Ia mendasarkan perlakuan terhadap pemain tak asal pukul rata atau sekadar diukur dari kemampuannya. Tapi ia juga mempertimbangkan karakter pribadi dan kontribusinya.

Pemain keras kepala semacam Cantona dan Keane tak akan mempan diceramahi panjang-lebar. Jadi, Ferguson memilih memberi mereka keleluasaan dan kepercayaan penuh.

Ronaldo mungkin tak sekeras Cantona. Tapi ia aset terbesar MU dalam dekade terakhir ini. Ia ibarat mutiara yang butuh perlakuan khusus. Maka, Ferguson pun menyikapi keinginan Ronaldo untuk pergi sebagai kebandelan ketimbang pemberontakan. Dan, sebagai “ayah”, Ferguson tahu betul bahwa sebuah bujukan akan lebih berdayaguna ketimbang hukuman. Luar biasa!

Suka-tak suka, kita harus mengakui bahwa Ferguson memang pelatih brilian. Dan para pelatih Indonesia perlu banyak belajar dari kakek berumur 66 tahun ini. *

Pelajaran Pahit Liga Super Malaysia

SEBUAH berita mengejutkan datang dari Malaysia. Negeri jiran itu berencana mendepak semua pemain asingnya dari Liga Super Malaysia (MSL) mulai musim mendatang. Keputusan drastis ini diambil sebagai upaya menyelamatkan keuangan serta perkembangan sepak bola nasionalnya.

Dalam pertemuan para petinggi sepak bola negara itu, akhir pekan lalu, disimpulkan bahwa pemakaian pemain impor tak banyak membawa manfaat. Mereka justru telah mematikan bakat pemain lokal dan berdampak negatif terhadap tim nasional (timnas) Malaysia. Terbukti posisi Malaysia di peringkat FIFA kini terpuruk di urutan ke-166.

“Kami bukanlah Liga Primer Inggris. Bisa dikatakan liga kami belum mendunia, makanya sebelum semakin terpuruk itu harus diperbaiki,” Wakil Presiden FAM, Khairy Jamaluddin, menjelaskan. “Kehadiran pemain asing membuat pemain lokal tidak punya kesempatan untuk berkembang.”

Menurut Jamaluddin lagi, para pemain asing dengan bayaran tinggi itu juga cukup menyusahkan klub dari segi finansial. “Klub tidak sanggup lagi. Jalan terbaiknya mempersilakan mereka pergi sampai ada jalan keluar dari masalah ini,” tokoh sepak bola lainnya menambahkan.

Yang lebih menyedihkan, FAM mendapatkan laporan bahwa beberapa pemain asing diduga terlibat dalam kasus pengaturan pertandingan di MSL. Lebih spesifik lagi, biang keroknya konon beberapa pemain hitam asal Afrika.

***

BAGI sebagian orang, ini mungkin bukan kabar yang terlalu mengagetkan. Pasalnya, bukan pertama kalinya FAM melarang pemain asing di kompetisi mereka. Pada musim 2001/2002, larangan serupa juga diberlakukan. Pemain asing kembali diizinkan seiring bergulirnya MSL yang mulai diluncurkan pada 2004.

Pada masa itu, kehadiran MSL dianggap sebagai babak baru dalam sejarah persepakbolaan Malaysia. MSL menggantikan Semi-Pro League –biasa disebut M-League— yang sejak diluncurkan pada 1989 gagal mengangkat derajat kompetisi di negeri jiran itu. Bahkan, meski sudah diikrarkan sebagai kompetisi yang profesional pada 1994, M-League dianggap masih dikelola secara amatiran.

Kenyataannya, MSL juga tak membawa hasil. Perubahan dari M-League menjadi MSL dianggap sekadar “ganti baju” tanpa perubahan mendasar dari segi manajemen klub, pengelolaan kompetisi, serta kualitas permainannya itu sendiri.

Itu dibuktikan oleh semakin terpuruknya prestasi timnas Malaysia di ajang regional. Pada SEA Games 2007, Malaysia bahkan langsung tersingkir di penyisihan grup –sama seperti Indonesia. Dan posisi Malaysia di peringkat FIFA kini di bawah negeri liliput semacam Seychelles dan Mauritius.

Padahal, sebelum era M-League dan kemudian MSL, Malaysia termasuk kekuatan yang terpandang di Asia Tenggara maupun Asia. Terbukti, mereka pernah lolos mewakili Asia ke Olimpiade 1980 di Moskow.

***

CERITA kelabu yang dialami MSL tiba-tiba membuat saya teringat kepada kompetisi sepak bola kita sendiri, Indonesia Super League (ISL). Tak sekadar karena namanya sama-sama menyelipkan kata “super” di tengah-tengahnya.

Rangkaian perjalanan yang dialami oleh Malaysia sampai terbentuknya MSL hasil pemikiran Tengku Abdullah Sultan Ahmad Shah itu kok mirip dengan perjalanan ISL. Dulu kita juga punya liga semiprofesional yang disebut Galatama. Karena tak kunjung membuahkan prestasi, kemudian dilebur dengan kompetisi Perserikatan jadi Liga Indonesia.

Belakangan, Liga Indonesia juga dianggap tak memuaskan perkembangannya. Maka digagaslah kelahiran ISL dengan titik berat pembenahan di sektor infrastruktur, organisasi dan manajemen tim, serta pembenahan sikap mental pemain dan ofisial tim secara keseluruhan.

Sulit dipercaya, desain besar (grand design) yang melatarbelakangi kelahiran ISL ternyata begitu mirip dengan lahirnya MSL, empat tahun lalu. Bahkan, perjalanan awalnya pun serupa.

Seperti dialami ISL sekarang, kritik juga tak henti menerpa MSL yang dianggap tak lebih baik dibanding M-League. Bedanya hanya jumlah peserta yang lebih dibatasi. Sementara dari aspek manajemen klub, pengelolaan kompetisi, dan kualitas pemain sama saja. Sampai akhirnya lahirlah keputusan drastis soal “pengusiran” pemain asing itu.

Tanpa bermaksud menggurui, saya sangat berharap para petinggi BLI dan pengelola klub ISL bisa belajar banyak serta mengambil hikmah dari kegagalan MSL. Masih ada waktu setidaknya empat tahun ke depan untuk memastikan bahwa ISL kelak tak akan senasib dengan MSL. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 4 Agustus 2008)

Rabu, Agustus 06, 2008

Ortega, Maradona, dan Alkohol

LEGENDA hidup sepak bola Argentina, Diego Maradona, tiba-tiba bicara tentang Ariel Ortega. Kemarin, Maradona mengimbau kepada semua pihak untuk bersama-sama menolong Ortega yang menurutnya kini tengah “sekarat” karena pengaruh alkohol.

Maradona menggambarkan, ibaratnya Ortega kini dalam keadaan “sekarat” karena pengaruh kuat alkohol. Dia sudah pada tingkat kecanduan berat. “’El Burrito’ Ortega akan menghadapi masa-masa sulit,” kata pemain legendaris Napoli dan Boca Juniors itu. “Jika kita tak menolongnya sebagai manusia, maka kita semua akan melakukan kesalahan besar.”

Imbauan dan keprihatinan Maradona itu jelas menarik. Pertama, karena beberapa waktu lalu nama Ortega yang sekarang berumur 34 tahun itu sempat disebut-sebut bakal direkrut Persija untuk berkiprah di Liga Indonesia. Meski kemudian kabar itu menguap begitu saja.

Yang kedua, imbauan itu juga menarik karena dilontarkan oleh Maradona. Ini sungguh kontradiktif sebab semua orang tahu bahwa alkohol dan narkoba itulah yang dulu telah merusak karier gemilang “Si Bogel”.

Agaknya, Maradona telah sampai pada titik balik yang sangat positif dalam pergulatannya melawan alkohol dan narkoba. Kita semua tahu bagaimana ia juga pernah “sekarat” karena pengaruh alkohol. Bahkan beberapa kali Maradona jatuh sakit dan pernah hampir meninggal dunia.

Berkat perjuangan yang sungguh-sungguh –termasuk menjalani perawatan khusus di Kuba dan Prancis— ternyata Maradona bisa diselamatkan. Bahkan sekarang ia bisa bersalin peran jadi penganjur gerakan antialkohol dan narkoba di dunia olahraga.

Sungguh mulia perhatian yang ditunjukkannya terhadap Ortega. Sebab, secara “ideologi” sepak bola, Ortega yang dibesarkan River Plate itu mestinya merupakan musuh abadi bagi Maradona yang besar bersama Boca Juniors.

Tapi semangat kemanusiaan Maradona telah mengalahkan batas-batas fanatisme yang sempit itu. Ia lebih memilih membantu Ortega ketimbang memusuhinya. Kontras dengan sikap Direktur River Plate dan pelatih Diego Simeone yang melarangnya bergabung dengan tim.

Maradona adalah “malaikat penolong” yang tepat bagi Ortega. Dengan riwayat kecanduannya yang lebih parah, setiap kalimat dukungan dan dorongan semangat dari Maradona akan menjadi obat paling mujarab untuk menuntun kembali Ortega ke jalan yang benar.

Malah, seharusnya, tak hanya Ortega yang mendapatkan “pencerahan” dari imbauan Maradona itu. Puluhan, bahkan mungkin ratusan pesepak bola di seluruh dunia sepatutnya juga merasakan hal yang sama. Termasuk sebagian pemain Liga Indonesia yang masih sering menganggap enteng bahaya alkohol –juga narkoba— terhadap karier dan masa depan mereka. *

Sony Belum Siap Terbebani

PEKAN lalu, sebelum berangkat ke Inggris untuk mengikuti turnamen bulu tangkis All England 2006, Sony Dwi Kuncoro menjadi incaran pers. Maklum, ia satu-satunya tunggal putra Indonesia di kejuaraan tertua itu. Yang bikin publik penasaran, seberapa jauh Sony bisa melangkah di All England tahun ini.

Kala itu, seperti biasa, pemuda asal Surabaya ini mencoba menanggapinya dengan kalem. Ia mengaku sadar betul bahwa dirinya sangat diharapkan bisa berprestasi. Kalau target menjadi juara dianggap kelewat tinggi, keinginan lolos ke semifinal ia rasakan masih masuk akal.

“Tapi saya tidak ingin beban itu menjadi penghalang. Sebaliknya, sebagai satu-satunya pemain di nomor tunggal, itu akan menjadi penambah motivasi saya,” ujar Sony, kala itu. “Tentu malu kalau saya pada babak awal langsung tumbang. Apalagi tidak ada pemain Indonesia lagi yang tampil di nomor tunggal.”

Entah apa yang dirasakan Sony sekarang setelah Rabu (18/1) lalu ternyata benar-benar tumbang di putaran pertama kejuaraan bintang empat itu. Di luar dugaan, Sony kalah mudah 5-15 dan 8-15 dari pemain Malaysia, Lee Tsuen Tseng.

Padahal, menurut perhitungan di atas kertas, Tsuen Tseng seharusnya bisa dilewati Sony. Kasubid Pelatnas Cipayung, Lius Pongoh, sempat meramalkan Sony bisa mencapai putaran ketiga dan bertemu salah satu andalan Cina, Bao Chunlai. Di titik ini, peluang Sony untuk lolos ke babak berikutnya 50:50.

Jika merujuk ambisi Sony sendiri melaju ke semifinal, artinya ia optimistis bisa melewati hadangan Chunlai. Setelah tiba di babak empat besar dan –kemungkinan besar— menghadapi Peter Gade, barulah Sony agak ragu bisa meneruskan langkahnya.

Namun rencana tinggal rencana. Sony ternyata tumbang begitu cepat. Jangankan menjungkalkan Chunlai yang tergolong trio tunggal putra terkuat Cina saat ini, bahkan melewati Tsuen Tseng pun ternyata Sony tak mampu.

***
KEGAGALAN Sony di All England kali ini sebenarnya bukan tanpa latar belakang. Kalau mau jujur, sepanjang tahun 2005 pun sebetulnya prestasi pemuda pendiam ini tak terlalu mengesankan.

Tahun lalu, praktis Sony hanya dapat mengoleksi dua gelar juara. Itu pun didapatnya dari turnamen yang bisa dibilang “kelas dua”, yakni Kejuaraan Asia dan SEA Games XXIII/Filipina. Tak mengherankan jika pada akhir tahun lalu peringkatnya melorot cukup jauh. Pada akhir 2003, Sony sempat nangkring di posisi 10 besar, tapi sekarang dia berada di peringkat 20-an dunia.

Keberhasilan di SEA Games XXIII pun tak sepenuhnya mulus. Ia memang juara di nomor perorangan tunggal putra. Namun, di nomor beregu, Sony gagal memotori “Tim Merah Putih” untuk mematahkan perlawanan Malaysia.

Ada satu fakta menarik di balik keberhasilan Sony menjuarai tunggal putra SEA Games lalu. Kala itu, ia datang ke Filipina bukan sebagai favorit. Sony hanya unggulan ketiga bersama Boonsak Ponsana (Thailand). Yang lebih difavoritkan justru duet Malaysia, Lee Chong Wei dan Muhd Hafiz Hashim. Maklum, Chong Wei menempati peringkat kedua IBF.

Di situlah Sony membuktikan kemampuan terbaiknya. Tanpa banyak gembar-gembor, ia melaju terus hingga ke partai puncak. Dan, di final, ia merebut emas setelah mengalahkan Simon Santoso 17-16 dan 15-3. Hal serupa terjadi pada Olimpiade Athena 2004. Saat itu, ketika namanya tak diperhitungkan, Sony malah melenggang hingga akhirnya merebut perunggu.

Fakta lain yang tak kalah menarik terlihat pada kejuaraan Indonesia Terbuka 2005, akhir September lalu. Kala itu, Sony juga sangat diharapkan merebut gelar tunggal putra yang sejak 1999 selalu diraih tuan rumah. Apalagi juara bertahan Taufik Hidayat sengaja “mengalah” kepada Simon di putaran ketiga.

Pada saat diharapkan seperti itu, kita bisa melihat betapa tak berkembangnya permainan Sony. Sempat merebut set pertama, ia kemudian kehilangan momentum dan menyerah kepada unggulan ketujuh Lee Hyun Il (6-15, 15-7, 15-7) pada semifinal.

Dari dua fakta ini, kita bisa memetik satu kesimpulan menarik tentang Sony. Arek Jawa Timur ini ternyata tipe pemain yang punya potensi berkembang bila tak merasa terbebani harapan atau bukan sebagai tulang punggung timnya. Sebaliknya, jika menjadi tumpuan harapan, ia cenderung tak bisa konsentrasi dan kemudian gagal menunjukkan performa terbaiknya.

Di All England ini, tampaknya, perasaan terbebani itu begitu menghantui Sony saat meladeni Tsuen Tseng. Makanya, Lius Pongoh pun sampai tak habis pikir melihat jeleknya penampilan Sony.

Saat ini, harus diakui, materi tunggal putra kita memang memprihatinkan. Ada Taufik yang prestasinya tinggi, tapi komitmennya sulit dipegang. Di bawahnya, ada Sony yang potensial tapi labil mental dan kepercayaan dirinya. Di bawahnya lagi, ada Simon yang masih sulit diharapkan prestasinya.

Dengan situasi seperti ini, suka-tak suka, kita jadi banyak berharap kepada Sony. Padahal, harapan besar justru jadi beban yang belum sanggup dipikul Sony. Dilematis, memang. Hanya Sony sendiri yang bisa mengatasi problem ini. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Januari 2006)

Senin, Agustus 04, 2008

Messi dan Ronaldinho Menjadikan Olimpiade Lebih Bermakna

ADA pemandangan baru di Cina pada hari-hari belakangan. Warga setempat mulai sibuk menyapa dan menyambut para atlet yang mulai berdatangan untuk mengikuti Olimpiade Beijing, 8-24 Agustus mendatang.

Yang menarik, di antara mereka yang paling disambut meriah adalah dua bintang sepak bola, Lionel Messi dan Ronaldinho. Keduanya akan tampil memperkuat tim nasional Argentina dan Brasil di cabang sepak bola.

Kehadiran Messi di Shanghai, sejak Jumat pekan lalu, disambut ratusan orang dan belasan juru foto. Sambutan serupa diterima Ronaldinho saat tiba di Shenyang, kota tempat tim Brasil U-23 akan menghadapi Belgia, 7 Agustus mendatang. Para penyambut tak henti-henti meneriakkan nama Ronaldinho seraya mengambil gambarnya.

Sambutan meriah itu seolah menenggelamkan permasalahan yang mengiringi keberangkatan mereka ke Beijing. Messi masih dibayangi ancaman dari Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) yang saat ini tengah mempelajari banding dari klub tempatnya bernaung, Barcelona.

Sedangkan Ronaldinho menghadapi kemungkinan ancaman lain, yaitu cedera yang membuat debutnya bersama AC Milan bisa tertunda. Padahal, Milan bisa dibilang telah “menyelamat kariernya” dari keterpurukan lebih dalam di Barcelona. Dan Milan pun telah begitu murah hati mengizinkannya pergi ke Beijing ketimbang beradaptasi dengan Paolo Maldini dan kawan-kawan.

Messi bahkan bisa saja harus mundur dari keikutsertaannya di Olimpiade Beijing. Begitu CAS mengabulkan banding yang diajukan Barcelona, saat itu juga Messi harus segera pulang ke Spanyol. Dan CAS kemungkinan akan mengeluarkan keputusannya pada Rabu esok.

Namun, jika melihat antusiasme dan kegairahan publik Cina menyambut kedatangan Messi, CAS mestinya bisa melihat persoalan ini secara lebih bijak. Kepulangan Messi akan menjadi kekecewaan besar bagi publik Shanghai, tempat Argentina memainkan dua pertandingan awalnya.

Apalagi Argentina adalah juara bertahan cabang sepak bola di Olimpiade Beijing. Mereka berada di Grup A bersama Serbia, Australia, dan Pantai Gading. Adapun Ronaldinho membawa impian jutaan rakyat Brasil yang berharap medali emas sepak bola Olimpiade akhirnya bisa dibawa pulang ke “Negeri Samba”.

Tak syak lagi, kehadiran Messi dan Ronaldinho telah membuat cabang sepak bola di Olimpiade Beijing jadi menarik, makin semarak, dan lebih bermakna. Bahkan pesonanya mungkin jadi tak kalah dibanding gemerlap cabang basket yang menghadirkan para bintang NBA-nya. *