Rabu, Juli 30, 2008

Lagi, Pertandingan ISL Ditolak

HARI kelabu bagi Persija Jakarta. Duel lawan Persita Tangerang yang semestinya digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senin (28/7) lalu, akhirnya dibatalkan. Hingga pukul 10.00 WIB hari itu, izin dari aparat keamanan belum juga turun.

Dalam kurun waktu hanya sepekan, ini untuk kedua kalinya tim asal Jakarta mengalami kesulitan menggelar pertandingan di ajang ISL 2008/2009. Sebelumnya, Persitara Jakarta Utara juga hampir gagal menjamu Persela Lamongan di Stadion Si Jalak Harupat Bandung, Minggu (20/7) lalu. Hanya karena kenekatan Manajer Harry Ruswanto laga tersebut akhirnya bisa digelar. Meskipun kemudian berbuntut “pengusiran” Persitara dari Soreang ke Solo.

Bedanya, dalam kasus Persitara, kegagalan itu terjadi karena ketidaksiapan “Si Pitung” menanggung ongkos sewa stadion dan penerangannya. Dalam kasus Persija, aparat keamanan beralasan laga tersebut rawan bentrokan massa yang bisa mengganggu ketenteraman umum.

Ironisnya, izin serupa justru pernah diberikan pihak berwajib kepada PSMS Medan yang “numpang” jadi tuan rumah di SUGBK. Bahkan PSMS sudah menggelar dua pertandingan –yang sayangnya sepi penonton— tanpa kesulitan.

Apapun alasannya, penolakan terhadap Persija merupakan isyarat yang perlu disikapi secara arif oleh semua kalangan. Tak hanya oleh pengelola Persija tapi juga barisan suporternya yang tergabung dalam Jakmania serta Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) selaku operator ISL 2008/2009.

Pengurus Persija sudah bersikap bijak dengan menerima kenyataan itu dan fokus mengurus izin untuk duel berikutnya lawan Persijap Jepara, Jumat (1/8). Namun sekadar pasrah menerima kenyataan tentu tak memecahkan persoalan. Harus dicari solusinya agar penolakan semacam ini tak terjadi lagi pada masa mendatang.

Padahal, konon, Persija sudah mengantongi semua persyaratan untuk menggelar laga kandang di SUGBK. Tak hanya ongkos sewanya, tapi juga katebelece dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault yang mengizinkan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan bermain di Senayan.

Jika dukungan dari pejabat sekelas Menegpora pun tak cukup untuk menerbitkan izin pertandingan, lalu apa jadinya kompetisi ISL 2008/2009? Penundaan demi penundaan yang dialami Persija –dan mungkin tim-tim lain, kelak— akan membuat BLI kelimpungan menyusun ulang jadwal pertandingan. Belum lagi benturan dengan agenda politik semacam Pilkada dan akhirnya Pemilu (legislatif) 2009, 9 April mendatang.

Bagi saya, ini bukan lagi persoalan diakui atau tidak diakuinya eksistensi Persija di Ibukota. Dengan perspektif yang lebih luas, penolakan ini harus dibaca pula sebagai isyarat ketidaknyamanan atau ketidakpuasan Pemerintah –dalam hal ini Polri selaku aparatur keamanan— terhadap penyelenggaraan kompetisi sepak bola di Tanah Air.

Di mata pihak kepolisian, ISL 2008/2009 yang mengusung semangat profesionalisme itu dianggap belum beranjak dari paradigma lama. Masih rawan tawuran, rawan bentrokan antarsuporter, dan berpotensi mengganggu ketenteraman umum.

Saya kira, tidak adil jika Persija atau tim manapun yang mengalaminya dibiarkan sendirian menghadapi persoalan ini. Sudah sepantasnya BLI juga ikut turun tangan membantu meyakinkan pihak berwajib. Lebih dari itu, BLI juga harus bisa membangun saling pengertian baru di kalangan semua peserta ISL agar masing-masing tim lebih mampu mengendalikan suporternya.

Jangan anggap enteng penolakan terhadap Persija ini sebagai permasalahan internal yang harus diselesaikan sendiri oleh “Tim Macan Kemayoran”. Tanpa penanganan yang memadai, penolakan serupa kelak bisa dialami juga oleh tim-tim lain di daerahnya masing-masing. Secara hukum, toh presedennya sudah ada dalam kasus Persija. Dan jika itu terus terjadi, tak mustahil ISL bisa kolaps di tengah jalan. *

“Ketakutan” Harry, Kekuatan BLI

ADA sebuah peristiwa menarik terjadi di Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu. Manajer Persitara Jakarta Utara, Harry Ruswanto, terpaksa berurusan dengan aparat kepolisian (Polres Kabupaten Bandung) seusai timnya menjamu Persela Lamongan di Stadion Si Jalak Harupat, Minggu (20/7) lalu.

Padahal, tak ada kerusuhan atau aksi anarkis mengiringi partai kandang Persitara di “pengasingan” itu. Pertandingan berjalan aman-aman saja, meski Hariman Siregar dan kawan-kawan dipaksa bermain imbang oleh tamunya.

Harry rupanya bertindak “nekat”. Meski tidak mendapat izin dari aparat keamanan setempat, ia tetap menggelar pertandingan. Akibatnya, usai pertandingan, Gendhar –panggilan akrabnya— bersama pengurus Persitara lainnya langsung digelandang ke Mapolres guna dimintai keterangan. Untung saja, mereka tidak ditahan dan hanya dikenai wajib lapor.

Usut punya usut, akar kasus ini rupanya masalah finansial. Pengelola stadion milik Pemkab Bandung itu keberatan Persitara menggelar pertandingan sebelum melunasi ongkos sewa laga sebelumnya.

Dan ini hanya salah satu dari segunung persoalan finansial yang dihadapi “Si Pitung” –julukan tim dari pinggiran Ibukota itu. Uang panjar kontrak sebagian besar pemainnya belum dilunasi dan mereka pun nyaris tak punya cadangan dana untuk membiayai laga tandang.

Namun demikian, konon, biaya sewa itu sebenarnya sudah dilunasi pada Jumat (18/7) siang. Namun pihak kepolisian terlanjur mengeluarkan surat larangan dan Persitara mungkin lalai mengkomunikasikannya dengan pihak berwajib. Sehingga terpaksalah Harry yang jadi tumbal dan harus berurusan dengan pihak berwajib.

Bagi saya, yang paling menarik dari peristiwa ini bukanlah perkara sewa-menyewa Si Jalak Harupat itu. Saya lebih terkesima melihat keberanian Harry terus menggelar laga tersebut. Ia mengaku lebih memilih risiko berhadapan dengan ancaman penjara ketimbang mendapat hukuman dari Komdis dan timnya terkena degradasi (TopSkor, 21/7).

Di satu sisi, keberanian Harry menunjukkan tanggungjawabnya yang besar terhadap Persitara –tim yang telah dia besarkan dan ikut membesarkan namanya. Namun, di sisi lain, keberanian Harry itu sekaligus menunjukkan besarnya “ketakutan” pengurus klub terhadap Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) selaku operator ISL 2008/2009.

Bagi saya, “ketakutan” Harry terhadap BLI adalah sesuatu yang positif. Itu menunjukkan betapa kuatnya legitimasi dan kewenangan BLI selaku otoritas penyelenggara kompetisi kasta tertinggi di Indonesia.

Kuatnya legitimasi dan kewenangan BLI mutlak dibutuhkan untuk membangun kompetisi yang profesional dan berkualitas. Dengan memiliki BLI yang kuat, aturan main jadi lebih mudah ditegakkan, interaksi antara klub dan operator kompetisi jadi kondusif, dan tak ada lagi mekanisme “saling gertak” dalam setiap penyelesaian masalah.

Bahkan, bagi sejumlah klub tertentu, “kekuasaan” BLI kini sudah lebih dari itu. Sehingga, konon, ada segelintir klub Divisi Utama yang ikhlas “memasrahkan” semua urusannya. Dari penunjukan pelatih, perekrutan pemain, pemilihan agen pemain asing, sampai urusan tetek-bengek lainnya.

Mudah-mudahan rumor di atas sekadar isapan jempol. Dan, kalaupun benar ada, moga-moga saja itu sekadar perilaku individual oknum pengurus BLI yang disalahpahami oleh segelintir pengurus klub yang mencoba “cari aman” dengan menempuh jalan pintas.

Bagi saya, kuatnya legitimasi dan kewenangan BLI tetap penting pada periode transisi menuju ISL yang sepenuhnya profesional. Sama seperti pertandingan sepak bola itu sendiri butuh wasit yang kuat legitimasinya agar pertandingan bisa berjalan tanpa hambatan.

Mudah-mudahan saja, dengan modal legitimasi yang kuat itu, pelan-pelan BLI mulai bisa memainkan perannya sebagai “wasit” yang adil bagi semua klub peserta kompetisi. Lebih dari itu, semoga BLI pun bisa menjadi inisiator dan pendorong modernisasi pengelolaan klub sepak bola di Tanah Air. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor edisi Senin, 28 Juli 2008)

Senin, Juli 28, 2008

Ronaldinho dan “Ritual” Olimpiade

JIKA Anda ke Singapura sekarang ini, mungkin beruntung bisa melihat aksi-aksi Ronaldinho. Tak hanya saat berlatih tapi dalam pertandingan sebenarnya menghadapi tim nasional Singapura, petang hari ini.

Bahkan jika Anda menginap di Hotel Mandarin Oriental yang mewah mungkin sempat sarapan bareng bintang yang “murah senyum” itu. Konon, Ronaldinho dan rekan-rekan setimnya sangat menyukai feijao –sejenis kacang merah khas Brasil. Sehingga pihak hotel harus mengimpornya langsung dari “Negeri Samba” agar selera makan para pemain tak menurun.

AC Milan maupun Barcelona –klub Ronaldinho musim lalu— memang tak punya jadwal melawat ke negeri jiran itu. Yang sedang berkunjung ke Malaysia, tetangga Singapura, justru Chelsea yang pernah ingin meminang Ronaldinho namun kemudian menarik diri.

Namun demikian, Singapura beruntung jadi negeri persinggahan tim nasional Brasil U-23 dalam rangkaian persiapan menuju Olimpiade Beijing yang digelar pada 6-23 Agustus. Bahkan “Tim Samba” muda itu menetap selama sepekan penuh di Singapura dalam rangka aklimatisasi cuaca.

Tapi apa urusannya Ronaldinho, 28 tahun, dengan tim Brasil U-23? Rupanya, ia bersama Thiago Silva (Fluminense) menjadi pemain senior yang memang disisipkan untuk meramaikan persaingan.

Kita tahu, Brasil belum pernah merebut medali emas di pesta olahraga sejagat itu. Dan pelatih Dunga tak pernah segan mengungkapkan tekadnya merebut satu-satunya gelar yang belum pernah diraih “Tim Samba” itu. Makanya, ia merasa perlu memasukkan pemain sekaliber Ronaldinho dalam skuatnya.

Dari segi gengsi, emas Olimpiade mungkin masih kalah dibanding gelar juara dunia. Apalagi bagi Ronaldinho yang sudah merasakan hampir semuanya: juara dunia 2002, juara Copa America 1999, juara Liga Champions 2005/2006, dan Pemain Terbaik Dunia 2004-2005. Namun mengapa ia masih mau juga ke Beijing dan bermain dengan “adik-adiknya”?

Ini memang bukan masalah gengsi. Sekarang ini, tampil di Olimpiade seperti sudah menjadi “ritual” tersendiri bagi para pemain bintang untuk menyempurnakan catatan kariernya. Rasanya tak lengkap gantung sepatu tanpa pernah meraih medali emas –minimal tampil— di Olimpiade.

Motivasi itulah yang membuat Ronaldinho begitu bersemangat ikut ke Beijing. Bahkan antusiasme itu sudah ditunjukkannya selama menjalani hari-hari kelabu di Camp Nou sepanjang musim lalu.

Dan antusiasme membela negara di pentas Olimpiade itu tak hanya milik Ronaldinho. Sikap serupa ditunjukkan Javier Mascherano (Argentina) dan Ryan Babel (Belanda), meski mereka sadar keputusan mereka mengecewakan pelatih Liverpool, Rafael Benitez. Juga ditunjukkan oleh pemain veteran sekaliber Roy Makaay yang akan menjadi “mentor” bagi “Tim Oranye” muda di Beijing.

Dalam berbagai kasus, kengototan pemain ikut Olimpiade bahkan kerap jadi masalah bagi klubnya. Seperti kasus dua bintang Brasil, Diego dan Rafinha, yang nekat tetap ke Beijing meski tak diizinkan klubnya, Werder Bremen dan Schalke. Alhasil, kasus ini besar kemungkinan harus diselesaikan di pengadilan arbitrase.

Benarkah sikap Ronaldinho dan kawan-kawan mencerminkan egoisme pribadi dan kurangnya rasa tanggung jawab mereka terhadap klub? Bukankah klub yang membayar gaji mereka dan Olimpiade bukan kejuaraan yang masuk kalender kegiatan FIFA?

Menurut saya, ini bukanlah persoalan ego atau profesionalisme. Ini lebih dekat dengan persoalan komitmen dan sikap patriotisme. Dan ini sama sekali bukan patriotisme yang melampaui batas. Sebab, bagi sebagian besar pemain, kesempatan tampil di Olimpiade mungkin hanya datang 1-2 kali sepanjang karier mereka. Alangkah bijaknya jika klub-klub merelakan saja kepergian Ronaldinho dan kawan-kawan seraya berharap mereka pulang tanpa cedera.

Ya, saat ini problematika semacam ini mungkin belum jadi persoalan kita. Tapi, suatu saat nanti, generasi setelah Bambang Pamungkas mungkin akan mengalaminya. Nah, saat masalah itu kelak datang, moga-moga kita sudah tahu bagaimana menyikapinya. *

Mari Mempercayai Wasit Kita

(Demi Liga Indonesia yang Bermartabat)


APA masalah paling memprihatinkan di kompetisi sepak bola kita? Anda mungkin punya jawaban sendiri. Tapi, bagi saya, yang paling bikin prihatin adalah ketidaksiapan semua pihak untuk menerima kekalahan dengan lapang dada.

Ada banyak argumen pernah dikemukakan para pakar maupun pengamat. Sebagian mengaitkannya dengan euforia demokrasi pascareformasi yang membuat setiap orang melihat dirinya sebagai pemenang. Dan oleh sebab itu enggan dikalahkan dalam bidang apapun: sepak bola, bisnis, atau pemilihan walikota, misalnya.

Penolakan terhadap kekalahan semakin menguat ketika individu-individu berkumpul bersama jadi sebuah kelompok –entah itu Aremania, Bonek, Jakmania, atau Viking. Mereka makin tak siap menerima rasa sakit berupa kekalahan timnya. Kemenangan berubah jadi semacam keniscayaan –terutama untuk pertandingan kandang.

Ada juga yang mengaitkan sikap “ogah kalah” itu dengan kematangan berdemokrasi yang belum kita miliki. Setelah lebih tiga dekade dalam pasungan Orde Baru, kita dianggap baru melek dan belajar berdemokrasi dalam satu windu terakhir ini. Alhasil, kita masih gagap menerjemahkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Ogah kalah hanya salah satu bentuk kegagapan itu.

Saya yakin masih banyak lagi argumen lain yang mendasari munculnya sikap tak mau kalah itu. Namun, apapun alasannya, sikap negatif semacam itu telah membuat pertandingan Liga Indonesia kerap melenceng jadi tindak anarki yang mencemaskan publik

Yang menarik, ada satu unsur pertandingan yang hampir selalu dituding sebagai “kambing hitam” oleh pihak-pihak yang kalah: wasit! Coba saja baca koran yang menulis laporan sebuah pertandingan, hampir selalu “dilengkapi” komentar miring pihak yang kalah tentang kepemimpinan wasit.

Saya hampir tak pernah membaca komentar pelatih atau manajer tim yang kalah memuji kepemimpinan wasit. Tak peduli wasit memimpin dengan jeli atau tidak, penilaian yang ia dapat selalu seragan: memihak tuan rumah.

Saya khawatir ketidakpercayaan yang prejudice itu terus terbawa pada babak 8 Besar. Padahal, tensi pertandingan di tahapan ini jauh lebih tinggi dibanding saat kompetisi tingkat wilayah. Bahkan juga sangat potensial melibatkan massa penonton jauh lebih banyak –juga berpotensi lebih beringas, tentunya.

Psikologi massa suporter kita masih banyak dipengaruhi nilai-nilai patrimonialisme. Apapun pendapat tokoh, pengurus, dan bintang andalan timnya kerap begitu saja mereka telan sebagai kebenaran. Tanpa proses mencerna, mengendapkan, dan mengkajinya secara mendalam.

Mentalitas semacam ini jelas berbahaya dalam konteks babak 8 Besar ini. Setiap kali manajer atau pelatih menuding wasit curang –bahkan menunjukkannya langsung di lapangan, maka suporter akan segera mempercayainya. Kompensasinya, mereka kemudian berbuat anarkis pascapertandingan atau mencemooh wasit pada pertandingan selanjutnya.

Kalau itu benar-benar terjadi, maka perhelatan 8 Besar bisa sia-sia belaka. Tujuan melahirkan kompetisi yang bermutu sudah lama kita sadari masih jauh panggang dari asap. Target pembinaan pun tak tercapai karena proses regenerasi macet.

Bahkan yang terbentuk justru stigma-stigma nan memprihatinkan: kompetisi kacau-balau, wasit bisa dibeli, pengurus ikut bermain, juaranya sudah diatur, dan seterusnya. Itulah efek bola salju yang tanpa sengaja dibangun oleh para pelaku kompetisi itu sendiri –pemain, pelatih, pengelola klub, pengurus, dan lain-lain.

Bukan bermaksud menggampangkan persoalan ini. Namun, menurut saya, persoalan ini bukannya tak bisa diatasi. Setidaknya, kita bisa mencoba mulai saat ini juga mengatasinya. Caranya: berikan kepercayaan sepenuhnya kepada wasit untuk benar-benar jadi “pengadil” di lapangan hijau.

Supaya wasit benar-benar jadi “pengadil” yang mandiri, biarkan mereka menjalankan tugasnya tanpa beban, tanpa prasangka, dan tanpa “titipan” ini-itu. Lalu, sesudah pertandingan berakhir, mari kita sama-sama menerima hasilnya dengan lapang dada. Tanpa menuding wasit begini atau begitu. Kalau perlu, jatuhkan sanksi keras bagi pelatih atau manajer yang berkomentar negatif tentang kepemimpinan wasit.

Untuk bisa seperti itu, sebetulnya, dengan mudah kita bisa memanggil wasit asing. Niscaya pemain, pelatih, dan para manajer tim Liga Indonesia tak akan curiga lagi. Masalahnya, duitnya –konon— tak ada. Selain itu, kalau apa-apa harus diselesaikan oleh pihak asing, kita tak akan pernah lulus dari status belajar berdemokrasi dan belenggu euforia reformasi. Jadi, mari kita mulai memberi kepercayaan penuh kepada para wasit kita!

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor)

Jumat, Juli 25, 2008

Tajam di Depan, Rapuh di Belakang

(Evaluasi Kemenangan atas Selandia Baru)

NONTON pertandingan Indonesia lawan Selandia Baru, kemarin (24/7) sore? Anda mungkin termasuk yang bernasib seperti saya –cuma bisa nonton di layar kaca karena kesibukan dan tuntutan pekerjaan.

Mau bilang apalagi, pertandingan tengah pekan seperti itu kok digelar sore hari. Padahal, biasanya, sengaja dipilih usai jam kerja biar penonton lebih banyak yang bisa hadir di stadion. Tak usah heran jika Stadion Utama Gelora Bung Karno kemarin tampak cukup sepi.

Terlepas dari sepinya penonton, bagaimana Anda menilai penampilan tim asuhan Benny “Bendol” Dollo yang unggul 2-1? Kalau Anda mengaku puas, berarti seirama dengan pengakuan sang pelatih seusai pertandingan.

Wajar saja kalau Bendol senang sebab kali ini tim asuhannya bisa mencetak lebih dari satu gol. Dan pencetak golnya pun tidak melulu Bambang Pamungkas. Meski kali ini sang striker andalan tetap konsisten menyumbang gol –yang kedua setelah gol pembuka oleh M. Ilham.

Saya sendiri juga senang melihat penampilan Bambang dan kawan-kawan. Khususnya dari segi ketajaman dan variasi serangan yang mereka suguhkan. Saya kira, Bendol cukup berhasil mengekspoitasi kelebihan masing-masing pemain.

Ellie Aiboy, seperti biasa, dibebaskan menjelajahi sayap kanan dengan mengandalkan kecepatan dan kelincahannya. Budi Sudarsono juga diberi ruang yang cukup untuk “bermain dengan bola” di sayap kiri.

Sementara Firman “Si Anak Emas” Utina memainkan peran bak Steven Gerrard di Liverpool. Menjemput bola, mengalirkan ke depan, dan tiba-tiba muncul di kotak penalti dengan tendangan kerasnya. Saya kira, wajar jika Bendol sangat menyukai permainan Firman dan memberinya kepercayaan penuh di tim apapun yang dia tangani.

Tapi, sayangnya, kemajuan dari sektor tengah ke depan itu tak diimbangi sektor tengah ke belakang. Pos gelandang bertahan dan kuartet lini belakang malah jadi titik lemah tim kesayangan kita.

Bukan bermaksud apriori. Tapi sudah setahun terakhir ini saya melihat Ponaryo Astaman bukan lagi orang yang tepat untuk mengisi posisi holding midfielder “Tim Merah Putih”. Ia tak lagi cukup gesit dalam berebut bola, sering salah umpan yang elementer, bahkan sering terlihat “kurang terlibat” dalam permainan.

Yang tersisa dari Ponaryo tinggal pengalaman dan kharismanya. Sebagai gelandang jangkar, saya mungkin lebih memilih nama-nama lain: Syamsul Chaerudin, Legimin Raharjo, atau Hariono.

Tapi yang lebih mencemaskan dalam laga kemarin adalah rapuhnya barisan belakang. Bahkan, menjelang akhir babak kedua, berkali-kali kiper Markus Harison seperti “ditodong” harus berhadapan dengan striker lawan yang siap menyundul bola di depan gawangnya.

Agak mengherankan juga melihat umpan-umpan silang para pemain Selandia Baru begitu mudah jatuh di belakang pertahanan kita. Seperti tak ada filter dan barikade yang menghalangi. Kalau saja anak-anak muda “Negeri Kiwi” itu lebih tenang, mungkin gawang Markus bocor lebih dari sekali.

Walaupun demikian, saya tetap salut untuk sikap konsisten Bendol memberi ruang bagi wajah-wajah baru yang sedang “in” di kompetisi liga, seperti Ilham. Tapi, di sisi lain, ia juga konsisten mempertahankan kerangka tim dengan Charis Yulianto, Firman, dan Bambang sebagai porosnya.

Pada akhirnya, kita juga perlu mengacungkan jempol untuk Bambang dan kawan-kawan. Di tengah ketatnya kompetisi ISL 2008/2009 yang baru bergulir, toh mereka tetap menyediakan waktu dan tenaga untuk tim nasional. Tetap semangat! *

Jerman “Tanpa” Gelandang Jangkar

(Bedah Teknis Piala Dunia 2006)


HARI ini, Jerman akan memulai perjalanan berat memburu gelar juara dunia keempat kalinya –setelah 1954, 1974, dan 1990. Di Allianz Arena, Muenchen, pasukan tuan rumah akan tampil dalam partai pembukaan melawan tim anak bawang Kosta Rika.

Setelah berbulan-bulan persiapan panjang dan berminggu-minggu pemusatan latihan yang melelahkan, tibalah waktunya bagi Juergen Klinsmann memperlihatkan hasil polesannya. Lalu, akan seperti apa kiranya tim hasil racikan mantan penyerang andal yang dulu sering dikritik gemar melakukan diving itu?

Rasanya, tak banyak kejutan yang bisa kita harapkan dari penampilan perdana Jerman di partai pembukaan Piala Dunia 2006. Boleh jadi karena ia telah memperlihatkan hampir semua “kartunya” selama rangkaian uji coba menjelang putaran final.

Lewat tayangan pertandingan lawan Amerika Serikat, Iran, Luksemburg, dan Kolombia kita sudah bisa melihat bahwa Klinsmann telah mantap memainkan pola 4-1-3-2. Sebuah varian yang berbasis pada pola klasik 4-4-2 yang kini kembali populer di pentas sepak bola dunia. Menggeser pola 3-5-2 yang sempat sukses membawa Jerman juara dunia, 16 tahun lalu, pada era kepelatihan Franz Beckenbauer.

Hanya saja, varian 4-1-3-2 racikan Klinsmann tak bisa disamakan begitu saja dengan 4-4-2 versi Prancis, Kroasia, atau Korea Selatan. Yang lebih mirip dengan varian 4-1-3-2-nya Jerman justru tim asuhan Sven Goran Eriksson, Inggris.

Konsep permainan yang dikembangkan Klinsmann bersandar pada taktik empat bek sejajar tanpa libero murni. Lalu, di lini tengah, ditempatkan seorang pemain jangkar yang menopang tiga gelandang bernaluri menyerang –tanpa sayap murni. Adapun barisan depannya merupakan kombinasi antara seorang target man dan satu penyerang yang ditugasi masuk-keluar kotak penalti lawan secara aktif.

Meskipun bergeser dari pola dasar 3-5-2 warisan Beckenbauer, namun sebenarnya ada satu ide yang hendak dipertahankan Klinsmann. Ide itu menyangkut posisi pemain jangkar di lini tengah yang bisa juga dibaca sebagai fungsi gelandang bertahan atau mungkin libero midfielder.

Pada era Beckenbauer, peran pemain jangkar itu dilakoni sangat baik oleh Hans Peter Briegel dan kemudian Lothar Matthaus. Dieter Eilts mengambil-alih tongkat estafet dari tangan Matthaus dan Briegel saat membawa Jerman juara Piala Eropa 1996.

Baik Briegel maupun Eilts sama-sama memiliki karakteristik permainan bertahan yang sangat kuat: disiplin di posisinya, tak mudah kalah dalam perebutan bola, tackle-nya keras, kuat dalam perebutan bola atas, dan staminanya bak tenaga kuda. Itu yang membuat lini tengah Jerman dulu begitu disegani dan sulit ditandingi.

***

DALAM tim asuhan Klinsmann saat ini, peran sebagai pemain jangkar itu tak pernah jelas betul menjadi tanggung jawab siapa. Meskipun susunan nama-nama pengisi lini tengah tak pernah jauh bergeser dari Bernd Schneider, Michael Ballack, Torsten Frings, dan Bastian Schweinsteiger. Tapi siapa yang menjadi pewaris posisi Briegel dan Eilts?

Jelas bukan Schneider karena ia sosok gelandang lincah yang biasa beroperasi di sayap kanan. Kalaupun main di tengah, ia lebih pas bermain sebagai gelandang serang di belakang duet penyerang. Juga bukan Schweinsteiger karena gelandang Bayern Muenchen ini terbiasa main agak melebar dan biasa meneror kiper lawan dengan tendangan jarak jauhnya yang menggeledek.

Maka, pilihannya tinggal Ballack dan Frings. Meskipun, boleh jadi, Klinsmann mungkin sering menugaskan keduanya memikul tugas itu secara bersama-sama.

Masalahnya, meski seorang gelandang, Ballack adalah salah satu tumpuan harapan Jerman untuk urusan mencetak gol. Kebetulan pula ia memiliki tendangan yang keras dan terarah serta piawai dalam duel bola atas. Apalagi naluri menyerangnya juga sangat menonjol sehingga ia seringkali tampak berkeliaran di sekitar kotak penalti ketika muncul kemelut di area pertahanan lawan.

Tak bisa lain, peran sebagai pemain jangkar itu memang lebih banyak harus dipikul Frings. Ia dituntut selalu menempatkan diri sebagai filter sebelum serangan lawan memasuki daerah pertahanan Jerman. Ia juga diharapkan selalu menahan diri untuk tidak latah ikut-ikutan naik membantu serangan. Lebih daripada itu, ia pun harus cukup kuat untuk tidak mudah kalah dalam perebutan bola di seputar garis tengah.

Nah, menurut saya, di situlah pokok soalnya. Frings memang salah satu gelandang terbaik Jerman saat ini –selain Ballack, tentunya. Gelandang Werder Bremen ini juga sudah menjadi salah satu pilar “Tim Panser” sejak Piala Dunia 2002.

Hanya saja, Frings sama sekali bukan sosok seperti Briegel atau Eilts. Frings bahkan seperti duplikat Ballack dalam derajat yang sedikit berbeda. Daya jelajahnya luas, berani berduel, dan lumayan haus gol. Makanya, pada Piala Dunia 2002, Rudi Voller lebih suka menempatkannya sebagai gelandang kanan atau kiri.

Itulah yang kemudian jadi soal. Karakter permainan Frings yang ofensif sering membuat lini tengah Jerman seperti berlubang dan mudah disusupi pemain lawan dari lini kedua. Apalagi, kalaupun sedang disiplin menjaga posisinya, kemampuan bertahan Frings bisa dibilang tak begitu kokoh.

Faktor Frings inilah, menurut saya, yang membuat pertahanan Jerman jadi sering tampak rapuh. Karena kuartet barisan belakang seringkali harus langsung menghadapi serangan lawan tanpa bala bantuan dari lini tengah –seperti selalu dilakukan Briegel dan Eilts dulu. Ditambah lagi dengan konsep empat bek yang praktis berdiri sejajar, makin mudah bagi lawan mencari ruang untuk melakukan gebrakan dan terobosan.

Saya kira, inilah alasan yang membuat Ballack mengeluhkan keseimbangan permainan timnya yang terlalu berat ke sektor depan. Itu membuatnya jadi sering ragu antara harus maju membantu serangan atau bermain lebih ke belakang menolong Frings.

Mungkin akan lebih pas jika posisi Frings itu ditempati Sebastian Kehl yang lebih kuat kemampuan bertahannya. Bahkan, bagi saya, juga lebih cocok jika diisi oleh Frank Baumann –gelandang Bremen yang tak terpilih masuk skuad Jerman. Sebab kedisiplinan dan daya bertahan mereka yang tinggi akan membuat keseimbangan permainan tim lebih terjaga. Dan Ballack jadi lebih leluasa mengeksplorasi daya gedornya.

Klinsmann tentu punya pertimbangan sendiri di balik keputusannya mencoret Baumann dan lebih memilih Frings ketimbang Kehl. Tapi, jika penampilan Jerman di putaran final nanti tetap tak lebih baik dibanding selama masa uji coba, lemahnya fungsi gelandang jangkar itulah –salah satu— penyebabnya. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Juni 2006)

Rabu, Juli 23, 2008

Benarkah Maradona yang Terbaik?

PAOLO Maldini membuat pernyataan menarik, Senin (21/7) lalu. Ia mengatakan bahwa Diego Armando Maradona adalah pemain terhebat yang pernah dia hadapi. Tak jauh di belakangnya, ada nama Ronaldo –bukan Cristiano Ronaldo yang sekarang membela Manchester United.

Pernyataan Maldini tersebut sangat menarik. Sebab orang yang dipujinya setinggi langit itu pernah jadi “musuh nomor satu Italia” usai Piala Dunia 1990. Dan Maradona itu pula yang membawa Napoli mengusik dominasi AC Milan dan Juventus di ajang Seri A pada akhir dekade 1980-an.

Lebih menarik lagi karena Maldini menempatkan Ronaldo –mantan striker Inter Milan— di belakang Maradona. Padahal, Milan sendiri punya para bintang legendaris sekelas Marco van Basten, Ruud Gullit, Franco Baresi, atau Dejan Savicevic yang semuanya pernah mencicipi gelar Seri A maupun Liga Champions. Ronaldo justru tak sekalipun merasakannya.

Itulah kebesaran Maldini. Ketajaman daya pikirnya itulah yang membuatnya mampu bertahan di tengah kerasnya kompetisi Seri A hingga 24 tahun. Itu pula yang membuatnya diakui sebagai salah satu pemain belakang terbaik sepanjang masa.

Tapi, permasalahannya, apa benar Maradona layak mendapatkan predikat terbaik itu? Sebagian orang mungkin lebih memilih Pele yang berjaya pada era 1960 dan 1970-an. Sebagian lagi mungkin menyebut George Best, Michel Platini, Franz Beckenbauer, Johan Cruyff, Kenny Dalglish, Zinedine Zidane, Cristiano Ronaldo, atau bahkan Fernando Torres.

Saya pun jadi teringat tulisan saya di majalah Matra, sekitar delapan tahun silam. Saat itu, saya diminta membuat perbandingan siapa yang terbaik di antara Pele dan Maradona. Isu ini jadi menarik menyusul kontroversi pemilihan Pemain Terbaik Abad XX. Kala itu, jajak pendapat via internet menujukkan keunggulan Maradona, tapi “tim ahli” FIFA lebih condong kepada Pele.

Melalui analisis teknis dan nonteknis, akhirnya saya berkesimpulan bahwa Maradona yang terbaik. Alasannya sederhana saja. Secara teknis, kedua pemain ini sama hebatnya. Prestasi mereka pun tak beda jauh.

Bedanya, menurut saya, Pele dikelilingi oleh para pemain hebat yang membuat suksesnya bersama “Tim Samba” seolah jadi sebuah keniscayaan belaka. Dengan dukungan pemain sekelas Mario Zagallo, Garrincha, atau Rivelino rasanya wajar sekali Pele bisa meraih semua kejayaan itu.

Beda dengan Maradona. Ia meraih berbagai prestasi hebat bersama tim yang kualitasnya “biasa”. Skuat Napoli saat juara Seri A 1986/1987 dan 1989/1990 masih kalah mentereng dibanding Milan atau Juventus. Pemain Argentina pada Piala Dunia 1986 yang terbilang bagus pun praktis hanya Jorge Valdano.

Itulah yang membuat Maradona jadi istimewa. Dengan segala keterbatasan –termasuk postur dan gaya hidupnya, ia tetap bisa menginspirasi dan memimpin orang-orang di sekitarnya untuk meraih kejayaan.

Jadi, pujian Maldini terhadap Maradona memang beralasan. Apalagi ia pernah berhadapan langsung di lapangan hijau dengan “si bogel” yang jenius itu. Tapi kejernihan pandangan Maldini tentang mantan rivalnya itu sekaligus menggambarkan pula kebesaran dia sebagai pribadi maupun pemain. Saluto Paolo! *

Liga Super dengan Persoalan Lama

SEPEKAN sudah kita menikmati sajian baru kompetisi sepak bola nasional dengan nama yang sangat keren: Indonesia Super League (ISL) 2008. Inilah kompetisi yang digadang-gadang sebagai liga profesional yang sebenarnya di Tanah Air.

Setelah sepekan berjalan, sejumlah pertanyaan, kritik, dan keraguan mulai mengalir. Dimulai dengan pertanyaan sederhana: mengapa ISL? Ya, saya setuju. Mengapa para petinggi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) tak berani memakai nama “Liga Super Indonesia” (LSI) yang lebih membumi?

Sulit diterima jika alasannya karena sponsor. Bahkan untuk persoalan nama yang sangat prinsip, mengapa BLI tak punya daya tawar terhadap sponsor? Toh terselipnya kata “super” di tengah nama LSI sudah cukup mewakili eksistensi penyandang dana kompetisi yang diikuti 18 klub ini. ISL ataupun LSI mestinya jadi hak BLI untuk memutuskan.

Kritik serupa pernah saya sampaikan ketika mendengar lahirnya Indonesian Futsal League –mengapa bukan Liga Futsal Indonesia? Bahkan saya juga termasuk yang kecewa berat liga basket kita ngotot mempertahankan nama Indonesian Basketball League –bukannya Liga Basket Indonesia. Saya berkeyakinan bahwa rasa bangga terhadap bahasa dan produk nasional mestinya juga ditumbuhkan di kalangan olahraga.

Lepas dari soal nama, sepekan ISL berjalan ternyata belum menjanjikan perubahan yang signifikan dibanding Liga Indonesia musim-musim sebelumnya. Padahal, dengan persiapan begitu panjang dan seleksi sangat ketat, mestinya bisa lahir sebuah liga baru yang jauh lebih berbobot.

Faktanya, kita masih melihat bus tim Persija dilempari batu sampai kacanya berantakan saat menghadapi Persitara di Soreang. Warisan permusuhan Viking dan Jakmania yang merebak pada era Liga Indonesia ternyata dibiarkan begitu saja. Tak ada sikap mental baru yang coba ditumbuhkan oleh BLI maupun masing-masing pengurus tim saat melangkah memasuki panggung megah ISL 2008.

Kita juga masih melihat aksi pemain Pelita, Yohan Ibo, pada penampilan perdana timnya di Stadion Si Jalak Harupat. Terekam jelas dalam jepretan kamera bagaimana Ibo begitu “percaya diri” mengancam Robert Gaspar. Bahkan ia sempat dua kali melancarkan serangan kepada pemain asing Persiba Balikpapan itu.

Tak hanya mental para suporter yang luput dibenahi. Bahkan klub-klub tampaknya juga tak sempat menyuntikkan sikap mental baru kepada para pemain yang berkiprah di kasta tertinggi sepak bola nasional ini.

Namun yang paling menyedihkan adalah pemandangan suasana Si Jalak Harupat saat Persitara menjamu Persija. Begitu juga ketika “tuan rumah” Persita Tangerang meladeni Arema di Soreang. Bahkan juga saat PSMS Medan menjamu Persiwa Wamena di Stadion Gelora Bung Karno yang megah.

Saya tak habis bertanya dalam hati, benarkah saya sedang menyaksikan sebuah pertandingan berkualitas “super”? Kalau iya, kok penontonnya sepi. Ke mana riuh-rendah, yel-yel, dan lagu-lagu dukungan untuk para pemain di lapangan?

Ada atau tak ada penonton, siaran langsungnya memang tetap heboh. Bahkan frekuensi siaran langsung ISL 2008 mungkin lebih intens ketimbang Liga Primer, La Liga, atau Seri A.

Namun bukan itu duduk soalnya. Tanpa kemeriahan penonton, dari mana klub mendapat pemasukan untuk menggaji pemain? Bagaimana klub bisa menggaet sponsor jika suporternya sepi? Padahal, tiket masuk dan sponsor –plus hak siar televisi— itulah pilar utama pendaaan tim setelah lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59/2007 yang melarang APBD jadi sumber dana klub.

Ini situasi yang tak bisa dibiarkan dan harus segera dicarikan solusinya. Tanpa penanganan serius, saya tak akan kaget jika ada klub yang akhirnya terpaksa mundur di tengah jalan. Dan itu akan jadi preseden buruk yang sangat merugikan bagi kelangsungan hidup ISL itu sendiri.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian TopSkor Edisi 21 Juli 2008

Senin, Juli 21, 2008

Dua Sisi Bobotoh Persib

ADA kekecewaan yang menyelinap di dada saya menyaksikan duel Persib lawan Persija di Stadion Siliwangi, Minggu (20/7) malam lalu. Namun itu bukan soal kekalahan 2-3 yang harus diterima Persib sebagai tuan rumah dari tamunya yang notabene seteru bebuyutan mereka.

Yang lebih menyita perhatian saya adalah aksi bobotoh Persib! Ya, bobotoh Persib telah menunjukkan dua sikap yang kontradiktif dalam duel menegangkan ini. Di satu sisi, mereka mengawali laga ini dengan sikap yang sangat terpuji. Namun –sangat disayangkan— kemudian mengakhirinya dengan cara yang kurang elegan.

Duel Persib lawan Persija ini memang mendapat perhatian khusus dari para bobotoh. Khususnya, sejak insiden pelemparan bus Persija saat menjalani laga tandang lawan Persitara di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, pekan sebelumnya.

Makanya, untuk mencegah terulangnya aksi anarkis, rombongan pemain kedua kesebelasan disatukan dalam bus yang sama. Dikawal sekelompok bobotoh senior, kedua kesebelasan akhirnya tiba dengan selamat pada pukul 17.40 WIB di Stadion Siliwangi.

Sebagian bobotoh memang masih melontarkan kata-kata kasar kepada pemain Persija. Namun lebih banyak lagi yang menyikapinya dengan melambaikan tangan kepada para pemain kesayangan mereka.

Sewaktu bus yang mengangkut kedua kesebelasan hendak memasuki stadion melalui pintu samping utara, sempat terjadi insiden kecil. Bus terhalang selama 15 menit oleh bobotoh yang berkerumun di depan pintu. Namun situasi bisa diatasi pihak kepolisian dari Polwiltabes Bandung yang menurunkan mobil rantis dan satu unit monil antihuru-hara tipe Baracuda.

Stadion Siliwangi pun, untuk sementara, jadi terasa tenang. Padahal, suporter Persib tak hanya memadati Siliwangi. Kerumunan suporter juga menyemut di Jl Lombok, Jl Aceh, dan Jl Manado. Mereka yang berkerumun di seputaran stadion ini adalah para suporter yang tidak mendapatkan tiket.

Sayangnya, situasi kondusif itu hanya berlangsung hingga menit ke-86. Terhitung sejak Hilton Moreira gagal memanfaatkan eksekusi penalti, keadaaan jadi berbalik. Kerusuhan pecah dan memaksa pertandingan terhenti. Meski akhirnya bisa juga diselesaikan.

Sedih rasanya melihat semua ini terjadi. Padahal, sejak lama saya merindukan terciptanya rekonsiliasi dan perdamaian di antara kelompok-kelompok besar suporter kita. Dan harapan saya sempat meninggi seiring terciptanya suasana awal yang kondusif di Siliwangi.

Tapi saya sama sekali tidak kecil hati. Bahkan saya tetap optimistis mengingat Liga Super baru saja dimulai dan mungkin masih dalam taraf “menemukan bentuk terbaiknya”.

Untuk kali ini, bobotoh Persib mungkin belum sanggup mewujudkan harapan saya. Namun, setidaknya, mereka sudah menunjukkan sikap terpuji dengan tidak “menyentuh” pemain Persija. Mereka juga layak diapresiasi karena membiarkan pertandingan bisa berlangsung hingga peluit panjang berbunyi. Ini saja sudah merupakan “kemajuan” yang cukup berarti.

Namun demikian, dalam era Liga Super ini, saya berharap semua kelompok suporter berani menumbuhkan sikap mental baru yang lebih produktif dan progresif. Tak ada lagi “suporter musuh”, yang ada hanya “sesama suporter”. Tak ada lagi tim lawan yang harus “diserang”. Yang perlu diperangi justru sikap mental tak siap kalah karena itu hanya merugikan tim kesayangan kita sendiri! *

Bahaya Ideologi Balas Dendam

(Otokritik Suporter Sepak Bola Indonesia)


ADA dua peristiwa menarik dalam persepakbolaan kita yang terjadi beberapa waktu lalu. Kebetulan, kedua peristiwa itu sama-sama diberitakan di halaman yang sama (16), di Harian Olahraga TopSkor edisi Senin, 5 September 2005.
Peristiwa pertama membuat saya sangat terharu. Para pemain tim sepak bola SMA TBS Tangerang rela menginap di Stadion Merpati Depok –entah di mana tepatnya: emperan, kamar ganti, atau mungkin tribun penonton— demi mengikuti babak empat besar Piala Coca Cola 2005 Region III (Jakarta Selatan, Tangerang, Depok, dan Bogor).

Tentu saja, menginap di Stadion Merpati yang sumpek itu sama sekali bukan perlambang kecintaan mereka yang demikian besar terhadap lapangan pertandingan. Tak syak lagi, ini semata soal keterbatasan finansial. Agar persiapan tim tak kedodoran dengan dana yang pas-pasan, jadilah mereka menginap di stadion dengan fasilitas dan akomodasi seadanya.

Peristiwa kedua terjadi tak jauh dari Stadion Merpati, tepatnya di Lebak Bulus. Di sanalah seharusnya, berlangsung pertandingan pamungkas, penentuan, penuh gengsi, serta sarat emosi antara tuan rumah Persija Jakarta Pusat lawan Persib Bandung. Jika diperbandingkan dengan Liga Italia, mungkin partai ini bisa diibaratkan duel AS Roma lawan Juventus.

Alih-alih disuguhi pertandingan seru nan mendebarkan, kita justru mendapat sajian pemandangan yang memprihatinkan. Tak seorang pun pemain Persib menampakkan batang hidungnya di lapangan Stadion Lebak Bulus.

Sementara itu, pengurus Persija cuma bisa mencak-mencak tak karuan, panitia bingung menetapkan status akhir pertandingan, dan –sementara itu— para Jakmania sibuk menari-nari riang di lapangan. Entah merayakan apa. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak saja menggelikan, tapi sekaligus memprihatinkan.


***

SAYA tak punya pretensi memberi pembenaran terhadap sikap Persib yang “dengan gagah berani” –seolah menguji ketegasan dan kearifan sikap pengurus PSSI— memilih pulang ke Bandung ketimbang melakoni pertandingan dalam bayang-bayang ketakutan dikeroyok 50 ribu Jakmania. Seperti halnya saya juga tak bisa mempersalahkan alasan manajer Persib yang menyebut pertandingan itu berpotensi “cari penyakit”.

Padahal, kubu Persib merasa pertandingan ini seharusnya jadi ajang senang-senang belaka karena mereka tahu hampir mustahil lolos ke delapan besar. Berharap PSMS –pesaingnya menuju babak delapan besar— kalah atau ditahan seri Persekabpas di Medan, itu sama saja dengan mimpi di siang bolong. Ini Medan, Bung!

Namun, satu hal yang terasa mengganjal di hati saya, mengapa Persib berani memperlakukan pertandingan penting dan besar ini begitu sepihak. Dan ini bukan kejadian pertama dalam kompetisi kita. Beberapa pekan lalu, Persikabo Kabupaten Bogor juga “kabur” dari Dumai sehari menjelang dijamu tuan rumah Persemai.

Tampak jelas di sini bahwa semangat persahabatan serta persaingan yang sehat telah hilang dan tergantikan oleh semangat menyelamatkan hidup. Sungguh kontradiktif dengan hakekat dan tujuan dasar kompetisi itu sendiri.

Persija bisa dibilang masih beruntung karena keengganan Persib tak mempengaruhi lolosnya mereka ke babak delapan besar. Persemai justru kena getahnya. Dengan mengantungi kemenangan “hanya 3-0” atas Persikabo yang memilih kalah WO, mereka tak bisa mengejar posisi Persitara yang akhirnya meraih tiket promosi ke Divisi Utama.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari rangkaian peristiwa tersebut. Yang pertama, tentu saja, terlihat jelas semakin pudarnya nilai-nilai sportivitas dalam persepakbolaan kita. Kemenangan kadang jadi tujuan yang mati-matian diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara.

Tapi, pada saat lain, kemenangan seolah jadi tak punya makna lagi manakala lawan dengan serta-merta memberikannya begitu saja secara cuma-cuma. Kalah dan menang telah kehilangan makna dalam kompetisi sepak bola kita.

Pelajaran kedua yang bisa dipetik sekaligus makin kita sadari adalah kian lumpuhnya fungsi dan legitimasi PSSI beserta organ-organ di bawahnya. Bayangkan, menyikapi kasus di Lebak Bulus itu saja mereka bingung harus berbuat apa.

Sampai Ahad larut malam, tak jelas bagaimana status pertandingan Persija-Persib itu. Siapa menang, siapa kalah, berapa skornya? Padahal kita sudah punya Badan Liga Sepak Bola Indonesia yang –katanya— dibentuk dan disahkan “secara kilat khusus” untuk mengatasi begitu banyaknya persoalan dalam kompetisi kita.

Padahal, logika dan aturan pertandingan dalam sepak bola juga sangat jelas. Tim yang tidak hadir atau terlambat tiba di tempat pertandingansetelah sekian waktu –di Lebak Bulus, Persib sudah ditunggu sampai tiga jam— langsung saja dinyatakan kalah WO 0-3. Dan presedennya sudah ada ketika Persikabo diputuskan kalah 0-3 dari Persemai.

Memang, Persib dan Persikabo tak boleh dibiarkan bersikap sepihak dan perlu mendapat peringatan karena bersikap tidak sportif dengan menolak bertanding. Nah, di situlah baru Komisi Disiplin dan kemudian Komisi Banding memainkan perannya setelah mendengar pembelaan dari kedua belah pihak. Namun itu sama sekali tak ada urusannya dengan status pertandingan: tetap kalah!

Mengapa masalahnya kemudian jadi ruwet dan seolah semua perkara harus dilemparkan ke Komisi Disiplin? Karena memang pola semacam itulah yang selama ini dilakukan PSSI sehingga –secara tak sadar— mereka telah mengebiri fungsi dan legitimasi organ-organnya sendiri. Terutama mereka yang terlibat urusan teknis di lapangan, semacam wasit atau pengawas pertandingan.

Ada satu lagi pelajaran penting yang juga bisa kita petik dari rangkaian peristiwa tersebut. Dan ini agak mengerikan: tumbuh dan membaranya semangat balas dendam yang berlebihan di kompetisi kita.

Akar kejadian di Lebak Bulus tak lain adalah permusuhan kelompok suporter Jakmania dan Viking Bandung yang dibiarkan tanpa kendali. Apalagi setelah “insiden 13 Maret 2002” ketika beberapa bobotoh Persib dikeroyok belasan Jakmania yang baru saja mereka kalahkan dalam permainan Kuis Siapa Berani di Indosiar. Setelah insiden itu, kerusuhan dalam pertandingan Persib lawan Persija dan sebaliknya seolah jadi tradisi baru.

Sampai muak rasanya dalam tiga tahun terakhir ini kita mendengar kasus saling serang, baku pukul, dan teror mental terjadi di antara mereka. Sangat disayangkan, tak pernah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pengurus Persib, Persija, apalagi PSSI untuk menangani masalah ini.

Mereka seolah membiarkan saja “ideologi balas dendam” itu bersemayam di dada para pendukung masing-masing tim. Maka tak usah heran jika konflik dan kerusuhan itu akhirnya meluas.

Jakmania yang dulu sering dipuji sebagai kelompok suporter paling tertib dan terkendali, kini seakan berubah jadi musuh siapa saja. Saat Persija bertandang ke Persebaya, akhir musim lalu, mereka dicekal tak boleh masuk Surabaya. Antara pendukung Persija dan Arema, Persita, serta Persikota kini juga terbangun suasana panas gara-gara kerusuhan yang terjadi pascalaga di Lebak Bulus.

Bukan rahasia lagi, penonton sepak bola kita memang tidak seluruhnya datang ke stadion untuk menikmati pertandingan. Lebih banyak lagi yang datang sekadar untuk kumpul-kumpul bersama teman-temannya, mencari kegiatan untuk ajang ekspresi dan pembentukan identitas, atau sekadar menyalurkan agresivitas terpendam lewat cara yang “bisa dipahami” publik.

Inilah bahayanya. Sikap agresif yang diselimuti ideologi balas dendam akan sangat destruktif bagi masa depan sepak bola kita. Itu akan membuat stadion jadi tempat eksklusif bagi segelintir massa yang merasa “memiliki” tim tuan rumah dan enggan berbagi dengan pihak lain.

Mereka tak mau melihat stadion dihuni kelompok dengan identitas dan sikap yang berbeda, apalagi berseberangan. Akibatnya, suatu masa nanti, tak mustahil kita akan melihat stadion-stadion berubah jadi semacam coloseum, tempat “pembantaian” tim tamu –di sana mereka harus kalah dan pendukungnya tak boleh menampakkan diri.

Para pemain tuan rumah nantinya tak lebih jadi semacam gladiator yang harus bisa menghabisi setiap lawan yang datang. Dengan cara itulah ideologi balas dendam mereka terpuaskan.

Kelak, hanya boleh ada satu kor yang terdengar di seisi stadion: “Habisi lawan! Habisi lawan!”. Tak ada bunyi yel-yel atau paduan suara yang datang dari pihak lain karena mereka memang tak diundang dan tahu sendiri akibatnya kalau berani menyusup atau menampakkan diri.

Saat ini, gambaran seram itu mungkin belum sampai terjadi. Dan mungkin juga saya agak berlebihan membayangkannya. Tapi jangan pernah bilang itu mustahil terjadi di sini. Apalagi menganggap kekhawatiran saya sama sekali tak beralasan.

Saya cuma tak ingin sepak bola kita kembali ke masa silam yang “primitif”. Saya ingin sepak bola kita beranjak maju, lepas dari lagu lama soal tawuran, sistem kompetisi yang amburadul, dan pengaturan skor. Mau dikemanakan masa depan anak-anak Tangerang yang sudah rela bermalam di emperan Stadion Merpati Depok itu? Jangan kita khianati cita-cita dan masa depan mereka. *

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, September 2005)