Senin, Juli 21, 2008

Bahaya Ideologi Balas Dendam

(Otokritik Suporter Sepak Bola Indonesia)


ADA dua peristiwa menarik dalam persepakbolaan kita yang terjadi beberapa waktu lalu. Kebetulan, kedua peristiwa itu sama-sama diberitakan di halaman yang sama (16), di Harian Olahraga TopSkor edisi Senin, 5 September 2005.
Peristiwa pertama membuat saya sangat terharu. Para pemain tim sepak bola SMA TBS Tangerang rela menginap di Stadion Merpati Depok –entah di mana tepatnya: emperan, kamar ganti, atau mungkin tribun penonton— demi mengikuti babak empat besar Piala Coca Cola 2005 Region III (Jakarta Selatan, Tangerang, Depok, dan Bogor).

Tentu saja, menginap di Stadion Merpati yang sumpek itu sama sekali bukan perlambang kecintaan mereka yang demikian besar terhadap lapangan pertandingan. Tak syak lagi, ini semata soal keterbatasan finansial. Agar persiapan tim tak kedodoran dengan dana yang pas-pasan, jadilah mereka menginap di stadion dengan fasilitas dan akomodasi seadanya.

Peristiwa kedua terjadi tak jauh dari Stadion Merpati, tepatnya di Lebak Bulus. Di sanalah seharusnya, berlangsung pertandingan pamungkas, penentuan, penuh gengsi, serta sarat emosi antara tuan rumah Persija Jakarta Pusat lawan Persib Bandung. Jika diperbandingkan dengan Liga Italia, mungkin partai ini bisa diibaratkan duel AS Roma lawan Juventus.

Alih-alih disuguhi pertandingan seru nan mendebarkan, kita justru mendapat sajian pemandangan yang memprihatinkan. Tak seorang pun pemain Persib menampakkan batang hidungnya di lapangan Stadion Lebak Bulus.

Sementara itu, pengurus Persija cuma bisa mencak-mencak tak karuan, panitia bingung menetapkan status akhir pertandingan, dan –sementara itu— para Jakmania sibuk menari-nari riang di lapangan. Entah merayakan apa. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak saja menggelikan, tapi sekaligus memprihatinkan.


***

SAYA tak punya pretensi memberi pembenaran terhadap sikap Persib yang “dengan gagah berani” –seolah menguji ketegasan dan kearifan sikap pengurus PSSI— memilih pulang ke Bandung ketimbang melakoni pertandingan dalam bayang-bayang ketakutan dikeroyok 50 ribu Jakmania. Seperti halnya saya juga tak bisa mempersalahkan alasan manajer Persib yang menyebut pertandingan itu berpotensi “cari penyakit”.

Padahal, kubu Persib merasa pertandingan ini seharusnya jadi ajang senang-senang belaka karena mereka tahu hampir mustahil lolos ke delapan besar. Berharap PSMS –pesaingnya menuju babak delapan besar— kalah atau ditahan seri Persekabpas di Medan, itu sama saja dengan mimpi di siang bolong. Ini Medan, Bung!

Namun, satu hal yang terasa mengganjal di hati saya, mengapa Persib berani memperlakukan pertandingan penting dan besar ini begitu sepihak. Dan ini bukan kejadian pertama dalam kompetisi kita. Beberapa pekan lalu, Persikabo Kabupaten Bogor juga “kabur” dari Dumai sehari menjelang dijamu tuan rumah Persemai.

Tampak jelas di sini bahwa semangat persahabatan serta persaingan yang sehat telah hilang dan tergantikan oleh semangat menyelamatkan hidup. Sungguh kontradiktif dengan hakekat dan tujuan dasar kompetisi itu sendiri.

Persija bisa dibilang masih beruntung karena keengganan Persib tak mempengaruhi lolosnya mereka ke babak delapan besar. Persemai justru kena getahnya. Dengan mengantungi kemenangan “hanya 3-0” atas Persikabo yang memilih kalah WO, mereka tak bisa mengejar posisi Persitara yang akhirnya meraih tiket promosi ke Divisi Utama.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita petik dari rangkaian peristiwa tersebut. Yang pertama, tentu saja, terlihat jelas semakin pudarnya nilai-nilai sportivitas dalam persepakbolaan kita. Kemenangan kadang jadi tujuan yang mati-matian diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara.

Tapi, pada saat lain, kemenangan seolah jadi tak punya makna lagi manakala lawan dengan serta-merta memberikannya begitu saja secara cuma-cuma. Kalah dan menang telah kehilangan makna dalam kompetisi sepak bola kita.

Pelajaran kedua yang bisa dipetik sekaligus makin kita sadari adalah kian lumpuhnya fungsi dan legitimasi PSSI beserta organ-organ di bawahnya. Bayangkan, menyikapi kasus di Lebak Bulus itu saja mereka bingung harus berbuat apa.

Sampai Ahad larut malam, tak jelas bagaimana status pertandingan Persija-Persib itu. Siapa menang, siapa kalah, berapa skornya? Padahal kita sudah punya Badan Liga Sepak Bola Indonesia yang –katanya— dibentuk dan disahkan “secara kilat khusus” untuk mengatasi begitu banyaknya persoalan dalam kompetisi kita.

Padahal, logika dan aturan pertandingan dalam sepak bola juga sangat jelas. Tim yang tidak hadir atau terlambat tiba di tempat pertandingansetelah sekian waktu –di Lebak Bulus, Persib sudah ditunggu sampai tiga jam— langsung saja dinyatakan kalah WO 0-3. Dan presedennya sudah ada ketika Persikabo diputuskan kalah 0-3 dari Persemai.

Memang, Persib dan Persikabo tak boleh dibiarkan bersikap sepihak dan perlu mendapat peringatan karena bersikap tidak sportif dengan menolak bertanding. Nah, di situlah baru Komisi Disiplin dan kemudian Komisi Banding memainkan perannya setelah mendengar pembelaan dari kedua belah pihak. Namun itu sama sekali tak ada urusannya dengan status pertandingan: tetap kalah!

Mengapa masalahnya kemudian jadi ruwet dan seolah semua perkara harus dilemparkan ke Komisi Disiplin? Karena memang pola semacam itulah yang selama ini dilakukan PSSI sehingga –secara tak sadar— mereka telah mengebiri fungsi dan legitimasi organ-organnya sendiri. Terutama mereka yang terlibat urusan teknis di lapangan, semacam wasit atau pengawas pertandingan.

Ada satu lagi pelajaran penting yang juga bisa kita petik dari rangkaian peristiwa tersebut. Dan ini agak mengerikan: tumbuh dan membaranya semangat balas dendam yang berlebihan di kompetisi kita.

Akar kejadian di Lebak Bulus tak lain adalah permusuhan kelompok suporter Jakmania dan Viking Bandung yang dibiarkan tanpa kendali. Apalagi setelah “insiden 13 Maret 2002” ketika beberapa bobotoh Persib dikeroyok belasan Jakmania yang baru saja mereka kalahkan dalam permainan Kuis Siapa Berani di Indosiar. Setelah insiden itu, kerusuhan dalam pertandingan Persib lawan Persija dan sebaliknya seolah jadi tradisi baru.

Sampai muak rasanya dalam tiga tahun terakhir ini kita mendengar kasus saling serang, baku pukul, dan teror mental terjadi di antara mereka. Sangat disayangkan, tak pernah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pengurus Persib, Persija, apalagi PSSI untuk menangani masalah ini.

Mereka seolah membiarkan saja “ideologi balas dendam” itu bersemayam di dada para pendukung masing-masing tim. Maka tak usah heran jika konflik dan kerusuhan itu akhirnya meluas.

Jakmania yang dulu sering dipuji sebagai kelompok suporter paling tertib dan terkendali, kini seakan berubah jadi musuh siapa saja. Saat Persija bertandang ke Persebaya, akhir musim lalu, mereka dicekal tak boleh masuk Surabaya. Antara pendukung Persija dan Arema, Persita, serta Persikota kini juga terbangun suasana panas gara-gara kerusuhan yang terjadi pascalaga di Lebak Bulus.

Bukan rahasia lagi, penonton sepak bola kita memang tidak seluruhnya datang ke stadion untuk menikmati pertandingan. Lebih banyak lagi yang datang sekadar untuk kumpul-kumpul bersama teman-temannya, mencari kegiatan untuk ajang ekspresi dan pembentukan identitas, atau sekadar menyalurkan agresivitas terpendam lewat cara yang “bisa dipahami” publik.

Inilah bahayanya. Sikap agresif yang diselimuti ideologi balas dendam akan sangat destruktif bagi masa depan sepak bola kita. Itu akan membuat stadion jadi tempat eksklusif bagi segelintir massa yang merasa “memiliki” tim tuan rumah dan enggan berbagi dengan pihak lain.

Mereka tak mau melihat stadion dihuni kelompok dengan identitas dan sikap yang berbeda, apalagi berseberangan. Akibatnya, suatu masa nanti, tak mustahil kita akan melihat stadion-stadion berubah jadi semacam coloseum, tempat “pembantaian” tim tamu –di sana mereka harus kalah dan pendukungnya tak boleh menampakkan diri.

Para pemain tuan rumah nantinya tak lebih jadi semacam gladiator yang harus bisa menghabisi setiap lawan yang datang. Dengan cara itulah ideologi balas dendam mereka terpuaskan.

Kelak, hanya boleh ada satu kor yang terdengar di seisi stadion: “Habisi lawan! Habisi lawan!”. Tak ada bunyi yel-yel atau paduan suara yang datang dari pihak lain karena mereka memang tak diundang dan tahu sendiri akibatnya kalau berani menyusup atau menampakkan diri.

Saat ini, gambaran seram itu mungkin belum sampai terjadi. Dan mungkin juga saya agak berlebihan membayangkannya. Tapi jangan pernah bilang itu mustahil terjadi di sini. Apalagi menganggap kekhawatiran saya sama sekali tak beralasan.

Saya cuma tak ingin sepak bola kita kembali ke masa silam yang “primitif”. Saya ingin sepak bola kita beranjak maju, lepas dari lagu lama soal tawuran, sistem kompetisi yang amburadul, dan pengaturan skor. Mau dikemanakan masa depan anak-anak Tangerang yang sudah rela bermalam di emperan Stadion Merpati Depok itu? Jangan kita khianati cita-cita dan masa depan mereka. *

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, September 2005)

3 komentar:

oranjemania mengatakan...

Anda harus ingat bungkus kejadian di indosiar adalah aksi balas dendam kami pada saat kami tandang ke siliwangi dan dilempar batu oleh bobotoh........dan jangan berat sebelah menilai Jakmania...!!! dan anda termasuk pendudukung Persib bukan...???

N. Hilal mengatakan...

Bung oranjemania, Anda tak perlu menuding Bung Kusnaeni pendukung tim manapun. Setiap orang toh berhak mendukung tim favoritnya. Yang jelas, dari tulisannya saya lihat Bung Kusnaeni cukup fair melihat permusuhan Viking vs Jakmania. Jangankan beliau, saya saja muak melihat kalian selalu bersikap anarkis!

Brigade Orange Street Boys mengatakan...

akar dari permasalahan jauh sebelum kuis siapa berani...

kenapa anda tidak bercerita mengenai tragedi siliwangi 2001??? saat kami diserang di sana???

anda mungkin pintar, atau terlalu pintar???

kalo ingin mengetahui suatu kaum, masuklah kedalam kaum itu...
jangan melihat dari kulitnya,lantas beronani pikiran sendiri...