Rabu, Juli 23, 2008

Liga Super dengan Persoalan Lama

SEPEKAN sudah kita menikmati sajian baru kompetisi sepak bola nasional dengan nama yang sangat keren: Indonesia Super League (ISL) 2008. Inilah kompetisi yang digadang-gadang sebagai liga profesional yang sebenarnya di Tanah Air.

Setelah sepekan berjalan, sejumlah pertanyaan, kritik, dan keraguan mulai mengalir. Dimulai dengan pertanyaan sederhana: mengapa ISL? Ya, saya setuju. Mengapa para petinggi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) tak berani memakai nama “Liga Super Indonesia” (LSI) yang lebih membumi?

Sulit diterima jika alasannya karena sponsor. Bahkan untuk persoalan nama yang sangat prinsip, mengapa BLI tak punya daya tawar terhadap sponsor? Toh terselipnya kata “super” di tengah nama LSI sudah cukup mewakili eksistensi penyandang dana kompetisi yang diikuti 18 klub ini. ISL ataupun LSI mestinya jadi hak BLI untuk memutuskan.

Kritik serupa pernah saya sampaikan ketika mendengar lahirnya Indonesian Futsal League –mengapa bukan Liga Futsal Indonesia? Bahkan saya juga termasuk yang kecewa berat liga basket kita ngotot mempertahankan nama Indonesian Basketball League –bukannya Liga Basket Indonesia. Saya berkeyakinan bahwa rasa bangga terhadap bahasa dan produk nasional mestinya juga ditumbuhkan di kalangan olahraga.

Lepas dari soal nama, sepekan ISL berjalan ternyata belum menjanjikan perubahan yang signifikan dibanding Liga Indonesia musim-musim sebelumnya. Padahal, dengan persiapan begitu panjang dan seleksi sangat ketat, mestinya bisa lahir sebuah liga baru yang jauh lebih berbobot.

Faktanya, kita masih melihat bus tim Persija dilempari batu sampai kacanya berantakan saat menghadapi Persitara di Soreang. Warisan permusuhan Viking dan Jakmania yang merebak pada era Liga Indonesia ternyata dibiarkan begitu saja. Tak ada sikap mental baru yang coba ditumbuhkan oleh BLI maupun masing-masing pengurus tim saat melangkah memasuki panggung megah ISL 2008.

Kita juga masih melihat aksi pemain Pelita, Yohan Ibo, pada penampilan perdana timnya di Stadion Si Jalak Harupat. Terekam jelas dalam jepretan kamera bagaimana Ibo begitu “percaya diri” mengancam Robert Gaspar. Bahkan ia sempat dua kali melancarkan serangan kepada pemain asing Persiba Balikpapan itu.

Tak hanya mental para suporter yang luput dibenahi. Bahkan klub-klub tampaknya juga tak sempat menyuntikkan sikap mental baru kepada para pemain yang berkiprah di kasta tertinggi sepak bola nasional ini.

Namun yang paling menyedihkan adalah pemandangan suasana Si Jalak Harupat saat Persitara menjamu Persija. Begitu juga ketika “tuan rumah” Persita Tangerang meladeni Arema di Soreang. Bahkan juga saat PSMS Medan menjamu Persiwa Wamena di Stadion Gelora Bung Karno yang megah.

Saya tak habis bertanya dalam hati, benarkah saya sedang menyaksikan sebuah pertandingan berkualitas “super”? Kalau iya, kok penontonnya sepi. Ke mana riuh-rendah, yel-yel, dan lagu-lagu dukungan untuk para pemain di lapangan?

Ada atau tak ada penonton, siaran langsungnya memang tetap heboh. Bahkan frekuensi siaran langsung ISL 2008 mungkin lebih intens ketimbang Liga Primer, La Liga, atau Seri A.

Namun bukan itu duduk soalnya. Tanpa kemeriahan penonton, dari mana klub mendapat pemasukan untuk menggaji pemain? Bagaimana klub bisa menggaet sponsor jika suporternya sepi? Padahal, tiket masuk dan sponsor –plus hak siar televisi— itulah pilar utama pendaaan tim setelah lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59/2007 yang melarang APBD jadi sumber dana klub.

Ini situasi yang tak bisa dibiarkan dan harus segera dicarikan solusinya. Tanpa penanganan serius, saya tak akan kaget jika ada klub yang akhirnya terpaksa mundur di tengah jalan. Dan itu akan jadi preseden buruk yang sangat merugikan bagi kelangsungan hidup ISL itu sendiri.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian TopSkor Edisi 21 Juli 2008

Tidak ada komentar: