Senin, Juli 21, 2008

Dua Sisi Bobotoh Persib

ADA kekecewaan yang menyelinap di dada saya menyaksikan duel Persib lawan Persija di Stadion Siliwangi, Minggu (20/7) malam lalu. Namun itu bukan soal kekalahan 2-3 yang harus diterima Persib sebagai tuan rumah dari tamunya yang notabene seteru bebuyutan mereka.

Yang lebih menyita perhatian saya adalah aksi bobotoh Persib! Ya, bobotoh Persib telah menunjukkan dua sikap yang kontradiktif dalam duel menegangkan ini. Di satu sisi, mereka mengawali laga ini dengan sikap yang sangat terpuji. Namun –sangat disayangkan— kemudian mengakhirinya dengan cara yang kurang elegan.

Duel Persib lawan Persija ini memang mendapat perhatian khusus dari para bobotoh. Khususnya, sejak insiden pelemparan bus Persija saat menjalani laga tandang lawan Persitara di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, pekan sebelumnya.

Makanya, untuk mencegah terulangnya aksi anarkis, rombongan pemain kedua kesebelasan disatukan dalam bus yang sama. Dikawal sekelompok bobotoh senior, kedua kesebelasan akhirnya tiba dengan selamat pada pukul 17.40 WIB di Stadion Siliwangi.

Sebagian bobotoh memang masih melontarkan kata-kata kasar kepada pemain Persija. Namun lebih banyak lagi yang menyikapinya dengan melambaikan tangan kepada para pemain kesayangan mereka.

Sewaktu bus yang mengangkut kedua kesebelasan hendak memasuki stadion melalui pintu samping utara, sempat terjadi insiden kecil. Bus terhalang selama 15 menit oleh bobotoh yang berkerumun di depan pintu. Namun situasi bisa diatasi pihak kepolisian dari Polwiltabes Bandung yang menurunkan mobil rantis dan satu unit monil antihuru-hara tipe Baracuda.

Stadion Siliwangi pun, untuk sementara, jadi terasa tenang. Padahal, suporter Persib tak hanya memadati Siliwangi. Kerumunan suporter juga menyemut di Jl Lombok, Jl Aceh, dan Jl Manado. Mereka yang berkerumun di seputaran stadion ini adalah para suporter yang tidak mendapatkan tiket.

Sayangnya, situasi kondusif itu hanya berlangsung hingga menit ke-86. Terhitung sejak Hilton Moreira gagal memanfaatkan eksekusi penalti, keadaaan jadi berbalik. Kerusuhan pecah dan memaksa pertandingan terhenti. Meski akhirnya bisa juga diselesaikan.

Sedih rasanya melihat semua ini terjadi. Padahal, sejak lama saya merindukan terciptanya rekonsiliasi dan perdamaian di antara kelompok-kelompok besar suporter kita. Dan harapan saya sempat meninggi seiring terciptanya suasana awal yang kondusif di Siliwangi.

Tapi saya sama sekali tidak kecil hati. Bahkan saya tetap optimistis mengingat Liga Super baru saja dimulai dan mungkin masih dalam taraf “menemukan bentuk terbaiknya”.

Untuk kali ini, bobotoh Persib mungkin belum sanggup mewujudkan harapan saya. Namun, setidaknya, mereka sudah menunjukkan sikap terpuji dengan tidak “menyentuh” pemain Persija. Mereka juga layak diapresiasi karena membiarkan pertandingan bisa berlangsung hingga peluit panjang berbunyi. Ini saja sudah merupakan “kemajuan” yang cukup berarti.

Namun demikian, dalam era Liga Super ini, saya berharap semua kelompok suporter berani menumbuhkan sikap mental baru yang lebih produktif dan progresif. Tak ada lagi “suporter musuh”, yang ada hanya “sesama suporter”. Tak ada lagi tim lawan yang harus “diserang”. Yang perlu diperangi justru sikap mental tak siap kalah karena itu hanya merugikan tim kesayangan kita sendiri! *

2 komentar:

Safinka mengatakan...

Komentar Bung Kusnaeni tentang ulah Viking masih terlalu halus. Tapi saya setuju. Mereka harus diberi kesempatan untuk berbenah. Kelompok suporter lain juga perlu berbenah. Hanya dengan cara itu suporter bisa jadi kelompok penekan yang efektif terhadap Pengurus Pusat PSSI yang bobrok!

Hariman Bahtiar mengatakan...

Butuh waktu yang panjang untuk menjadi dewasa. Umur tidak menunjukkan kedewasaan seseorang. Hanya kemauan untuk belajar yang dapat mengubah seseorang untuk dapat berbenah, tumbauh menjadi dewasa.