Senin, Juli 28, 2008

Mari Mempercayai Wasit Kita

(Demi Liga Indonesia yang Bermartabat)


APA masalah paling memprihatinkan di kompetisi sepak bola kita? Anda mungkin punya jawaban sendiri. Tapi, bagi saya, yang paling bikin prihatin adalah ketidaksiapan semua pihak untuk menerima kekalahan dengan lapang dada.

Ada banyak argumen pernah dikemukakan para pakar maupun pengamat. Sebagian mengaitkannya dengan euforia demokrasi pascareformasi yang membuat setiap orang melihat dirinya sebagai pemenang. Dan oleh sebab itu enggan dikalahkan dalam bidang apapun: sepak bola, bisnis, atau pemilihan walikota, misalnya.

Penolakan terhadap kekalahan semakin menguat ketika individu-individu berkumpul bersama jadi sebuah kelompok –entah itu Aremania, Bonek, Jakmania, atau Viking. Mereka makin tak siap menerima rasa sakit berupa kekalahan timnya. Kemenangan berubah jadi semacam keniscayaan –terutama untuk pertandingan kandang.

Ada juga yang mengaitkan sikap “ogah kalah” itu dengan kematangan berdemokrasi yang belum kita miliki. Setelah lebih tiga dekade dalam pasungan Orde Baru, kita dianggap baru melek dan belajar berdemokrasi dalam satu windu terakhir ini. Alhasil, kita masih gagap menerjemahkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Ogah kalah hanya salah satu bentuk kegagapan itu.

Saya yakin masih banyak lagi argumen lain yang mendasari munculnya sikap tak mau kalah itu. Namun, apapun alasannya, sikap negatif semacam itu telah membuat pertandingan Liga Indonesia kerap melenceng jadi tindak anarki yang mencemaskan publik

Yang menarik, ada satu unsur pertandingan yang hampir selalu dituding sebagai “kambing hitam” oleh pihak-pihak yang kalah: wasit! Coba saja baca koran yang menulis laporan sebuah pertandingan, hampir selalu “dilengkapi” komentar miring pihak yang kalah tentang kepemimpinan wasit.

Saya hampir tak pernah membaca komentar pelatih atau manajer tim yang kalah memuji kepemimpinan wasit. Tak peduli wasit memimpin dengan jeli atau tidak, penilaian yang ia dapat selalu seragan: memihak tuan rumah.

Saya khawatir ketidakpercayaan yang prejudice itu terus terbawa pada babak 8 Besar. Padahal, tensi pertandingan di tahapan ini jauh lebih tinggi dibanding saat kompetisi tingkat wilayah. Bahkan juga sangat potensial melibatkan massa penonton jauh lebih banyak –juga berpotensi lebih beringas, tentunya.

Psikologi massa suporter kita masih banyak dipengaruhi nilai-nilai patrimonialisme. Apapun pendapat tokoh, pengurus, dan bintang andalan timnya kerap begitu saja mereka telan sebagai kebenaran. Tanpa proses mencerna, mengendapkan, dan mengkajinya secara mendalam.

Mentalitas semacam ini jelas berbahaya dalam konteks babak 8 Besar ini. Setiap kali manajer atau pelatih menuding wasit curang –bahkan menunjukkannya langsung di lapangan, maka suporter akan segera mempercayainya. Kompensasinya, mereka kemudian berbuat anarkis pascapertandingan atau mencemooh wasit pada pertandingan selanjutnya.

Kalau itu benar-benar terjadi, maka perhelatan 8 Besar bisa sia-sia belaka. Tujuan melahirkan kompetisi yang bermutu sudah lama kita sadari masih jauh panggang dari asap. Target pembinaan pun tak tercapai karena proses regenerasi macet.

Bahkan yang terbentuk justru stigma-stigma nan memprihatinkan: kompetisi kacau-balau, wasit bisa dibeli, pengurus ikut bermain, juaranya sudah diatur, dan seterusnya. Itulah efek bola salju yang tanpa sengaja dibangun oleh para pelaku kompetisi itu sendiri –pemain, pelatih, pengelola klub, pengurus, dan lain-lain.

Bukan bermaksud menggampangkan persoalan ini. Namun, menurut saya, persoalan ini bukannya tak bisa diatasi. Setidaknya, kita bisa mencoba mulai saat ini juga mengatasinya. Caranya: berikan kepercayaan sepenuhnya kepada wasit untuk benar-benar jadi “pengadil” di lapangan hijau.

Supaya wasit benar-benar jadi “pengadil” yang mandiri, biarkan mereka menjalankan tugasnya tanpa beban, tanpa prasangka, dan tanpa “titipan” ini-itu. Lalu, sesudah pertandingan berakhir, mari kita sama-sama menerima hasilnya dengan lapang dada. Tanpa menuding wasit begini atau begitu. Kalau perlu, jatuhkan sanksi keras bagi pelatih atau manajer yang berkomentar negatif tentang kepemimpinan wasit.

Untuk bisa seperti itu, sebetulnya, dengan mudah kita bisa memanggil wasit asing. Niscaya pemain, pelatih, dan para manajer tim Liga Indonesia tak akan curiga lagi. Masalahnya, duitnya –konon— tak ada. Selain itu, kalau apa-apa harus diselesaikan oleh pihak asing, kita tak akan pernah lulus dari status belajar berdemokrasi dan belenggu euforia reformasi. Jadi, mari kita mulai memberi kepercayaan penuh kepada para wasit kita!

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor)

Tidak ada komentar: