Senin, Juli 28, 2008

Ronaldinho dan “Ritual” Olimpiade

JIKA Anda ke Singapura sekarang ini, mungkin beruntung bisa melihat aksi-aksi Ronaldinho. Tak hanya saat berlatih tapi dalam pertandingan sebenarnya menghadapi tim nasional Singapura, petang hari ini.

Bahkan jika Anda menginap di Hotel Mandarin Oriental yang mewah mungkin sempat sarapan bareng bintang yang “murah senyum” itu. Konon, Ronaldinho dan rekan-rekan setimnya sangat menyukai feijao –sejenis kacang merah khas Brasil. Sehingga pihak hotel harus mengimpornya langsung dari “Negeri Samba” agar selera makan para pemain tak menurun.

AC Milan maupun Barcelona –klub Ronaldinho musim lalu— memang tak punya jadwal melawat ke negeri jiran itu. Yang sedang berkunjung ke Malaysia, tetangga Singapura, justru Chelsea yang pernah ingin meminang Ronaldinho namun kemudian menarik diri.

Namun demikian, Singapura beruntung jadi negeri persinggahan tim nasional Brasil U-23 dalam rangkaian persiapan menuju Olimpiade Beijing yang digelar pada 6-23 Agustus. Bahkan “Tim Samba” muda itu menetap selama sepekan penuh di Singapura dalam rangka aklimatisasi cuaca.

Tapi apa urusannya Ronaldinho, 28 tahun, dengan tim Brasil U-23? Rupanya, ia bersama Thiago Silva (Fluminense) menjadi pemain senior yang memang disisipkan untuk meramaikan persaingan.

Kita tahu, Brasil belum pernah merebut medali emas di pesta olahraga sejagat itu. Dan pelatih Dunga tak pernah segan mengungkapkan tekadnya merebut satu-satunya gelar yang belum pernah diraih “Tim Samba” itu. Makanya, ia merasa perlu memasukkan pemain sekaliber Ronaldinho dalam skuatnya.

Dari segi gengsi, emas Olimpiade mungkin masih kalah dibanding gelar juara dunia. Apalagi bagi Ronaldinho yang sudah merasakan hampir semuanya: juara dunia 2002, juara Copa America 1999, juara Liga Champions 2005/2006, dan Pemain Terbaik Dunia 2004-2005. Namun mengapa ia masih mau juga ke Beijing dan bermain dengan “adik-adiknya”?

Ini memang bukan masalah gengsi. Sekarang ini, tampil di Olimpiade seperti sudah menjadi “ritual” tersendiri bagi para pemain bintang untuk menyempurnakan catatan kariernya. Rasanya tak lengkap gantung sepatu tanpa pernah meraih medali emas –minimal tampil— di Olimpiade.

Motivasi itulah yang membuat Ronaldinho begitu bersemangat ikut ke Beijing. Bahkan antusiasme itu sudah ditunjukkannya selama menjalani hari-hari kelabu di Camp Nou sepanjang musim lalu.

Dan antusiasme membela negara di pentas Olimpiade itu tak hanya milik Ronaldinho. Sikap serupa ditunjukkan Javier Mascherano (Argentina) dan Ryan Babel (Belanda), meski mereka sadar keputusan mereka mengecewakan pelatih Liverpool, Rafael Benitez. Juga ditunjukkan oleh pemain veteran sekaliber Roy Makaay yang akan menjadi “mentor” bagi “Tim Oranye” muda di Beijing.

Dalam berbagai kasus, kengototan pemain ikut Olimpiade bahkan kerap jadi masalah bagi klubnya. Seperti kasus dua bintang Brasil, Diego dan Rafinha, yang nekat tetap ke Beijing meski tak diizinkan klubnya, Werder Bremen dan Schalke. Alhasil, kasus ini besar kemungkinan harus diselesaikan di pengadilan arbitrase.

Benarkah sikap Ronaldinho dan kawan-kawan mencerminkan egoisme pribadi dan kurangnya rasa tanggung jawab mereka terhadap klub? Bukankah klub yang membayar gaji mereka dan Olimpiade bukan kejuaraan yang masuk kalender kegiatan FIFA?

Menurut saya, ini bukanlah persoalan ego atau profesionalisme. Ini lebih dekat dengan persoalan komitmen dan sikap patriotisme. Dan ini sama sekali bukan patriotisme yang melampaui batas. Sebab, bagi sebagian besar pemain, kesempatan tampil di Olimpiade mungkin hanya datang 1-2 kali sepanjang karier mereka. Alangkah bijaknya jika klub-klub merelakan saja kepergian Ronaldinho dan kawan-kawan seraya berharap mereka pulang tanpa cedera.

Ya, saat ini problematika semacam ini mungkin belum jadi persoalan kita. Tapi, suatu saat nanti, generasi setelah Bambang Pamungkas mungkin akan mengalaminya. Nah, saat masalah itu kelak datang, moga-moga kita sudah tahu bagaimana menyikapinya. *

Tidak ada komentar: