Jumat, Juli 25, 2008

Tajam di Depan, Rapuh di Belakang

(Evaluasi Kemenangan atas Selandia Baru)

NONTON pertandingan Indonesia lawan Selandia Baru, kemarin (24/7) sore? Anda mungkin termasuk yang bernasib seperti saya –cuma bisa nonton di layar kaca karena kesibukan dan tuntutan pekerjaan.

Mau bilang apalagi, pertandingan tengah pekan seperti itu kok digelar sore hari. Padahal, biasanya, sengaja dipilih usai jam kerja biar penonton lebih banyak yang bisa hadir di stadion. Tak usah heran jika Stadion Utama Gelora Bung Karno kemarin tampak cukup sepi.

Terlepas dari sepinya penonton, bagaimana Anda menilai penampilan tim asuhan Benny “Bendol” Dollo yang unggul 2-1? Kalau Anda mengaku puas, berarti seirama dengan pengakuan sang pelatih seusai pertandingan.

Wajar saja kalau Bendol senang sebab kali ini tim asuhannya bisa mencetak lebih dari satu gol. Dan pencetak golnya pun tidak melulu Bambang Pamungkas. Meski kali ini sang striker andalan tetap konsisten menyumbang gol –yang kedua setelah gol pembuka oleh M. Ilham.

Saya sendiri juga senang melihat penampilan Bambang dan kawan-kawan. Khususnya dari segi ketajaman dan variasi serangan yang mereka suguhkan. Saya kira, Bendol cukup berhasil mengekspoitasi kelebihan masing-masing pemain.

Ellie Aiboy, seperti biasa, dibebaskan menjelajahi sayap kanan dengan mengandalkan kecepatan dan kelincahannya. Budi Sudarsono juga diberi ruang yang cukup untuk “bermain dengan bola” di sayap kiri.

Sementara Firman “Si Anak Emas” Utina memainkan peran bak Steven Gerrard di Liverpool. Menjemput bola, mengalirkan ke depan, dan tiba-tiba muncul di kotak penalti dengan tendangan kerasnya. Saya kira, wajar jika Bendol sangat menyukai permainan Firman dan memberinya kepercayaan penuh di tim apapun yang dia tangani.

Tapi, sayangnya, kemajuan dari sektor tengah ke depan itu tak diimbangi sektor tengah ke belakang. Pos gelandang bertahan dan kuartet lini belakang malah jadi titik lemah tim kesayangan kita.

Bukan bermaksud apriori. Tapi sudah setahun terakhir ini saya melihat Ponaryo Astaman bukan lagi orang yang tepat untuk mengisi posisi holding midfielder “Tim Merah Putih”. Ia tak lagi cukup gesit dalam berebut bola, sering salah umpan yang elementer, bahkan sering terlihat “kurang terlibat” dalam permainan.

Yang tersisa dari Ponaryo tinggal pengalaman dan kharismanya. Sebagai gelandang jangkar, saya mungkin lebih memilih nama-nama lain: Syamsul Chaerudin, Legimin Raharjo, atau Hariono.

Tapi yang lebih mencemaskan dalam laga kemarin adalah rapuhnya barisan belakang. Bahkan, menjelang akhir babak kedua, berkali-kali kiper Markus Harison seperti “ditodong” harus berhadapan dengan striker lawan yang siap menyundul bola di depan gawangnya.

Agak mengherankan juga melihat umpan-umpan silang para pemain Selandia Baru begitu mudah jatuh di belakang pertahanan kita. Seperti tak ada filter dan barikade yang menghalangi. Kalau saja anak-anak muda “Negeri Kiwi” itu lebih tenang, mungkin gawang Markus bocor lebih dari sekali.

Walaupun demikian, saya tetap salut untuk sikap konsisten Bendol memberi ruang bagi wajah-wajah baru yang sedang “in” di kompetisi liga, seperti Ilham. Tapi, di sisi lain, ia juga konsisten mempertahankan kerangka tim dengan Charis Yulianto, Firman, dan Bambang sebagai porosnya.

Pada akhirnya, kita juga perlu mengacungkan jempol untuk Bambang dan kawan-kawan. Di tengah ketatnya kompetisi ISL 2008/2009 yang baru bergulir, toh mereka tetap menyediakan waktu dan tenaga untuk tim nasional. Tetap semangat! *

Tidak ada komentar: