Rabu, Juli 30, 2008

“Ketakutan” Harry, Kekuatan BLI

ADA sebuah peristiwa menarik terjadi di Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu. Manajer Persitara Jakarta Utara, Harry Ruswanto, terpaksa berurusan dengan aparat kepolisian (Polres Kabupaten Bandung) seusai timnya menjamu Persela Lamongan di Stadion Si Jalak Harupat, Minggu (20/7) lalu.

Padahal, tak ada kerusuhan atau aksi anarkis mengiringi partai kandang Persitara di “pengasingan” itu. Pertandingan berjalan aman-aman saja, meski Hariman Siregar dan kawan-kawan dipaksa bermain imbang oleh tamunya.

Harry rupanya bertindak “nekat”. Meski tidak mendapat izin dari aparat keamanan setempat, ia tetap menggelar pertandingan. Akibatnya, usai pertandingan, Gendhar –panggilan akrabnya— bersama pengurus Persitara lainnya langsung digelandang ke Mapolres guna dimintai keterangan. Untung saja, mereka tidak ditahan dan hanya dikenai wajib lapor.

Usut punya usut, akar kasus ini rupanya masalah finansial. Pengelola stadion milik Pemkab Bandung itu keberatan Persitara menggelar pertandingan sebelum melunasi ongkos sewa laga sebelumnya.

Dan ini hanya salah satu dari segunung persoalan finansial yang dihadapi “Si Pitung” –julukan tim dari pinggiran Ibukota itu. Uang panjar kontrak sebagian besar pemainnya belum dilunasi dan mereka pun nyaris tak punya cadangan dana untuk membiayai laga tandang.

Namun demikian, konon, biaya sewa itu sebenarnya sudah dilunasi pada Jumat (18/7) siang. Namun pihak kepolisian terlanjur mengeluarkan surat larangan dan Persitara mungkin lalai mengkomunikasikannya dengan pihak berwajib. Sehingga terpaksalah Harry yang jadi tumbal dan harus berurusan dengan pihak berwajib.

Bagi saya, yang paling menarik dari peristiwa ini bukanlah perkara sewa-menyewa Si Jalak Harupat itu. Saya lebih terkesima melihat keberanian Harry terus menggelar laga tersebut. Ia mengaku lebih memilih risiko berhadapan dengan ancaman penjara ketimbang mendapat hukuman dari Komdis dan timnya terkena degradasi (TopSkor, 21/7).

Di satu sisi, keberanian Harry menunjukkan tanggungjawabnya yang besar terhadap Persitara –tim yang telah dia besarkan dan ikut membesarkan namanya. Namun, di sisi lain, keberanian Harry itu sekaligus menunjukkan besarnya “ketakutan” pengurus klub terhadap Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) selaku operator ISL 2008/2009.

Bagi saya, “ketakutan” Harry terhadap BLI adalah sesuatu yang positif. Itu menunjukkan betapa kuatnya legitimasi dan kewenangan BLI selaku otoritas penyelenggara kompetisi kasta tertinggi di Indonesia.

Kuatnya legitimasi dan kewenangan BLI mutlak dibutuhkan untuk membangun kompetisi yang profesional dan berkualitas. Dengan memiliki BLI yang kuat, aturan main jadi lebih mudah ditegakkan, interaksi antara klub dan operator kompetisi jadi kondusif, dan tak ada lagi mekanisme “saling gertak” dalam setiap penyelesaian masalah.

Bahkan, bagi sejumlah klub tertentu, “kekuasaan” BLI kini sudah lebih dari itu. Sehingga, konon, ada segelintir klub Divisi Utama yang ikhlas “memasrahkan” semua urusannya. Dari penunjukan pelatih, perekrutan pemain, pemilihan agen pemain asing, sampai urusan tetek-bengek lainnya.

Mudah-mudahan rumor di atas sekadar isapan jempol. Dan, kalaupun benar ada, moga-moga saja itu sekadar perilaku individual oknum pengurus BLI yang disalahpahami oleh segelintir pengurus klub yang mencoba “cari aman” dengan menempuh jalan pintas.

Bagi saya, kuatnya legitimasi dan kewenangan BLI tetap penting pada periode transisi menuju ISL yang sepenuhnya profesional. Sama seperti pertandingan sepak bola itu sendiri butuh wasit yang kuat legitimasinya agar pertandingan bisa berjalan tanpa hambatan.

Mudah-mudahan saja, dengan modal legitimasi yang kuat itu, pelan-pelan BLI mulai bisa memainkan perannya sebagai “wasit” yang adil bagi semua klub peserta kompetisi. Lebih dari itu, semoga BLI pun bisa menjadi inisiator dan pendorong modernisasi pengelolaan klub sepak bola di Tanah Air. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor edisi Senin, 28 Juli 2008)

Tidak ada komentar: