Selasa, September 23, 2008

Ketika Manajer Jadi “Boneka”

NELANGSA rasanya melihat tim sekelas Newcastle United dipermalukan West Ham 1-3, Sabtu (20/9) lalu. Tak sekadar kalah, Newcastle bisa dibilang tampil “menyedihkan” dalam laga tersebut. Tanpa determinasi, miskin koordinasi, dan nyaris tanpa konsep bermain yang jelas.

Ada banyak faktor, tentunya, yang membuat Newcastle tampil seburuk itu. Namun, penyebab utamanya jelas ketiadaan sang pelatih di pinggir lapangan. Kevin Keegan sudah angkat kaki sejak 4 September lalu, namun Newcastle tak kunjung mendapatkan penggantinya.

Tapi, siapa pula pelatih bagus mau menerima tawaran Newcastle sekarang ini? Khususnya, setelah misteri ketidakbetahan Keegan sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Jabatan manajer –sebutan untuk posisi yang di sini biasa kita sebut “pelatih”— di Newcastle ternyata tak sementereng namanya.

Padahal, Keegan adalah “The Geordie Messiah”. Dialah yang mengangkat Newcastle kembali ke Liga Primer dengan menjuarai Divisi Satu 1992/1993. Karena polesannya pula Newcastle sempat jadi kekuatan yang disegani pada periode 1992-1997.

Dengan reputasi sehebat itu –ditambah lagi ia pernah menangani tim nasional Inggris, rasanya sulit dipercaya jika Keegan hanya dijadikan “boneka” di Newcastle. Diberi jabatan sebagai manajer, tapi terus “direcoki” oleh Denis Wise selaku direktur sport.

Tapi begitulah realitas Liga Primer saat ini. Zaman baru telah datang ketika kewenangan manajer sebagai penguasa tunggal tim pelan-pelan mulai dielaborasi oleh para pemilik klub yang datang dari antah-berantah.

Keegan bukanlah satu-satunya korban. Pada saat hampir berbarengan, Liga Primer juga kehilangan Alan Curbishley. Salah satu pelatih lokal Inggris paling sukses itu juga terpental dari West Ham karena alasan yang sama. Curbishley tak sudi kewenangannya –terutama dalam operasi transfer— terlalu banyak dikebiri oleh dewan direksi klub.

Namun keduanya bukan korban pertama. Sebelum mereka, ada Jose Mourinho yang lebih dulu merasakan panasnya kursi manajer Chelsea di bawah kendali pemilik klub superkaya seperti Roman Abramovich.

Tanpa tedeng aling-aling, Abramovich menempatkan Frank Arnesen sebagai direktur sport yang membuat peran Mourinho dalam urusan pembelian pemain jadi sangat minimal. Ia juga menempatkan Piet de Visser sebagai penasihat pribadi dengan kewenangan dan akses informasi yang acapkali melebihi sang manajer. Belakangan muncul pula Avram Grant sebagai pengganti Arnesen. Bahkan Grant pula yang akhirnya menggusur posisi Mourinho.

Saat ini pun posisi Rafael Benitez di Liverpool sebenarnya bisa dibilang setali tiga uang dengan Mourinho dulu. Ia memang masih memangku jabatan manajer “The Reds”, namun kewenangannya praktis sangat terbatas.

Terbukti dalam kasus Gareth Barry. Benitez sangat menginginkan gelandang Aston Villa itu bergabung ke Anfield. Namun duet pemilik Tom Hicks dan George N. Gillett tak memberi lampu hijau. Belakangan Kepala Eksekutif Liverpool, Rick Parry, malah menyebut harga 18 juta pound yang “disepakati” Benitez dan manajemen Aston Villa kelewat mahal. Makanya, operasi transfer itu tak pernah direalisasikan.

Dalam struktur manajemen puncak Liverpool memang tak ada posisi direktur sport. Tapi, pada prakteknya, fungsi itu ada dan dijalankan oleh Parry sebagai kepala eksekutif. Maka, fungsi Benitez sebagai manajer sesungguhnya kini tak lebih luas ketimbang allenatore --para sejawatnya di Seri A— atau entrenador, rekan-rekan seprofesinya di La Liga.

Keegan dan Curbishley kini mungkin tak henti mengutuk perubahan sistem manajemen klub Liga Primer yang jauh berubah dibanding semasa meraka masih bermain. Namun mereka mungkin hanya bisa sebatas mengutuk dan meratapi. Tanpa bisa mencegah perubahan ini semakin meluas.

Faktanya, klub-klub di Inggris –bukan sekadar Liga Primer— kini semakin banyak jatuh ke tangan para miliarder lokal maupun asing. Sialnya, acapkali mereka tak kenal kultur dan sejarah klub yang jadi miliknya. Demi mengamankan uang yang sudah ditanamkan, mereka pun kemudian menempatkan orang kepercayaannya dengan fungsi dan kewenangan yang akhirnya lebih banyak jadi masalah baru ketimbang solusi.

Lihat saja kasus Mike Ashley. Ia sama sekali tak paham kalau Keegan adalah “jiwa dan hati” para geordie sejati. Maka, sungguh tak masuk akal ketika Ashley lebih banyak memberi kewenangan kepada Wise ketimbang Keegan sebagai manajer klub.

Ashley juga gemar memamerkan hobinya berpesta dan foya-foya, bahkan nonton di St James’ Park sambil menenteng botol sampanye bersama gadis-gadis muda. Padahal, puluhan ribu pemilik tiket terusan St James’ Park hidup pas-pasan, namun begitu loyal mendedikasikan hidup mereka untuk kejayaan “The Magpies”.

Kelak, mungkin giliran pelatih klub-klub Inggris lainnya yang menghadapi persoalan seperti ini. Dari Manchester United, Arsenal, Manchester City, hingga Queen's Park Rangers kini juga sudah jatuh ke tangan “pengusaha balap” Flavio Briatore dan Bernie Ecclestone.

Nantinya, mungkin hanya akan tersedia dua pilihan bagi Keegan dan kawan-kawan. Mereka harus bersedia berkompromi dengan realitas baru ini atau –seperti sekarang— memilih berhenti saja ketimbang jadi “boneka” yang sama sekali tidak lucu. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 22 September 2008)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

sungguh sangat miris sekali bung keadaan persepakbolaan sekarang, bukan sportivitas yang di kedepankan, tetepi kembali ke jaman penjajahan, yakni ekonomi yang jadi alasan utama,

dave_liem mengatakan...

yah begitulah hidup...
kadang ada seuatu yg membuat atasan semena-mena
hal ini terbukti dari apa yg terjadi di saat mourinho out, kemudian keegan dan jga curbishley

menurutku pimpinan seperti di atas ini membuat manager di epl bukan lagi manager, melainkan kembali di sosok head coach alias pelatih saja
di mana dia menentukan strategi bermaen sedang keputusan transfer bukan dari pihaknya

hal ini memang agak tragis mengingat bagaimana bisa bagus kalo pemain2 yg ada tersebut tidak sesuai dg strategi yg diterapkan di lapangan

di masa mendatang ada kekhawatiran pula akan menimpa mark hughes di mana saat ini bos man city juga kaya, hobi bola, dan punya cita2 mirip red rom yg beli pemain ini, beli pemain itu tanpa diskusi dg manager klub