Selasa, September 09, 2008

Capello Mulai Menghitung Mundur

BARCELONA mestinya tempat yang ideal untuk memulai sebuah perhelatan besar pada September ini. Puncak cuaca panas sudah berlalu, tapi aroma musim liburan masih terasa di sana. Ditandai dengan suasana kota yang semarak dan pantainya yang masih dipadati para pelancong mancanegara.

Namun Barcelona tampaknya bukan kota yang cukup bersahabat bagi tim nasional Inggris. Pada laga pertama kualifikasi Piala Dunia 2010 Zona Eropa Grup 6, “The Three Lions” ternyata harus berjuang keras untuk sekadar menang 2-0 atas tim lemah Andorra –negeri terkecil kelima di Eropa.

Padahal, laga ini seharusnya sekadar “pemanasan” bagi tim asuhan Fabio Capello. Pertarungan sebenarnya baru akan mereka hadapi pada laga kedua lawan Kroasia. Inilah partai balas dendam terhadap tim yang memupus harapan Inggris lolos ke putaran final Piala Eropa 2008.

Lagipula, tak ada yang bisa dibanggakan oleh Andorra –negeri dengan penduduk hanya 72 ribu jiwa. Sebagian besar para pemainnya hanya main di klub semiamatir dan sehari-hari menekuni profesi lain di luar lapangan hijau. Bisa dihitung dengan jari pemain Andorra yang sepenuhnya berkarier sebagai pesepak bola profesional.

Jangan lupa, 28 Maret 2007, Inggris juga pernah membungkam Andorra dengan skor telak 3-0. Padahal, saat itu, Inggris tengah mengalami periode sulit semasa ditangani Steve McClaren. Toh masih bisa menang besar.

Sangat wajar jika kemenangan 2-0 kali ini diterima publik Inggris dengan penuh tanda tanya. Mengapa tim ini tidak bisa tampil lebih baik di tangan Capello? Dengan performa seperti ini, masih bisakah mereka lolos ke Afrika Selatan 2010?

Keraguan memang wajar mengemuka. Pasalnya, Capello datang dengan reputasi harum berkat deretan suksesnya bersama Real Madrid, AS Roma, hingga AC Milan. Namun, di tangannya, penampilan Inggris tak lebih bagus dibanding era McClaren maupun Sven Goran Eriksson.

Wajar jika pelatih Andorra, David Rodrigo, justru merasa bangga terhadap timnya. “Sekalipun papan skor menunjukkan kami kalah 0-2, tapi kami bangga. Kami menampilkan sebuah permainan yang sangat terorganisasi dalam bertahan,” katanya, penuh semangat. “Kami melawan Inggris, sebuah tim besar dan penting, dan kami hanya kalah dua gol. Kami merasa menang secara moral malam ini.”

Wajar pula jika suara-suara skeptis terhadap kepemimpinan Capello mulai bermunculan. Bahkan disuarakan langsung oleh para pelatih klub Liga Primer –salah satunya Harry Redknapp dari Portsmouth— yang biasanya cukup “sopan” terhadap arsitek tim nasionalnya.

Di luar dugaan, Capello menanggapi “serangan” itu dengan sikap defensif khas Italia. Ia meminta para koleganya di Liga Primer agar menaruh respek terhadap posisinya di tim nasional. Seperti halnya ia mengaku menghormati posisi mereka di klubnya.

Reaksi Capello itu sungguh di luar perkiraan. Meski sudah beberapa bulan memasuki sepak bola Inggris, ternyata ia masih terlalu kental dengan kultur sepak bola negeri asalnya. Ia masih alergi terhadap kritik, terkesan selalu menjaga jarak, dan tetap menjadikan hasil akhir sebagai tujuan utama.

Makanya, Capello seperti tak hirau akan mandulnya Wayne Rooney. Padahal, tim nasional Inggris punya tradisi sukses bersama para penyerang suburnya, dari era Bobby Charlton, Gary Lineker, Alan Shearer, hingga Michael Owen.

Ia juga tak ambil pusing terhadap buruknya kinerja lini tengah Inggris sekarang ini. Padahal, seperti halnya Eriksson dan McClaren, ia juga belum mampu menemukan formula yang tepat atas keberadaan Steven Gerrard, Frank Lampard, dan Gareth Barry di lini tengah.

Cederanya Gerrard yang berbuntut operasi pangkal paha –menjelang laga lawan Andorra dan Kroasia— mungkin hanya sebuah kebetulan. Namun, jika Gerrard tak kecewa dimainkan di sayap kiri saat menghadapi Republik Ceko, sangat mungkin ia akan memilih menunda operasi ini.

Satu per satu, Capello memang mulai mengecewakan orang-orang di sekelilingnya. Mereka yang semula mengagumi reputasinya dan berharap banyak akan tuah “tangan dinginnya”.

Lalu, apa jawaban Capello tentang hal ini? “Saya percaya penuh terhadap tim ini. Kami baru saja memulai perjalanan menuju Afrika Selatan,” katanya, mantap.

Lagi-lagi, Capello menunjukkan sisi ke-italia-annya yang kental. Namun, kali ini, ia memang membutuhkannya. Karena mungkin tinggal itulah modal terbesarnya untuk membangun sukses bersama tim nasional Inggris. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 8 September 2008)

Tidak ada komentar: