Senin, September 15, 2008

Biarkan Uang Al Fahim Bicara

DUA pekan terakhir, Liga Primer seperti terseret mesin waktu. Kembali ke masa lalu dan terjebak dalam polemik klasik yang mungkin tak ada habisnya. Perlukah Liga Primer dilindungi dari cengkeraman investor asing yang datang dengan kekuatan finansial luar biasa –semacam Dr Sulaiman Al Fahim di Manchester City?

Isu ini menggelinding kencang sejak Al Fahim mengambil-alih saham City dari tangan Thaksin Shinawatra, akhir Agustus lalu. Pasalnya, Al Fahim seperti enteng saja saat menggelontorkan dana 150 juta pound untuk jadi penguasa baru “The Citizens”.

Kehadiran Al Fahim segera meruntuhkan “kebesaran” Chelsea yang mengandalkan kekuatan dana miliarder Rusia, Roman Abramovich. Dan mata dunia semakin terbelalak saat mengetahui bahwa kekayaan keluarga Al Fahim, konon, 20-30 kali lipat lebih besar dibanding Abramovich!

Hanya dalam hitungan hari, Al Fahim meneruskan gebrakannya dengan langsung “meneror” klub-klub raksasa. Ia mencoba membeli Kaka dari AC Milan, Fernando Torres dari Liverpool, Cristiano Ronaldo dari Manchester United, dan lain-lain.

Memang, pada akhirnya, hampir semua tawaran itu kandas. Hanya Robinho yang sukses diboyong dari Real Madrid dengan rekor transfer Liga Primer sebesar 32,5 juta pound. Tapi, masalahnya, siapa bisa menjamin Al Fahim tak akan “lebih mengamuk” pada bursa transfer kedua, Januari mendatang.

Itulah yang bikin risau para petinggi klub besar yang kadung menikmati kemapanan situasi saat ini. Dengan sinis, Arsene Wenger meminta agar sepak bola dilindungi sehingga tidak menjadi “supermarket” bagi para investor superkaya.

Pemikiran Wenger bak gayung bersambut dengan suara dua orang penting di dunia olahraga Inggris. Menteri Kebudayaan Andy Burnham dan Ketua FA Lord Triesman sama-sama meminta perhatian publik akan meningkatkan kepemilikan klub-klub Liga Primer oleh investor asing.

Sekadar imbauan untuk membangun wacana, tentu sah-sah saja. Namun saya meragukan efektivitasnya. Lebih dari itu, rasanya kita malah perlu balik bertanya. Mengapa harus merisaukan kehadiran para investor baru hanya karena mereka lebih padat modal?

Ketika Liga Primer membuka diri terhadap investor asing sejak awal milenium baru ini, sesungguhnya mereka telah membuat keputusan besar yang sangat berani. Pasalnya, Liga Primer adalah salah satu kompetisi paling atraktif dan disiarkan di berbagai belahan dunia.

Tak mengherankan jika terbukanya keran kepemilikan itu seperti madu yang segera memikat para kumbang. Orang-orang seperti Abramovich, Malcolm Glazer, Stan Kroenke, Tom Hicks, hingga Al Fahim kemudian berduyun-duyung datang membawa harta karunnya.

Liga Primer bukannya tak menikmati berkah kemewahan modal berlimpah itu. Chelsea bisa jadi kekuatan baru di Inggris dan Eropa berkat uang minyak dari Rusia. MU jadi klub terkaya sedunia –menggantikan Real Madrid— juga terjadi pada era Glazer. Maka, terasa naif dan ironis jika Inggris kini meributkan kedatangan Al Fahim.

Lagipula, di dunia sepak bola, masih berlaku “teori” bahwa uang tak bisa membeli gelar juara. Kalaupun bisa, itu hanya sementara. Selanjutnya, bakat dan kualitas juga yang pada akhirnya lebih berbicara.

Kita sudah melihat bagaimana Real Madrid menggelontorkan triliunan rupiah untuk membeli hampir semua bintang terbaik dunia pada kurun waktu 2000-2006. Hasilnya, mereka memang sukses dua kali meraih gelar juara La Liga, Liga Champions, dan Piala Raja.

Namun, begitu era Zidane –primadonanya “Los Galacticos”— berakhir, usai pula kejayaan Madrid. Takhta sepak bola Eropa kini beralih ke tangan klub-klub Liga Primer.

Hal yang sama telah dialami Chelsea. Setelah menguasai Liga Primer dua musim beruntun pada 2005-2006, kini “The Blues” harus merelakan kembalinya “Tim Setan Merah” sebagai penguasa Liga Primer.

“Hikayat” Al Fahim di City pun rasanya tak akan jauh berbeda. Mungkin benar ia bisa mendatangkan 18 pemain megabintang untuk musim 2009/2010. Mungkin juga benar, dengan modal 18 bintang hebat itu, City akhirnya sukses menjuarai Liga Primer. Bahkan mungkin Liga Champions pada musim selanjutnya.

Namun tak ada jaminan sukses itu akan bertahan lama. Bisa dua musim seperti Chelsea sudah bagus, namun untuk bertahan hingga enam musim seperti Madrid akan sangat sulit. Sebab fondasi tim City tak sekuat Madrid maupun Chelsea.

Belum lagi ancaman datangnya konglomerat lain yang –siapa tahu— lebih kaya lagi dibanding Al Fahim. Ini bukan mimpi atau utopia karena publik Inggris juga pernah berpikir seperti itu saat Abramovich pertama kali mendarat di London.

Maka, biarkan uang Al Fahim bicara. Biarkan ia mendatangkan Kaka, Gianluigi Buffon, David Villa, atau entah siapa lagi. Biarkan juga ia mengubah peta persaingan Liga Primer tak lagi sebatas “The Big Four”, tapi meluas jadi “The Big Five”, “The Big Six”, atau apapun namanya.

Faktor kunci yang membuat permainan sepak bola jadi menarik adalah elemen kejutannya. Nah, orang-orang seperti Al Fahim punya kuasa menciptakan elemen-elemen kejutan itu. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 15 September 2008)

1 komentar:

Frederick mengatakan...

Ok ga ada yang bisa menghalangi Al Fahim dll menghambur2kan uangnya di sebuah klub sepakbola, tapi jujur, saya agak kurang sreg kalo itu terjadi di klub favorit saya, hehe.. Karena menurut saya sepakbola bukanlah mengumpulkan 11 orang berharga triliunan dan gaji ratusan ribu poundsterling perminggunya. AC Milan season 2006-2007 contohnya...
Apalagi dia pasti juga bukan fans Man City, hehe..