Jumat, September 19, 2008

Kita Kehilangan “Karakter” Bang Ronny

SEPAK bola Indonesia berduka. Siang ini, Indonesia kehilangan mantan pemain nasional era 1970 dan 1980-an, Ronny Pattinasarany. Ia meninggal dunia dalam usia 58 tahun di Omni Medical Centre, Jakarta Timur, pukul 13.30 WIB.

Kepergian Bang Ronny –demikian sapaan akrab saya kepadanya— mungkin tak terlalu mengagetkan para sahabat dan kenalannya. Pasalnya, ia sudah cukup lama menderita kanker hati, paru-paru, dan tulang belakang. Bahkan sempat menjalani pengobatan di Cina, sebelum kembali ke Jakarta, 31 Agustus lalu.

Kanker ganas itu semula hanya menggerogoti pankreas Bang Ronny. Namun kemudian menjalar ke lever sebelum dipastikan ikut menghancurkan tulang belakang dan paru-parunya. Makanya, saat dibawa ke Omni Medical Centre, kondisi Bang Ronny terlihat sudah sangat lemah.

Saya mendapat kabar bahwa jenasah Bang Ronny akan dikebumikan pada Minggu (21/9) nanti. Rencananya, ia bakal dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak-anaknya.

Tentu saja, saya ikut merasa kehilangan atas kepergian lelaki jangkung yang simpatik itu. Meski bukan tergolong sahabat dekatnya, setidaknya saya pernah cukup sering bertemu dan berinteraksi dengan Bang Ronny selama bergabung di tim RCTI Sports.

Hampir tujuh tahun, 1995-2002, kami sama-sama jadi komentator di stasiun televisi yang dulu dimiliki Grup Bimantara itu. Kadang kami sekadar berpapasan saat bergantian masuk studio, tapi tak jarang pula duduk semeja sebagai sesama komentator.

Ada dua hal yang selalu saya ingat tentang sosok Bang Ronny sebagai komentator. Yang pertama, Bang Ronny sering sekali melontarkan pernyataan ini: “siapa yang menguasai lini tengah, dialah yang akan menguasai pertandingan”.

Saya termasuk yang kurang setuju terhadap hipotesis tersebut. Tapi cukup banyak komentator lain yang sempat mengikuti arus pemikiran Bang Ronny. Meski, belakangan, hipotesis ini mulai ditinggalkan karena fakta di lapangan sering menunjukkan hal yang justru bertolak belakang.

Tapi saya sangat memahami mengapa Bang Ronny punya pandangan seperti itu terhadap permainan. Sebab beliau menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai pemain lini tengah –bahkan pengatur serangan alias playmaker— yang disegani kawan maupun lawan.

Saya bersyukur beberapa kali pernah main bola dalam satu lapangan dengan Bang Ronny. Dan selalu berada di tim yang jadi lawannya. Selama itu pula, tim saya selalu kalah dan saya dibuat terpukau oleh sentuhan-sentuhan Bang Ronny yang tetap luar biasa hingga masa tuanya.

Hal kedua yang selalu mengingatkan saya kepada Bang Ronny adalah kata “karakter”. Boleh percaya atau tidak, dalam setiap ulasannya Bang Ronny nyaris tak pernah alpa menyisipkan kata “karakter” tersebut beserta konteksnya.

Saya dan teman-teman sering tersenyum simpul setiap kali kata “karakter” itu terlontar dari mulut Bang Ronny. Itulah ciri khas beliau. Itu sekaligus pula menggambarkan pandangan Bang Ronny mengenai permainan.

Bang Ronny begitu peduli dan mementingkan aspek karakter itu. Dan, kepada saya, beberapa kali ia mengutarakan keprihatinannya terhadap para pemain Indonesia masa kini yang dinilainya kurang berkarakter. Mungkin karena itulah ia kemudian memilih menceburkan diri dalam pembinaan pemain usia dini lewat SSB AS-IOP.

Sudah agak lama saya tak mendengar kata “karakter” itu meluncur dalam ulasan-ulasan Bang Ronny di televisi –khususnya setelah ia divonis menderita kanker hati sejak Desember 2007. Sekarang, saya bahkan kehilangan kesempatan mendengarkannya lagi untuk selama-lamanya. Selamat jalan, Bang! *

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sayang saya belum pernah liat Bung Ronny bermain bola. Tapi saya yakin, dengan banyaknya prestasi yang pernah dicapai, almarhum adalah seorang pemain besar dan disegani di jamannya.

Selamat jalan Bung Ronny... Terima kasih untuk semuanya...