Rabu, September 24, 2008

Setelah Fathul dan Dian, Apa Masih Perlu Korban Berikutnya?

SAYA pikir tewasnya Fathul Mulyadin yang dianiaya oknum suporter Persipura Jayapura di kawasan Senayan, 6 Februari lalu, akan menjadi musibah maut terakhir dalam persepakbolaan Indonesia. Maklum, kejadian tersebut sudah membawa dampak yang lumayan hebat terhadap kelangsungan kompetisi sepak bola nasional.

Kala itu, Menegpora Adhyaksa Dault sampai melarang Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) digunakan untuk menggelar pertandingan tingkat nasional. “Stadion ini hanya untuk pertandingan internasional dan tidak boleh digunakan PSSI untuk pertandingan tingkat nasional, baik itu Liga Indonesia maupun Copa Indonesia,” Adhyaksa menegaskan, kala itu. “Sayang ‘kan dana Rp 90 miliar yang sudah dikeluarkan untuk membenahi stadion itu.”

Efek bola saljunya pun lumayan merepotkan. Persija Jakarta sempat tak boleh menggelar pertandingan di SUGBK. Alhasil, tim Ibukota ini sampai harus numpang “sana-sini” untuk menggelar laga kandangnya.

Larangan itu baru saja dicabut, awal bulan ini. Senin (22/9) lalu, “Tim Macan Kemayoran” sukses menggelar partai kandang versus Arema Malang di SUGBK –tak ada keributan dan tim tuan rumah menang 1-0. Dua pekan sebelumnya, Persija juga menjamu PSIS di SUGBK dan menuai kemenangan besar 5-0.

Tiba-tiba saja, kita dikejutkan lagi oleh berita tewasnya seorang pendukung Persitara Jakarta Utara atau akrab disapa NJ Mania. Pendukung bernama Dian Rusdiana ini tewas pada Minggu petang setelah menjalani perawatan di RSCM, Jakarta Pusat.

Kabarnya, remaja warga Pademangan Barat, Jakarta Utara, itu menjadi korban penyerangan sekelompok “orang tak dikenal” usai laga Persitara melawan Pelita Jaya di Stadion Lebak Bulus, Sabtu (20/9) malam. Dian dan kawan-kawannya diserang sekelompok pemuda di depan pintu tol Pondok Pinang, Jakarta Selatan, dalam perjalanan pulang dari stadion.

Akibat pengeroyokan itu, Dian mengalami luka di belakang kepala. Semula, luka itu dianggap tak begitu parah sehingga Dian masih diizinkan pulang. Namun, kondisinya kemudian memburuk keesokan harinya sehingga harus dilarikan ke RSCM. Di sanalah, akhirnya, Dian dijemput malaikat maut dalam usia baru 16 tahun.

Saya pun nyaris kehilangan kata-kata untuk menyikapi peristiwa tragis ini. Sebab, bagi saya, selembar nyawa manusia jauh lebih berharga di atas segalanya –kemenangan, gelar juara, solidaritas, fanatisme suporter, atau apapun.

Sudah barang tentu, kasus ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Polisi harus mengusutnya secara tuntas –tak peduli pelakunya dari kelompok mana dan siapa di belakang mereka. Jangan biarkan kasus Dian “berlalu” begitu saja seperti kasus tewasnya Fathul.

Sepak bola dan kompetisi Liga Indonesia digelar untuk tujuan-tujuan yang jauh dari sifat kekerasan. Jika niat yang mulia itu tak bisa diwujudkan dan justru dampak negatifnya yang lebih menonjol, jangan salahkan jika publik semakin alergi terhadap pertandingan sepak bola di Tanah Air. Sepak bola memang penting, tapi nyawa manusia jauh lebih penting! *

Tidak ada komentar: