Selasa, Oktober 07, 2008

Mourinho dan Mulut Besarnya Itu

KEHADIRAN Jose Mourinho di panggung kompetisi Seri A benar-benar membawa warna baru. Kebiasaannya mengumbar kata-kata pedas telah menjadikan kompetisi paling bergengsi di Italia itu terasa lebih hidup, bergairah, sekaligus “makin panas”.

Meski kompetisi baru seumur jagung, Mourinho sudah buka front di sejumlah “medan pertempuran”. Dengan Direktur Sport Catania, Pietro Lo Monaco, ia terlibat perang kata-kata yang menjurus kasar. Lo Monaco bahkan sampai menyatakan “sumpal saja mulut Mourinho” saking kesalnya terhadap arogansi pelatih baru Inter Milan itu.

Tak kalah seru perang kata-katanya dengan Claudio Ranieri. Inilah pelatih yang tergusur dari kursi kepelatihan Chelsea saat Mourinho datang dengan predikat juara antarklub Eropa yang diraihnya bersama FC Porto musim 2003/2004.

Ranieri mengecam Mourinho sebagai pribadi yang tidak terpuji dan bakal segera “termakan” oleh omongannya sendiri. Tanpa basa-basi, “The Special One” balas mengejek Ranieri yang tak becus mengucapkan kalimat sederhana semacam “good morning” padahal pernah empat tahun menangani Chelsea. Mourinho juga mengkritik Ranieri sebagai sosok pelatih kuno dan sulit mengubah cara berpikirnya.

Masih ada lagi sejumlah front lain yang dibangun Mourinho pada awal kehadirannya di “Negeri Pizza”. Ia menyerang Carlo Ancelotti, pelatih AC Milan yang pernah meledeknya karena tak punya latar belakang sebagai pemain hebat. “Mungkin ia lupa, permainan terbaik Milan justru saat ditangani Arrigo Sacchi,” katanya, menyindir. “Dan, seperti saya, Sacchi juga tak pernah jadi pemain hebat.”

Dengan gagah berani, Mourinho juga menantang pers Italia dengan hanya mengirim asisten pelatih Giuseppe Baresi saat jumpa pers usai mengalahkan Lecce. Sebuah sikap yang jamak terjadi di Liga Primer, namun jarang sekali dilakukan para pelatih klub Seri A.

Sederet pertempuran yang dilancarkan Mourinho pada awal musim 2008/2009 ini membuat kompetisi Seri A langsung “panas”. Tak lagi adem-ayem dan menjemukan seperti pada musim-musim sebelumnya.

Yang menarik, Mourinho tampak tenang-tenang saja menghadapi situasi bergejolak itu. Ia tetap tenang, percaya diri, bahkan terus mengendalikan permainan –kalau perlu dengan melancarkan taktik mengaku “kalah”.

Simak saja caranya menyudahi perseteruan dengan Ranieri yang dirasanya mulai menguras energi. “Dia bicara sekali dan dia senang, dia bicara dua kali dan dia lebih senang. Dia bicara tiga kali dan senyum di wajahnya mengembang. Saya bicara sekali saja dan dia sedih,” katanya, menyindir. “Cukup sampai di sini. Skor 3-1 untuknya namun gol saya sangat indah.”

Begitu juga ketika menghadapi tekanan dari pers Italia soal ketidakhadirannya dalam jumpa pers. Mourinho tak kehabisan akal untuk membalikkan keadaan. “Dalam karier saya yang pendek, saya sudah 20 kali mengirim asisten ke konferensi pers. Dan di kesempatan ke-21, disebut tidak menghormati pers. Apa masalahnya?” katanya, sengit.

Ia pun kemudian membeberkan fakta bahwa Baresi sengaja dipilih karena dinilai mengerti betul sejarah Inter. “Saya memilih orang-orang yang bisa mewakili klub dengan martabat dan berkelas. Masalahnya, Anda tidak menghormati orang seperti Baresi,” katanya, menyerang balik.

Alangkah cantiknya “serangan balik” Mourinho itu. Dari perspektif komunikasi, ia tak hanya membuat kalangan pers Italia mati kutu. Lebih dari itu, ia sukses membangun pencitraan yang sangat positif bagi dirinya, Baresi, bahkan Inter Milan sebagai institusi yang mempekerjakannya.

Dari kasus perang kata-kata Mourinho dan pers Italia ini, kita mulai bisa menyelami pola pikir pelatih asal Portugal itu dengan perspektif yang lebih positif. Kuncinya adalah tidak terjebak dalam pemaknaan verbal semata terhadap setiap kata-kata pedas yang dilontarkannya.

Pernyataan dan sikap Mourinho memang mudah bikin jengkel –apalagi bagi para pesaingnya. Tapi, jika ditelisik lebih jauh, sepertinya ia memang sengaja membangun kejengkelan publik itu untuk tujuan lain yang lebih besar.

Dalam kasus Inter, saya “curiga” ia sengaja menempatkan diri sebagai sasaran tembak bagi pers dan “barisan anti-Inter”. Dengan demikian, ia bisa menjauhkan Adriano dan kawan-kawan dari sorotan pers Italia yang terkenal “kejam”.

Pers pun jadi lupa terhadap problem gaya hidup Adriano. Mereka juga tak terlalu cermat mengamati performa Ricardo Quaresma yang kurang mengesankan. Bahkan kekalahan dalam derby Milan pun “terlupakan” karena fokus perhatian publik lebih tertuju kepada sang pelatih.

Mourinho mungkin bukan tipe pelatih yang gaya manajemennya bisa ditiru. Namun, setidaknya, ia bisa jadi alternatif yang menarik sekaligus memberi warna tersendiri. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 6 Oktober 2008)

Tidak ada komentar: