Senin, Oktober 27, 2008

Ketika Rooney Lupa Kulitnya

ADA insiden kecil yang sangat menarik saat Manchester United (MU) bertandang ke Stadion Goodison Park, Sabtu (25/10) lalu. Lawatan ke kandang Everton itu, selalu jadi acara “pulang kampung” yang tak ramah bagi Wayne Rooney, striker andalan “Tim Setan Merah”.

Benar saja. Sepanjang pertandingan, ejekan publik tuan rumah terus mengiringi Rooney setiap kali ia memegang bola. Provokasi suporter “The Toffees” memuncak pada menit ke-69 ketika Rooney menjatuhkan Mikel Arteta –salah satu pemain kesayangan pendukung Everton— dan akibatnya ia diganjar kartu kuning.

Bagi saya dan mungkin banyak penonton lain, itu sebenarnya pelanggaran biasa. Tapi, ketika wasit Alan Wiley melihatnya berbeda dan menganggapnya layak diberi kartu kuning, itu juga hal biasa. Itulah “wilayah” kekuasaan wasit yang tak bisa kita campuri selama pertandingan bergulir.

Saya rasa Rooney juga mengerti hal itu. Bahwa wasit memiliki otoritas dalam membuat penafsiran yang acapkali sangat subjektif terhadap sebuah pelanggaran atau insiden dalam satu pertandingan. Dalam posisi sebagai pemain tim tamu dan bermain di depan suporter mantan timnya, saya mengira Rooney akan menerima kartu kuning itu dengan legawa.

Reaksi Rooney sungguh di luar dugaan. Dalam “iringan” riuh-rendah cemoohan publik Goodison Park, Rooney justru kehilangan kontrol. Tak kalah sengit, ia merespons reaksi publik dengan mencium kaos MU tepat di bagian logo klub juara bertahan Liga Primer itu.

Insiden kecil itu nyaris membawa “malapetakan” bagi Rooney maupun timnya. Wasit langsung mendekati striker berusia 23 tahun itu dan memberinya peringatan. Tentu saja, peringatan itu sama sekali tak dihiraukan oleh Rooney.

Untunglah pelatih MU, Alex Ferguson, cepat tanggap dan tak mau ambil risiko. Dua menit berselang, ia menarik Rooney keluar dan menggantikannya dengan Nani. Sebuah keputusan yang tepat dan bijak.

Jika dibiarkan meneruskan pertandingan, kartu merah bukan tak mungkin keluar dari saku wasit. Sekarang ini saja kasus Rooney bisa dipastikan masuk agenda Komisi Disiplin FA setelah wasit Wiley memberikan laporannya. Setelah membahas laporan itu, FA akan memutuskan apakah insiden itu cukup serius untuk ditindaklanjuti atau tidak.

Bahkan Rooney berpotensi “merusak” dirinya lebih jauh lagi jika dibiarkan terus main. Seperti pernah dilakukannya terhadap wasit Kim Milton Nielsen pada pertandingan Liga Champions lawan Villarreal, 14 September 2005 lalu.

Sungguh ironis, dilema elementer seperti ini masih menimpa pemain sekaliber Rooney. Selaku bintang tim sebesar MU dan juga anggota skuat inti tim nasional Inggris, mestinya Rooney sudah “selesai” dari ujian mental seperti ini. Bahkan mestinya sejak pertama kali meninggalkan Everton dan berlabuh di Old Trafford pada awal September 2004.

Maklum, dulu ia begitu menggebu-gebu menunjukkan kecintaannya terhadap Everton, klub yang membesarkannya. “Sekali biru, akan selalu biru”, begitulah ia menggambarkan fanatismenya terhadap Everton yang memang menjadikan biru sebagai warna kebesarannya.

Dalam era industri sekarang ini, terbukti fanatisme terhadap satu klub tak berlaku lagi bagi seorang pemain. Setiap saat ia harus siap pindah dan beralih ke tim lain –bahkan yang tergolong musuh bebuyutan tim idolanya.

Toh, itu bukan masalah besar jika pemain bisa menyikapinya secara dewasa. Rooney mungkin bisa belajar dari Raul Gonzalez. Sebagai bintang yang “dibuang” Atletico Madrid, ia membayar kepercayaan Real Madrid dengan gol-golnya dalam “El Derbi Madrileno”. Atau Rooney bisa belajar dari cara Luis Figo menghadapi hujatan suporter Barcelona yang tak rela ia menyeberang ke Real Madrid.

Cemoohan dari suporter tim lama adalah risiko bagi setiap pemain yang pindah ke klub lain atas kemauan sendiri. Entah untuk meningkatkan karier atau demi penghasilan lebih baik. Cemoohan itu mestinya disikapi sebagai ungkapan rasa cinta yang tak berbalas.

Rooney sepatutnya menikmati saja cemoohan itu, bahkan melihatnya sebagai pujian dalam bentuk lain. Meladeninya dengan sikap provokatif justru hanya akan membuatnya semakin dibenci. Sekaligus membuatnya seperti “kacang yang lupa kulitnya”. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 27 Oktober 2008)

Tidak ada komentar: