Senin, Oktober 20, 2008

“Sport Jantung” Bersama Liverpool

PEMEO bahwa bola itu bundar seperti menemukan pembenarannya dalam lanjutan kompetisi Liga Primer putaran kedelapan, pekan lalu. Khususnya pertandingan Liverpool lawan Wigan yang ditayangkan langsung oleh stasiun televisi tvOne. Sepanjang pertandingan, entah berapa kali hati kecil kita dipaksa “keliru” memprediksi seperti apa jadinya akhir duel nan seru ini.

Kebanyakan orang mungkin yakin Liverpool bisa menang karena rekor kandang mereka sepanjang tahun 2008 lumayan dahsyat. “The Reds” tidak terkalahkan dari 13 pertandingan di Stadion Anfield –10 di antaranya berbuah kemenangan.

Tapi keyakinan itu menjadi berkurang karena lini belakang Liverpool tak diperkuat bek kiri Fabio Aurelio dan bek tengah Martin Skrtel. Aurelio sudah biasa diganti Andrea Dossena. Tapi Daniel Agger yang mengisi posisi Skrtel sudah 13 bulan tak mencicipi ketatnya pertandingan Liga Primer.

Semakin berkurang karena absennya striker andalan Fernando Torres. Seperti halnya kapten Steven Gerrard, Torres ibarat sebelah kaki bagi Liverpool. Tanpa Torres atau Gerrard, permainan Liverpool jadi pincang. Tanpa keduanya sekaligus, mungkin malah “lumpuh”.

Keyakinan suporter Liverpool juga sangat terganggu oleh faktor pelatih Wigan, Steve Bruce. Empat kali tandang ke Anfield membawa dua tim berbeda, Birmingham dan Wigan, Bruce tetap bisa pulang dengan kepala tegak. Latar belakang sebagai bek tengah Manchester United (MU) era 1980-an tampaknya sangat menolong Bruce dalam memahami cara menjinakkan Liverpool.

Ah, benar saja. Tak sampai 30 menit, Liverpool sudah dibuat tertinggal oleh gol striker maut Wigan, Amr Zaki. Mudah diduga, gol itu berawal dari kesalahan Agger saat menguasai bola di depan gawang Jose Reina. Kesalahan yang ironisnya justru berawal dari kepercayaan diri yang kelewat besar di sebuah laga perdana.

Benar, Agger kemudian membayar lunas kesalahan itu dengan assist kepada Dirk Kuyt. Tapi magis Bruce kembali menemukan jalannya lewat “gol ala Widodo C. Putro” yang dilesakkan Zaki dengan aksi akrobatik menjelang akhir babak pertama.

Sampai di situ, kebanyakan orang mulai meragukan kesanggupan Liverpool merealisasikan predikat barunya sebagai “King of Comeback”. Meski musim ini mereka sudah tiga kali membuktikannya saat menghadapi MU, Middlesbrough, dan Manchester City.

Sampai pertengahan babak kedua, juga tak ada tanda-randa drama itu bakal berulang. Pertahanan berlapis Wigan seperti “sarang burung” yang penuh liku dan memerangkap para pemain Liverpool. Tak ada tanda-tanda bakal bisa ditembus.

Namun “bola yang bundar” itu akhirnya menggelinding ke sisi yang lain setelah Antonio Valencia diganjar kartu merah. Inilah momentum yang ditunggu-tunggu Steven Gerrard dan kawan-kawan untuk menemukan pintu masuk ke “sarang burung” pertahanan Wigan.

Serangan lawan yang bergelombang dan cepat membuat kaki Mario Melchiot dan kawan-kawan mulai gontai, kelelahan. Mereka tak kuat lagi mengikuti pergerakan Jermaine Pennant dan Albert Riera yang terus meneror dari dua sisi lapangan. Gol Riera dan kemudian tendangan voli indah Kuyt pun seperti tinggal soal waktu saja.

Itulah kenikmatan menonton sepak bola yang sebenarnya. Ada kombinasi yang sempurna antara keraguan dan keyakinan, kelelahan dan kegigihan, kegagalan dan keberuntungan, kekecewaan dan kebanggaan, serta –tentu saja— kekalahan dan kemenangan. Semuanya tak bisa diprediksi kehadirannya. Sehingga penggemar Liverpool dipaksa terus “sport jantung” saat menyaksikan tim favoritnya beraksi.

Hanya saja, jantung termasuk organ tubuh yang rapuh. “Sport jantung” yang kelewat sering hanya akan membawa penyakit, bahkan mungkin kematian –berupa kekalahan, tentunya. Dan, jika Liverpool tak segera membenahi kebiasaan tampil buruk pada babak pertama, “kematian” itu bisa saja terjadi saat Liverpool bertandang ke markas Atletico Madrid atau Chelsea pada pekan mendatang. Atau sebaliknya? ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor, edisi 20 Oktober 2008)

Tidak ada komentar: