Senin, November 03, 2008

Argentina Memang Butuh Maradona

JIKA dibuat perumpamaan, tim nasional (timnas) Argentina itu ibarat sedan Rolls Royce. Hampir seluruh bagian mobil ini terbuat dari bahan pilihan yang terbaik dan sudah tentu harganya sangat mahal. Wajar jika gengsinya tinggi dan performanya bikin bangga.

Hanya saja, kata Diego Maradona, kini “Tim Tango” lebih mirip Rolls Royce yang dekil. Debu dan kotoran bertebaran di sekujur tubuhnya. Sebagian komponen mobil mungkin juga tak berfungsi secara maksimal karena jarang dimanfaatkan.

Makanya, performa Argentina dalam lima bulan terakhir ini sangat mencemaskan. Mereka hanya mampu mencatat enam kali hasil imbang sebelum menang atas Uruguay. Itu pun langsung disusul kekalahan dari Cile –pertama kalinya dalam 35 tahun terakhir.

Di ajang kualifikasi Piala Dunia 2010 pun demikian. Setelah melewati 10 partai, Lionel Messi dan kawan-kawan hanya menghuni posisi ketiga klasemen sementara Zona Amerika Selatan – di bawah Paraguay dan rival abadinya, Brasil. Argentina bahkan terpaut tujuh angka dengan Paraguay.

Memang, situasinya belum bisa dibilang gawat untuk ukuran normal. Dengan sisa 10 pertandingan lagi, pelatih Alfio Basile akan sangat mampu membawa Javier Mascherano dan kawan-kawan ke putaran final di Afrika Selatan.

Tapi itu untuk ukuran normal. Masalahnya, ini Argentina. Kita bicara tentang tim dengan standar tersendiri. Bagi publik Argentina, performa “Tim Tango” di bawah Basile sudah sampai pada taraf merisaukan sehingga Basile harus dicopot.

Standarnya memang sangat tinggi. Ekspektasi publik terhadap “Albiceleste” bahkan mungkin melebihi pengharapan publik sepak bola di negeri semacam Jerman atau Inggris terhadap tim nasionalnya.

Dalam kondisi seperti sekarang, ditambah ekspektasi publik yang sama sekali tak berkurang, Argentina memang tak punya pilihan selain Maradona. Dialah satu-satunya “dewa sepak bola” negeri Amerika Latin itu yang tak seorang pun berani membantah pandangannya. Bahkan “si anak emas” Messi saja memilih menghindari konflik ketika Maradona mengkritik permainannya yang dinilainya egois.

Apalagi Maradona juga yang dengan jeli melihat kalau Rolls Royce ini sudah berdebu. Ia bahkan mengaku sudah tahu bagaimana cara membersihkan debu-debu itu agar sang sedan mewah bisa kembali menampakkan kilaunya.

Memang benar, pilihan terhadap Maradona bukan tanpa risiko. Seorang pemain jenius kadang tak cukup sabar melihat tim asuhannya tumbuh dan berkembang secara perlahan. Itu pernah dialami Hristo Stoichkov saat menangangi timnas Bulgaria (2004-2007). Juga terjadi pada Dejan Savicevic saat dipercaya menangani timnas Serbia-Montenegro (2001-2003).

Namun, saya yakin, Maradona akan lebih berhasil ketimbang dua rekannya tersebut. Pasalnya, ia tak sendirian mengurusi Rolls Royce ini. Ada Sergio Baptista dan Jose Luis Brown yang jadi asistennya. Keduanya mantan rekan setimnya di tim nasional.

Ia juga akan “dibimbing” oleh Carlos Billardo –pelatihnya saat Maradona mengangkat trofi Piala Dunia 1986— sebagai tangan kanannya. Tugas utama Billardo kelak berkeliling dunia memantau permainan para bintang Argentina di liga mancanegara. Dengan demikian, secara fisik, Maradona yang punya riwayat sakit jantung itu tak akan terlalu terbebani.

Seorang megabintang tak akan bisa benar-benar bersinar tanpa “pemeran pembantu” yang loyal dan berdedikasi di sekelilingnya. Maradona beruntung memiliki “Trio B” –Billardo, Batista, dan Brown— yang akan membantunya mengelola tim nasional dengan akal sehat dan etos kerja yang benar. Tapi kesediaan Maradona menerima “Trio B” itu sendiri menunjukkan perubahan sikap mentalnya yang sangat positif. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 3 November 2008)

Tidak ada komentar: