Kamis, November 13, 2008

PSIR Rembang, Stanley Mamuaya, dan Rasa Ikut Berdosa Itu

SATU lagi insiden memalukan terjadi dalam kompetisi sepak bola kita. Kejadiannya di Stadion Gelora Ambang Kota Mobagu, Rabu (12/11), saat Persibom Bolaang Mongondow menjamu PSIR Rembang dalam lanjutan kompetisi Divisi Utama Liga Esia.

Sejumlah pemain PSIR diduga kuat melakukan penganiayaan terhadap wasit Muzair Usman serta wasit cadangan Jusman R yang memimpin pertandingan itu. Seperti “biasa”, gara-gara tidak puas atas kepemimpinan wasit yang dianggap memihak tuan rumah.

Kejadiannya berawal ketika wasit Muzair yang berasal dari Kendari itu memberikan penalti kepada Persibom setelah salah satu pemainnya ditebas pemain PSIR di kotak terlarang. Tidak terima atas keputusan itu, sejumlah pemain PSIR yang dimotori beberapa pemain asal Sulawesi Utara langsung mengerubuti sang pengadil.

Tak sekadar mengerubuti, Stanley Mamuaya dan kawan-kawan juga menghadiahi “bogem mentah” sampai wasit Muzair tersungkur. Belum puas memukul, para pemain PSIR yang seperti kesetanan itu menginjak-injak aparat pertandingan sampai harus dilarikan ke rumah sakit karena babak belur. Muzair pun tak mampu melanjutkan tugas dan digantikan wasit cadangan Jusman.

Kejadian serupa nyaris menimpa wasit pengganti. Ia dikejar dan sempat ditelanjangi di tengah lapangan setelah memberikan kartu merah kepada dua pemain PSIR yang melakukan pelanggaran keras, Stanley dan Yongki Rantung. Pertandingan pun sempat terhenti beberapa kali. Sampai akhirnya ditutup dengan keunggulan Persibom 1-0 atas tim asal Jawa Tengah tersebut.

Bukan hasil akhirnya yang penting, namun insiden penganiayaan itu yang kemudian mencuat. Sampai-sampai Menegpora Adhyaksa Dault mengaku geram saat melihat tayangan peristiwa pengeroyokan itu di salah satu televisi swasta.

Adhyaksa meminta agar para pelakunya diseret ke jalur pidana karena aksi mereka dinilainya sudah menjurus kepada penganiayaan dan tindakan brutal. Bahkan ia juga mengharapkan agar pelaku pengeroyokan wasit itu dilarang main bola selamanya, karena mereka telah merusak citra sepak bola Indonesia.

Meskipun terdengar sangat keras, saya kira harapan Menegpora ada benarnya. Aksi Stanley dan kawan-kawan di Stadion Gelora Ambang memang sudah di luar batas kewajaran. Bahkan seperti memutarbalikkan logika akal sehat kita.

Betapa tidak. Mereka main di kandang lawan, tapi perilakunya melebihi kebiasaan para pemain tuan rumah. Stanley itu juga pemain senior yang sarat pengalaman dan pernah masuk tim nasional futsal, tapi tak bisa menjadikan dirinya teladan bagi para juniornya.

Yang menyedihkan, keberanian Stanley dan kawan-kawan ditunjukkan saat Komisi Disiplin PSSI tengah gencar-gencarnya menjatuhkan vonis. Dari Christian Gonzalez, Budi Sudarsono, Manajer PSIS, hingga Ketua Umum Persis Solo semua sudah “tersambar” ketukan palu Komdis. Tapi masih juga Stanley dan kawan-kawan nekat menunjukkan kebrutalannya.

Yang paling menyedihkan, dan ini sangat personal sifatnya, saya mengenal Stanley secara pribadi. Bahkan kami pernah main bola bersama-sama dalam satu tim, pertengahan Mei tahun lalu, di lapangan bola di belakang Kantor Walikota Tomohon, Sulawesi Utara.

Ketika itu, Stanley sempat meminta saya membantu dia mencarikan klub. Tapi saya hanya menjawabnya dengan senyum karena melihat perutnya saat itu mulai membuncit. Kegesitannya di lapangan juga sudah menurun. Belum lagi riwayat cederanya yang lumayan panjang.

Lebih dari itu, saya juga ingat cerita teman saya yang pernah jadi manajer klub tempat Stanley bermain. Menurut teman saya ini, ia nyaris memecat Stanley kala itu karena alasan indisipliner dan perilakunya yang sulit dikendalikan.

“Syukurlah”, saya tak pernah memenuhi permintaan Stanley untuk mendapatkan klub. Jadi, saya tak perlu merasa ikut berdosa kepada wasit Muzair dan Jusman. *

1 komentar:

ainul ridha, the nice seen mengatakan...

Bung Kusnaeni,

Apakah aku bisa dapatkan email addressnya. Ada hal yang ingin didiskusikan.

emailkan saja ke email aku bang.ridha@gmail.com

Terima kasih