Selasa, November 18, 2008

Bilardo, Maradona, dan Filosofinya

ADA satu cerita menarik ketika Carlos Bilardo memulai tugasnya sebagai pelatih tim nasional Argentina pada Januari 1983. Anda tahu, apa kegiatan pertama yang dilakukannya saat itu? Ya, benar: menemui Maradona!

Bilardo langsung memesan tiket penerbangan pertama ke Spanyol. Ia kemudian bergegas menuju markas Barcelona, klub tempat Maradona bernaung kala itu.

Tanpa sungkan, Bilardo menyatakan kepada Maradona bahwa ia membutuhkan tenaganya. Ia juga meminta kesediaan Maradona menjadi kapten tim “Argentina baru” yang hendak dia bangun.

Padahal, saat itu, karier Maradona agak terseok-seok di Barcelona. Salah satunya karena problem penyakit hepatitis yang sempat menyerangnya. Belum lagi permainan kasar yang dikembangkan para pemain belakang Spanyol membuatnya berkali-kali cedera.

Pengalaman tampil di Piala Dunia 1982 juga ikut mempengaruhi. Piala Dunia pertama bagi “El Pibe de Oro” itu berakhir cukup tragis. Argentina langsung tersingkir di penyisihan grup dan Maradona diusir wasit karena menendang pemain Brasil, Batista.

Toh, semua itu tak mengubah keyakinan Bilardo terhadap Maradona. Nalurinya mengantarkan dirinya kepada keyakinan yang teguh bahwa Madarona adalah sumber kekuatan yang dia butuhkan untuk membangun kembali “Tim Tango”.

Kepercayaan yang luar biasa itulah yang membuat Maradona terharu. Dengan serta-merta, ia menyambut uluran tangan Bilardo dan mengikrarkan pengabdian sepenuh hati. Dan kisah selebihnya, tinggal sejarah yang sudah kita ketahui bersama.

Satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari kisah Bilardo dan Maradona ini adalah pentingnya kepercayaan. Sebuah sukses besar ternyata bisa dimulai dengan modal utama kepercayaan seorang pelatih terhadap pemainnya.

Kepercayaan itulah yang membuat Maradona selalu tampil habis-habisan –bahkan “gila-gilaan”— untuk Argentina. Sebuah kombinasi yang hampir sempurna antara kemauan, kelicikan, kejeniusan, sekaligus kerja keras.

Saya masih ingat betul bagaimana Maradona menjelaskan filosofi bermainnya untuk tim nasional. “Hal pertama yang saya yakinkan terhadap diri sendiri adalah kesadaran bahwa membela tim nasional merupakan hal terpenting di dunia ini,” kata Maradona dalam otobiografinya. “Jika kami harus menempuh perjalanan ribuan dan ribuan kilometer, lakukan. Jika kami harus melakoni empat pertandingan dalam sepekan, mainkan. Jika kami harus tinggal di hotel kecil sehingga anggota tim harus terpisah-pisah, terimalah… Segalanya, segalanya untuk tim nasional, untuk bendera biru dan putih.”

Saya masih sering merinding setiap kali membaca kembali filosofi Maradona ini. Begitu jelas, lugas, tegas, dan sepenuhnya ia jalani dengan tindakan nyata. Itulah yang membuatnya begitu dicintai publik sepak bola Argentina –bahkan mungkin dunia.

Alangkah indahnya jika para pemain tim nasional Indonesia juga mengetahui dan kemudian mengikuti filosofi Maradona tersebut. Mungkin “Tim Merah Putih” tetap tak bisa sehebat Argentina, tapi saya yakin bisa jauh lebih baik dibanding sekarang. *

1 komentar:

Unknown mengatakan...

jiwa ini yang harusnya ditanamkan kepada para pemain indonesia, kita yakin bahwa indonesia juga bisa, hidup sepak bola nasional, Hidup ac milan dan hidup Liverpool