Senin, Februari 09, 2009

Komisi yang Disiplin Sendiri

DI TENGAH hiruk-pikuk pemberitaan mengenai PSSI pascakeluarnya Nurdin Halid dari Rutan Salemba, saya merasa kehilangan “seseorang”. Ada salah satu tokoh sepak bola nasional yang kerap muncul sebagai sumber berita penting namun belakangan seperti “hilang” dari peredaran. Dialah Hinca Panjaitan, Ketua Komisi Disiplin (Komdis) PSSI.

Boleh jadi, nama Hinca sekadar surut sejenak seiring periode jeda kompetisi Divisi Utama maupun ISL. Maklum, fungsi Komdis memang lebih banyak sebagai “pemadam kebakaran” untuk menjaga agar kompetisi tetap berjalan di atas relnya.

Tapi, yang menarik, suara Hinca juga hanya “lamat-lamat” terdengar saat isu-isu sensitif seputar kedisiplinan muncul ke permukaan. Khususnya, ketika Nurdin bagi-bagi bonus pengampunan –berupa Peninjauan Kembali (PK)— untuk sejumlah pihak yang divonis hukuman berat oleh Komdis. Dari Yoyok Sukawi, Kurnia Meiga, sampai para pemain PSIR Rembang yang secara brutal menganiaya wasit Muzair Usman di Stadion Gelora Ambang, 12 November lalu.

Tak jelas apakah pengampunan itu sepengetahuan atau direkomendasikan oleh Hinca dan Komdisnya. Yang jelas, dengan “bahasa kekuasaan” yang sebenarnya usang dan tak cocok untuk organisasi olahraga seperti PSSI, Nurdin selalu berkilah bahwa pengampunan merupakan hak prerogatif Ketua Umum.

Saya sendiri tak yakin Hinca berperan dalam pengampunan itu. Sebab, sejak memangku jabatannya pada awal Juli 2007, ia sudah menegaskan tekadnya untuk mengubah stigma negatif yang melekat pada Komdis. Ia juga bertekad menjadikan Komdis tak hanya sebagai pemadam kebakaran yang baru bereaksi setelah ada kejadian.

Makanya, Hinca dan Komdisnya kemudian berpayah-payah menyusun Kode Disiplin PSSI sebagai acuan bagi para pelaku kompetisi. Ada tiga aspek paling menonjol dalam Kode Disiplin yang memuat lebih dari 150 pasal itu, yakni perang terhadap rasisme, kerusuhan, dan obat-obatan terlarang.

Meski belum optimal, sebagian usaha Hinca sudah terasa hasilnya. Sepanjang putaran pertama kompetisi Divisi Utama dan ISL 2008/2009, Komdis telah menunjukkan ketegasannya dalam sejumlah kasus yang krusial.

Puluhan vonis berupa denda uang dan atau larangan bertanding sudah mereka keluarkan dan cukup menimbulkan efek jera di kalangan pelaku sepak bola nasional. Lihat saja para pemain asing berkulit hitam yang biasanya suka menghardik wasit secara kasar, kini mereka jadi lebih sopan dan mau mengontrol emosinya.

Pemain lokal yang biasanya “main kaki” sambil mengeroyok saat memprotes wasit, sebagian besar kini juga mau mengikuti prosedur dengan mewakilkan protesnya lewat kapten kesebelasan. Begitu pula pelatih dan ofisial tim, kini mereka tak lagi seenaknya mengambing-hitamkan pihak lain atas kekalahan timnya.

Sayang sekali, kerja keras Komdis itu kini seolah menjadi antiklimaks saat Ketua Umum PSSI kembali berkantor setelah menjalani dua pertiga dari dua tahun masa tahanannya. Alih-alih memperkuat eksistensi dan kewenangan Komdis, ia justru seperti melemahkannya dengan kebijakan pengampunan –atau apapun namanya— yang kontraproduktif.

Saya bisa membayangkan kegalauan hati Hinca dan jajarannya di Komdis saat ini. Kerja keras mereka menegakkan disiplin dalam kompetisi kita kini seperti nyanyian di tengah gurun. Sepi sendiri.

Maka, tak usah terlalu terkejut jika aksi kerusuhan kembali terjadi dalam pertandingan ISL putaran kedua antara Persiwa Wamena lawan Persipura Jayapura, Minggu (1/2) lalu. Tak usah heran juga jika nantinya aksi kekerasan serupa terjadi pada pertandingan lain. Siapa takut –toh, nanti bisa minta pengampunan kepada Ketua Umum?

Syukurlah, Komdis tidak patah arang dalam kekalutan ini. Mereka sudah langsung bereaksi menangani kerusuhan di Wamena itu. Hinca juga tak peduli jika mereka yang divonis bersalah dalam insiden itu nantinya kembali diampuni. “Tugas komdis hanya menghukum atau tidak menghukum. Kami akan menegakkan aturan. Soal nanti ada pengampunan atau tidak, itu bukan urusan kami,” katanya.

Jawaban itu, bagi saya, sangat lugas dan jernih. Semoga saja, Ketua Umum PSSI juga bisa menangkap maknanya yang tersirat dengan hati dan pikiran yang jernih. Jangan biarkan Komdis terpeleset jadi “komisi yang disiplin sendiri”. ***


(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor edisi 9 Februari 2009)

3 komentar:

Unknown mengatakan...

jadi inget orde baru ;))

Anonim mengatakan...

kasihan juga melihat kerja keras komdis. seperti sia-sia. menghukum pelaku ketidakprofesional utuk selanjutnya melihat mereka dibebaskan dari segala kesalahannya tanpa harus menjalani hukuman penuh. cuma formalitas doank.
mundurlah pak Nurdin. bapak tak harus merasa punya hutang pada sepakbola Indonesia. beri kesempatan yang lain.

mohon ijin bungkusnaeni; link-nya saya tampilin di blog saya.

berkunjunglah....

http://gibolti.blogspot.com

bangipung mengatakan...

bagaimana wasit mau tergas dlm memimpin pertandingan kalau ketua pssi-nya juga tdk tegas ?