Rabu, Mei 27, 2009

Ekstremisme Sepak Bola Polandia

BELUM lama ini, saya menonton tayangan yang sangat menarik di saluran BBC Knowledge. Berkisah tentang fenomena budaya geng yang telah merasuki –bahkan mulai merusak— persepakbolaan Polandia. Hasil liputan investigasi yang sangat berani dari aktor sekaligus jurnalis senior BBC, Ross Kemp.
Ada fakta menarik yang saya tangkap dari hasil liputan Kemp tersebut. Ternyata, geng-geng ekstremis sayap kanan kini sudah jauh menginfiltrasi alias menyusup ke jantung kelompok-kelompok suporter klub sepak bola di Ekstraklasa alias Divisi Utama Liga Polandia.
Sebut saja Wisla Krakow. Ternyata, klub elite Ekstraklasa yang konon memiliki suporter terbanyak di Polandia itu juga sudah jauh disusupi kelompok radikal sayap kanan. Mereka bahkan menduduki posisi penting dan sangat disegani di kalangan suporter klub juara Ekstraklasa 2008 itu.
Di Polandia, suporter Wisla mudah dikenali dengan atributnya yang berlambang “Bintang Putih”. Di dalam stadion, mereka kian mudah dikenali karena yel-yelnya yang sangat rasial. “Perang berlanjut setiap hari. Di jalanan, di manapun!” begitu sebagian lirik lagu-lagu mars mereka di Stadion Wisla.
Saat derby menghadapi Cracovia Krakow, tanpa segan mereka menghina suporter lawan dengan kata-kata, “Yahudi bau!” Mereka juga tak segan-segan memakai atribut Neo-Nazi lengkap dengan lambang swastikanya. Ya, para suporter ini umumnya memang sangat membenci kaum Yahudi dan pendatang asal Afrika yang merupakan etnis minoritas di Polandia.
Stylon, kelompok suporter lain di Gorzow, bahkan biasa menyanyikan lagu-lagu mars dengan lirik “mengerikan”. “Mereka harus mengulanginya”, demikian lirik sederhana itu berulang-ulang mereka kumandangkan. Anda tahu maksudnya? Percaya atau tidak, mereka berharap agar Holocaust –pembantaian jutaan orang Yahudi oleh Nazi pada Perang Dunia II— terulang lagi!
Aksi polovania kini jadi kebanggaan baru mereka. Sekelompok pendukung–biasanya 5, 10, atau 12 orang— membentuk geng tersendiri yang sengaja mencari dan menantang suporter tim lain untuk berkelahi. Tidak hanya ketika timnya main di kandang, tapi juga saat tandang ke kota lain.
Dengan cerdik, para pentolan suporter menanamkan nilai-nilai loyalitas dan persaudaraan di kalangan pengikutnya. Setelah identitas kelompok terbentuk, mulailah nilai-nilai ekstremisme sayap kanan yang merupakan gelombang fasisme baru ditanamkan dan jadi “falsafah perjuangan” mereka sebagai suporter.
Setelah menyimak tayangan berdurasi satu jam itu, dua hal terbersit di benak saya. Yang pertama, menurut saya, penyusupan para ekstremis sayap kanan ikut berperan di balik kemunduran prestasi sepak bola Polandia.
Mereka telah membuat kompetisi di “Negeri Solidaritas” itu jadi sarat kerusuhan dan para pemain tak nyaman berkompetisi. Akibatnya, bintang lokal ramai-ramai hengkang ke negara lain dan pemain-pemain asing berkualitas enggan main di Ekstraklasa.
Kalau pada era 1970-an Polandia masih disegani di ajang Piala Dunia dan Piala Eropa, kini mereka bahkan terseok-seok untuk sekadar lolos kualifikasi. Di tingkat klub, tim papan atas Ekstraklasa semacam Wisla atau Lech Poznan pun hanya mampu bersaing di level kualifikasi Liga Champions maupun Piala UEFA.
Yang kedua –dan ini jauh lebih penting, fenomena budaya geng dalam sepak bola Polandia itu membuat saya jadi risau terhadap persepakbolaan Indonesia. Betapa tidak, ciri-ciri awal munculnya fenomena itu kini juga bisa ditemui dalam persepakbolaan kita.
Kelompok-kelompok suporter fanatik bermunculan di berbagai kota basis sepak bola nasional. Sialnya, belum apa-apa mereka sudah terjerumus ke lembah ekstremisme dengan memusuhi kelompok suporter lain yang dianggap rival atau berseberangan.
Kerusuhan antarsuporter jadi “menu sehari-hari” dalam kompetisi kita. Saling serang itu bahkan tak hanya di dalam lapangan, namun sudah meluas ke luar lapangan. Bahkan muncul fenomena saling mengharamkan secara membabi-buta antarkelompok suporter tertentu.Ini sangat menyedihkan.
Polandia masih “beruntung” sempat jadi kekuatan yang disegani di dunia sebelum terjerumus dalam kekalutan ini. Kita belum menikmati masa keemasan itu, tapi sudah terdesak ke tubir jurang ekstremisme. Wahai para suporter, mari saling introspeksi: mau kita bawa ke mana masa depan persepakbolaan Indonesia? ***
(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor edisi 25 Mei 2009)

3 komentar:

HANDY AHMAD mengatakan...

ooooh jadi begitu toh cerita supporter poland.. mksh bung kus

Unknown mengatakan...

maaf Bung Kus..
mgkin komen ini tidak brkaitan dgn posting nya..
tp siapa tau aj Bung Kus bisa jawab..
saya mau tnya "Siapa nama komentator bhs inggris pada Liga Champions sebelum th 2010 yg disiarin RCTI ???"
Dia jg yg jadi komentator Piala Dunia 2006 dan Piala Dunia Antrklub 2009 kemarin...

Rara Resosentono mengatakan...

asslm..wr..wb
bung, masi ingat teman lama?
kuryasih sindang laut?

kalau masi ingat, krim email k saya ya..

smoga bsa myambung tali silatrahmi..