Rabu, Mei 27, 2009

Antara Mourinho dan Guardiola

KOMPETISI liga di Eropa tak lama lagi memasuki “putaran” akhir. Artinya, tak lama lagi kita akan menyaksikan sorak kemenangan beriringan dengan tangis kekalahan. Pekik keberhasilan bersahutan dengan teriakan geram pertanda kekecewaan.
Selalu ada yang menang dan kalah dalam sepak bola. Itulah keindahan olahraga ini. Setiap saat kita dihadapkan pada dua sisi kenyataan yang bertolak belakang. Tapi justru itulah yang mengasah mental setiap pelaku permainan si kulit bundar ini –juga atlet cabang olahraga lain, tentunya— untuk selalu bersikap sportif dan ksatria mengakui kelebihan lawan.
Yang menarik, belum lagi kompetisi berakhir, kita sudah menangkap sejumlah fenomena menarik seputar soal menang-kalah itu. Salah satunya dipertontonkan Jose Mourinho, pelatih Inter Milan yang kini tengah menguasai puncak klasemen Seri A.
Setelah mendengar Juventus ditaklukkan Genoa, Mourinho langsung menunjukkan “taringnya”. Menurutnya, gelar juara Seri A musim ini mungkin sudah bisa diraih Inter saat kedua tim bertemu Sabtu (18/4) mendatang di Stadion Olimpico.
Maklum, kemenangan akan membuat selisih poin Inter dan Juventus melebar jadi 13 angka. Meskipun masih ada 18 angka lagi dipertaruhkan hingga akhir musim, secara logika akan sangat sulit bagi Juventus mengatasi selisih poin sebesar itu.
Benar, sah-sah saja Mourinho sesumbar dan melontarkan komentar yang terdengar angkuh itu. Faktanya, Inter di tangan “The Special One” memang semakin perkasa saja di kancah kompetisi domestik.
Hanya saja, Mourinho melupakan prinsip paling mendasar dari setiap kemenangan. Bahwa kemenangan yang terindah didapat tanpa merendahkan lawan yang dikalahkan. Bahwa kemenangan itu sendiri sesungguhnya awal dari sebuah kekalahan yang akan datang pada suatu saat nanti.
Dengan segala arogansinya itu, tidak mengherankan jika Mourinho tak punya banyak sahabat di Italia. Banyak orang mengakui kehebatannya sebagai pelatih, tapi tidak banyak yang terkesan oleh kepribadiannya sebagai manusia.
Di sisi lain, kita melihat bagaimana Josep Guardiola begitu santun memuji Bayern Muenchen, tim yang akan dihadapinya pada laga kedua Liga Champions, Selasa (14/4) mendatang. Padahal, pada pertemuan pertama, pasukan Guardiola menggilas lawannya empat gol tanpa balas.
Toh, Guardiola tetap memuji keberhasilan Muenchen menang 4-0 atas Eintracht Frankfurt, akhir pekan lalu. Ia menganggap kemenangan itu sebagai pertanda bahwa lawannya tetap punya potensi menggagalkan tekad Barcelona melaju ke semifinal Liga Champions musim ini.
Boleh jadi, Guardiola sekadar bersikap diplomatis di balik rasa hormatnya terhadap Muenchen. Ia tidak seperti Mourinho yang tak pernah ragu menunjukkan karakter pribadinya. Tapi justru karena itulah Guardiola disukai kawan maupun lawan.
Tak bisa diingkari, sosok Mourinho memang tetap diperlukan sebagai “bumbu penyedap” dalam aroma persaingan di panggung sepak bola yang sudah menjadi industri besar ini. Tanpa orang-orang seperti Mourinho, sepak bola mungkin kehilangan gregetnya sebagai permainan paling digemari.
Namun, demi masa depan sepak bola, kesantunan Guardiola mungkin lebih kita butuhkan –bahkan sepatutnya disebarluaskan. Karena sikap arif dan sportivitas seperti itulah yang menjaga sepak bola tetap berada di koridor tradisi dan nilai-nilai universal yang membuatnya jadi olahraga paling populer sejagat raya. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor edisi 13 April 2009)

Tidak ada komentar: