Selasa, Desember 02, 2008

Menunggu Hasil “Renungan” Nurdin Selama 14 Bulan di Salemba

MESTINYA, ini menjadi “kabar gembira” bagi seluruh insan sepak bola Indonesia. Hore, PSSI kembali memiliki ketua umum dalam arti yang sebenarnya setelah Nurdin Halid dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (27/11) lalu.

Praktis, selama 14 bulan terakhir ini, sepak bola Indonesia seperti kehilangan muka di pentas pergaulan dunia. Betapa tidak, Nurdin yang jadi orang nomor satu di PSSI malah meringkuk di balik terali besi akibat kasus penyelewengan subsidi minyak goreng.

Pada 17 September 2007, Mahkamah Agung memvonis Nurdin dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan. Dia dinyatakan bersalah dalam pendistribusian minyak goreng Bulog senilai Rp 169,7 miliar saat menjabat sebagai Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia.

Sepanjang masa itu pula, sepak bola Indonesia seperti perahu yang berlayar mengarungi badai. Guncangan dan hantaman ombak silih berganti. Konflik dan polemik tiada henti. Sampai-sampai Menegpora Adhyaksa Dault meminta Nurdin secara ksatria mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PSSI demi kemajuan sepak bola nasional.

Permintaan Adhyaksa kala itu dilontarkan seiring datangnya tekanan dari FIFA terhadap legitimasi kepemimpinan Nurdin. FIFA juga menyoal sejumlah pasal dalam statuta PSSI yang tidak memenuhi Standar Statuta FIFA. Makanya, isu Munaslub sempat menggelinding kencang.

Hebatnya, Nurdin sama tak terusik oleh semua itu. ”Tidak ada munaslub dalam waktu dekat. Komposisi pengurus atau apa pun tidak perlu diubah, kecuali pada Munas 2011. Semuanya tetap berjalan sampai akhir periode,” kata Nurdin menanggapi semua itu (Kompas.com, 27/2/2008).

Dan, sejauh itu pula, Nurdin sanggup membuktikan pernyataannya itu. Tak ada Munaslub, tak ada perubahan komposisi anggota Komite Eksekutif, apalagi pergantian Ketua Umum PSSI!

Kiranya, dengan jujur kita harus mengakui bahwa Nurdin memang sosok yang “luar biasa”. Kesanggupannya mempertahankan jabatan ketua umum dari balik terali besi saja sudah menggambarkan keuletan dan daya cengkeramnya terhadap seluruh jajaran pengurus PSSI di pusat maupun daerah.

Dengan segala keluarbiasaannya itu, saya berharap pengalaman 14 bulan di Rutan Salemba “melewati malam-malam sunyi dan sendiri” memberi Nurdin waktu yang cukup untuk merenung. Ya, merenungkan kembali banyak hal tentang dirinya, keluarga, usaha, karier politik, serta –tentu saja— posisinya di PSSI.

Isyarat awal yang positif sudah dikemukakan Kadir Halid, adik kandung Nurdin. Menurut Kadir, kakaknya tak mau lagi masuk dalam wilayah politik praktis apalagi menjadi anggota DPR.

Jika benar demikian, itu sudah awal yang sangat baik. Selanjutnya, saya berharap Nurdin juga tergerak hatinya untuk tak mau lagi masuk dalam wilayah sepak bola praktis, apalagi menjadi Ketua Umum PSSI. Fokus hanya mengurusi bisnis dan keluarga mungkin akan jauh lebih bermakna bagi dirinya.

Tekad itu, semoga saja, datang dari hati nuraninya yang terdalam –bukan karena tekanan FIFA maupun Menegpora. Sehingga proses penyempurnaan statuta dan kemudian disusul pergantian ketua umum PSSI bisa berjalan lancar, terhormat, dan diakui legitimasinya.

Kita tunggu saja bagaimana hasil perenungan “Puang” selama menjalani hari-hari yang panjang di Salemba. Yang pasti, kita tentunya berharap itu semua membawa kebaikan bagi persepak bolaan nasional. *

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo Bung Kusnaeni aja yang jadi ketua PSSI gimana? :D

Ayo, Bung. Sekarang saatnya bagi yang muda. Hehehe ...

Salam sepakbola. Untuk sepakbola Indonesia yang lebih cerah.