Senin, Desember 01, 2008

Ironi Rasionalisasi Gaji Pemain

SALEH Ismail Mukadar akhirnya bertemu Bejo Sugiantoro dan kawan-kawan. Setelah sekian lama, Ketua Umum Persebaya Surabaya itu akhirnya “menemukan” waktu luang yang tepat untuk bertemu para pemainnya sendiri, Jumat (28/11) lalu. Itulah pertemuan yang sudah lama dinantikan para pelatih dan pemain “Tim Bajul Ijo”. Bahkan sempat diwarnai aksi gebrak meja oleh pelatih Freddy Mulli yang kehilangan kesabaran menghadapi persoalan internal timnya.

Sedikit aneh tapi nyata, memang. Tapi begitulah adanya. Keinginan para pemain dan pelatih Persebaya untuk bertemu langsung dengan ketua umumnya sendiri begitu sulit diwujudkan. Bahkan ada kesan para pengurus teras klub asal ibukota Jawa Timur itu ramai-ramai menghindar.

Tapi sikap Saleh dan pengurus Persebaya bisa dimengerti. Memang sulit harus bertemu pemain dan pelatih manakala gaji mereka belum terbayarkan. Lebih sulit lagi karena manajemen tim berseragam hijau-hijau itu harus menjelaskan pula alasan mereka merasionalisasi gaji pemain.

Ya, Persebaya memang menjadi tim kesekian yang menerapkan kebijakan rasionalisasi gaji. Inilah langkah tidak populer yang sedang menjadi “tren” di kalangan klub-klub Liga Indonesia –ISL maupun Divisi Utama— dan pada awalnya diterapkan di Persik Kediri.

Tidak hanya Persebaya dan Persik yang mencanangkan rasionalisasi gaji pemain. Kebijakan serupa juga sudah dijalankan tim-tim lain, seperti PSS Sleman dan PSM Makassar. Bahkan, tak mustahil, Persitara atau tim mapan seperti Persib Bandung pun pada akhirnya mengikuti. Apalagi Badan Liga Sepak Bola Indonesia sudah “merestui” dan menganjurkan langkah ini.

Bukan berarti tim-tim lain yang tak menerapkan rasionalisasi lebih baik kondisinya. Pemain Persibom, contohnya, sudah dua bulan ini gajinya selalu terlambat. “Tim Macan Kemayoran” Persija juga baru bisa melunasi uang panjar dan tunggakan tiga bulan gaji pemainnya pada awal pekan lalu.

Yang agak ekstrem Persikota. Ketua Umum Wahidin Halim bahkan menegaskan bahwa isu pembubaran timnya bukan sekadar wacana, melainkan sudah dipikirkan secara matang. Sebab kebutuhan tim per musim mencapai Rp 12 miliar, sedangkan pendapatan dari sponsor hanya Rp 1,2 miliar. Suntikan dana dari APBD sulit diharapkan karena terganjal Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Begitu pelik, memang, problematika finansial yang dihadapi klub-klub kita. Sebab, jujur saja, saat ini tak ada klub yang bisa menghidupi dirinya secara profesional. Dalam arti, seluruh pengeluarannya bisa dibiayai oleh dana yang masuk hasil pencarian sponsor, penjualan tiket masuk, jual-beli pemain, dan usaha-usaha lain yang sah.

Bagi klub seperti Arema Malang atau PKT Bontang, pembiayaan klub bisa dimasukkan dalam pos anggaran promosi atau biaya sosial yang setiap tahun memang dikeluarkan oleh perusahaan sponsornya. Tapi tidak demikian bagi tim semacam Persik atau Persebaya. Dana APBD masih menjadi “dewa penolong” bagi tim-tim seperti ini.

Maka, ketika keran APBD tersumbat, kucuran gaji dan pembayaran kontrak pemain pun ikut terhambat. Dan ketika kepastian tentang perolehan dana APBD tak kunjung datang, konsekuensinya ya rasionalisasi gaji atau bubar!

Inilah realitas buram sepak bola Indonesia. Dengan bangga kita bisa mengirimkan Sriwijaya FC (SFC) sebagai satu-satunya wakil ASEAN di babak utama Liga Champions Asia 2009. Tampilnya SFC adalah refleksi pengakuan AFC terhadap “kualitas” kompetisi kita –peringkat kedelapan menurut penilaian mereka.

Namun, di sisi lain, kemegahan kompetisi kita sesungguhnya dibangun di atas fondasi yang rapuh. Bahkan untuk sekadar mengarungi satu musim kompetisi, sebagian besar klub tak punya “business plan” yang matang. Sehingga, ketika berhadapan dengan krisis, mereka akhirnya harus berlindung di balik kebijakan semacam rasionalisasi gaji atau pembubaran tim yang sesungguhnya menggambarkan ketidak profesionalan mereka. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 1 Desember 2008)

Tidak ada komentar: