Jumat, Agustus 29, 2008

Menggugat Rasa Merdeka di Piala Kemerdekaan

TURNAMEN sepak bola Piala Kemerdekaan berakhir, semalam. Kejuaraan yang nama resminya “Pertamina Independence Cup 2008” itu berakhir dengan meninggalkan sejumlah kesan.

Bagi mereka yang terbiasa nonton tim nasional Indonesia, kesan paling melekat mungkin soal kuatnya “rasa merdeka” selama kejuaraan ini. Bukan karena nama turnamennya atau lantaran digelar menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-63.

Rasa “merdeka” yang saya maksud adalah keleluasaan yang begitu besar untuk menikmati semua pertandingannya. Bayangkan, semua pertandingannya ditayangkan oleh dua stasiun televisi yang “kebetulan sekali” masih satu grup.

Penonton yang datang langsung ke Stadion Utama Senayan pun sangat “merdeka” menonton semua pertandingan itu. Mereka bisa duduk santai sambil mengangkat kaki, tidur-tiduran, atau bahkan pindah-pindah kursi untuk mencari posisi nonton yang paling pas. Wong stadionnya memang kosong melompong.

Suasana turnamen kali ini membuat rekan-rekan saya dari kalangan pers merasakan betul arti “kemerdekaan” dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Jauh berbeda dengan suasana saat kita jadi salah satu tuan rumah Piala Asia 2007. Waktu itu, sebagai wartawan, rasanya kami betul-betul “dijajah” oleh aturan ekstraketat yang ditetapkan staf panitia dari Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) yang sok galak itu.

Namun, di balik “kemerdekaan” yang luar biasa kali ini, terselip kesedihan mendalam jauh di lubuk hati saya. Cuma sesedikit inikah para pendukung “Tim Merah Putih” –hanya dua ribuan orang per pertandingan? Ke mana lautan suporter kita yang begitu mengharu-biru seperti pada Piala Asia lalu?

Meski mulai bosan, lagi-lagi saya harus menyebut bahwa semua ini tanggung jawab PSSI. Kenyataan tragis ini adalah buah kegagalan PSSI sendiri –terutama Badan Liga Sepak Bola Indonesia— dalam membangun kekompakan dan semangat persaudaraan sesama suporter lewat kompetisi Liga Indonesia.

Akibatnya, saat tim nasional Indonesia bertanding di Jakarta, komunitas suporter asal kota lain yang punya riwayat permusuhan dengan pendukung Persija jadi enggan datang. Meski sangat ingin menonton langsung, mereka merasa lebih aman menikmatinya lewat layar kaca saja.

Begitu pula sebaliknya. Bila tim nasional bertanding di Bandung, misalnya, Jakmania pun niscaya berpikir puluhan kali untuk datang ke “Kota Kembang”. Sama halnya jika main di Malang, suporter Persik Kediri atau Persebaya Surabaya niscaya akan ragu juga untuk datang ke Stadion Gajayana atau Kanjuruhan.

Ini sungguh suasana yang tidak sehat bagi tim nasional kita. Dengan situasi seperti ini, “Tim Merah Putih” seperti dikerdilkan jadi milik sesaat kelompok suporter tertentu yang belum tentu siap mendukung Bambang Pamungkas dan kawan-kawan sepenuh hati.

Padahal, seperti di banyak negara lain, mestinya semua pecinta sepak bola Indonesia bisa “merdeka” mendukung tim nasional di mana pun tim itu bertanding. Mau main di Jakarta, Bandung, Malang, atau Jayapura toh mereka mengangkat bendera yang sama: Merah Putih!

Sungguh tragis manakala kenyataannya jadi seperti sekarang ini. Jakmania sedang merasa diperlakukan kurang adil oleh BLI dan PSSI karena Persija tak kunjung mendapat izin tampil di Stadion Utama Senayan. Mereka pun memilih “menarik diri”. Sementara itu, mereka yang punya latar belakang Persib, Persita, atau mungkin Persikabo ragu untuk “merapat”. Akibatnya, Stadion Utama Senayan pun jadi lautan bangku kosong.

Sampai kapan kita akan hidup dalam kepicikan seperti ini? Hanya Anda semua –suporter sepak bola Indonesia— yang bisa menjawab dan mengakhirinya. Saya hanya bisa berharap. ***

Tidak ada komentar: