Kamis, Agustus 28, 2008

“Los Galacticos” Tinggal Cerita

SEBUAH peristiwa menarik terjadi awal pekan ini di Liga Inggris. Pelatih Liverpool, Rafael Benitez, akhirnya menegaskan komitmennya untuk bertahan di Anfield hingga empat tahun ke depan. Di sisi lain, Benitez sekaligus menegaskan bahwa ia mengambil keputusan itu seraya menolak tawaran Real Madrid.

Di satu sisi, penegasan Benitez menunjukkan loyalitasnya kepada Liverpool, klub yang musim lalu dibawanya menjuarai Liga Champions. “Saya senang di sini dan saya akan tetap di sini. Target saya adalah tetap tinggal di sini dan terus berjuang bersama tim,” ujar Benitez, mantap.

Namun, sesungguhnya, bukan penegasan soal kesetiaan Benitez itu yang paling menarik. Bagi saya, yang lebih menarik justru sikap Benitez terhadap tawaran Madrid –mantan klubnya sebagai pemain junior maupun asisten pelatih dulu.

Tanpa tedeng aling-aling, Benitez menegaskan bahwa ia telah menolak pinangan Madrid. Meskipun, secara jujur, ia mengakui tawaran tersebut –seperti halnya pinangan Inter Milan— membuatnya bangga.

Ya, siapa yang tidak bangga diminta jadi pelatih atau pemain Madrid. Begitu banyak nama besar telah menyatakan “ya” begitu kesempatan emas itu tiba. Dari Zinedine Zidane, Luis Figo, Ronaldo, David Beckham, Michael Owen, Robinho, hingga pelatih Fabio Capello.

Kini, ada Benitez yang ternyata “berani” menolak pinangan Madrid. Padahal, Madrid bukanlah tantangan yang terlalu menakutkan baginya. Sebab Benitez punya pengalaman memulihkan kekuatan Valencia hingga akhirnya menguasai La Liga.

***

FENOMENA melemahnya daya tarik Madrid sebenarnya bukan baru muncul sekarang ini. Dan Benitez bukanlah “nama besar” pertama yang cukup berani mengatakan “tidak” kepada klub terkaya sejagat itu.

Musim lalu, kita sudah mendengar bagaimana Madrid begitu serius berupaya mendatangkan penyerang Arsenal, Thierry Henry. Mereka menggoda Henry dengan berbagai cara –bahkan hingga sekarang, menjelang akhir masa kontraknya di Arsenal. Sayangnya, sejauh ini, semua upaya tersebut tak membuahkan hasil.

Sebelum itu, Madrid juga pernah ditampik oleh Samuel Eto’o. Penyerang lincah asal Kamerun itu lebih memilih pindah dari Real Mallorca ke Barcelona. Meskipun ada motif pribadi di balik sikapnya, penolakan Eto’o tetap merupakan “penghinaan” tersendiri terhadap panji-panji kebesaran Madrid.

Masih ada sejumlah nama lain yang diketahui pernah menepis ajakan pindah ke Madrid pada akhir era kepemimpinan Presiden Florentino Perez. Sebut saja Francesco Totti (AS Roma) atau pelatih Arsene Wenger.

Ini jelas tamparan tersendiri bagi Perez dan Madrid. Pasalnya, pada era kepresidenannya, Perez sukses membangun Madrid jadi klub yang paling beken sejagat dan identik dengan julukan “Los Galacticos”. Sebab mereka hanya mendatangkan pemain dengan kategori megabintang.

Selama enam tahun era Perez inilah kita melihat Madrid membangun citra kebesarannya melebihi rival-rival abadinya di Eropa, seperti Barcelona, AC Milan, Juventus, dan Manchester United. Mereka membuktikannya lewat gelar Liga Champions 2001/2002 dan dua kali kampiun La Liga pada 2001 serta 2003. Masih harus ditambah lagi sukses menjuarai Piala Toyota, Piala Super Eropa, dan Piala Super Spanyol.

Namun keberhasilan itu harus ditebus mahal dengan hengkangnya sejumlah talenta muda, seperti Ivan Riki, Javier Portillo, dan lain-lain. Keberhasilan itu juga makan korban, setidaknya, tujuh orang pelatih dan empat direktur sport. Keberhasilan yang juga menelan biaya pembelian pemain 285 juta pound (sekitar Rp 4,6 triliun) plus 4 juta pound/tahun untuk membayar gaji masing-masing “galacticos” itu.

***

KINI, era “Los Galacticos” itu telah berakhir. Saat Perez turun dari takhtanya, mereka tertinggal 10 poin dari Barcelona di klasemen sementara. Mereka juga tersingkir di ajang Liga Champions dan Copa del Rey. Dan, jika kembali gagal menuai satu gelar pun musim ini, Madrid akan menyamai periode terburuknya pada 1950-1953.

Tim lain di Spanyol sah-sah saja dua tahun berurutan mengakhiri musim tanpa gelar. Bahkan Barcelona pernah hampa gelar selama enam tahun beruntun. Tapi tidak bagi Madrid. Itulah sebabnya Perez buru-buru mengambil “pensiun dini” begitu harapan akan memetik gelar juara pada musim 2005/2006 mulai meredup.

Ronaldo tak pernah membawa Madrid menjuarai Liga Champions sejak bergabung empat tahun lalu. Beckham bahkan tak mencicipi satu gelar pun bersama Madrid sejak datang pada tahun 2003.

Perez boleh menepuk dada sanggup mendatangkan pemain-pemain impian semua klub di dunia. Tapi, yang tak dia sadari, Perez sekaligus telah membesarkan “monster raksasa” yang kemudian tak sanggup dia kendalikan.

Satu per satu para megabintang itu menua dan menurun kontribusinya. Mereka pun mulai jadi beban bagi bibit-bibit muda lokal yang merasa harus bekerja lebih keras, lebih serius, lebih mati-matian –tapi dengan apresiasi yang jauh lebih seadanya.

Mulailah muncul friksi di antara kumpulan para bintang itu dan rekan lokalnya. Pertentangan muncul, konflik menajam, pengelompokan mengkristal, dan “boom”! Madrid tenggelam dalam kebesarannya sendiri. “Klub ini telah kehilangan jiwanya,” demikian dikatakan Ivan Helguera, usai dikalahkan Barcelona, November tahun lalu.

Namun Madrid tak hanya kehilangan jiwanya. Sesungguhnya mereka juga kehilangan semangat, karakter, sekaligus jati dirinya sebagai tim Spanyol dengan tradisi permainan cepat, ngotot, dan pantang menyerah.

Yang tersisa bagi Fernando Martin –pengganti Perez— kini tinggal puing-puing kejayaan era “Los Galacticos” itu. Maka, bersiap-siaplah melihat sebuah perubahan besar terjadi di Madrid musim mendatang. Ronaldo akan pergi, disusul Roberto Carlos, Thomas Gravesen, Julio Baptista, Ivan Helguera, Zidane, bahkan mungkin Raul Gonzalez. “Los Galacticos” akan tinggal sebagai kisah romantis belaka dalam sejarah persepakbolaan dunia. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Maret 2006)

Tidak ada komentar: