Jumat, Agustus 15, 2008

Menyedihkan, Pengurus PSIS Tidak Paham soal Pajak Penghasilan

ADA kabar menyedihkan datang dari Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/8) lalu. Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang, Ahmadi, mengkritik Manajemen PSIS Semarang karena hingga saat ini belum menyetor pembayaran pajak kepada negara sebesar Rp 2,147 miliar.

Nilai tunggakan pajak sebesar itu merupakan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sepanjang 2007. Dan tunggakan tersebut merupakan kewajiban tahun 2007 yang berasal dari kontrak pemain, gaji pemain, gaji ofisial, dan sebagainya.

Berdasarkan laporan BPK, sepanjang 2007, PSIS mendapat bantuan Rp 14,4 miliar. Dari total bantuan yang dicairkan dalam tiga termin itu, Rp10,756 miliar dialokasikan untuk kontrak pemain, gaji pemain, dan gaji ofisial. Berarti semuanya dikenakan pajak sesuai PPH pasal 21.

Tunggakan itu, kabarnya, bisa terjadi karena mekanisme pengucurannya yang “tersendiri”. Di instansi lain, jika mendapat pembayaran dari Pemkot langsung dipotong pajak saat dana dikucurkan.

Namun hal ini tidak berlaku bagi PSIS sehingga terkumpul pajak Rp 2,147 miliar yang belum disetor ke kas negara. Bahkan, Pemkot Semarang sendiri belum melakukan verifikasi atas penggunaan dana PSIS sepanjang 2007. Sehingga angka tunggakan Rp 2,147 miliar itu bisa saja membesar.

Yang lebih memprihatinkan di balik kasus tunggakan ini adalah jawaban Manajemen PSIS yang dilontarkan Manajer Yoyok Sukawi. Ia mengaku tidak mengetahui kalau para pesepak bola wajib membayar pajak penghasilan.

Menurut Yoyok, ketidaktahuan itu karena kewajiban membayar pajak penghasilan merupakan urusan pemain dan Pemerintah. Ia menyesalkan tidak ada pemberitahuan sejak awal dari Pemerintah mengenai hal ini.

Yoyok juga mengatakan bahwa pihaknya telah mengirim surat pemberitahuan kepada seluruh pemain lokalnya. “Tagihan” yang dikirimkannya itu berlaku pula untuk pemain lokal PSIS yang musim ini pindah membela klub lain. Konon, ada sekitar 30 pemain lokal yang terkena kewajiban ini.

Meski respons Manajemen PSIS terhadap kritik DPRD Kota Semarang cukup sigap, saya tetap prihatin terhadap kasus ini. Bayangkan, Manajemen PSIS yang terdiri atas sejumlah tokoh terkenal –Yoyok bahkan putra Walikota Semarang, Sukawi Sutarip, yang sedang "dibidik" KPK— itu ternyata tak paham soal pajak penghasilan.

Rasanya sungguh ironis, menyedihkan, sekaligus tak masuk akal. Apa iya Manajemen PSIS benar-benar tak paham soal pajak penghasilan? Bukankah mereka juga sudah diverifikasi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) dari segi finansial saat mengajukan diri sebagai peserta Liga Super Indonesia 2008/2009?

Saya punya sedikit pengalaman jadi konsultan bagi beberapa pemain sepak bola kita saat mereka bergabung dengan sebuah klub. Entah itu klub Liga Super, Divisi Utama, atau Divisi Satu. Entah itu klub di kota besar di Jawa, pedalaman Kalimatan Timur, hingga nun jauh di Sulawesi Utara.

“Anehnya”, setiap kali terjadi pembicaraan kontrak, soal pajak itu tak pernah luput diagendakan. Dan setiap kali itu pula solusinya seragam: pemain terima bersih! Maksudnya, angka yang disepakati sebagai hak pemain kemudian ditambah nilai pajaknya. Total jumlahnya itulah yang tercantum sebagai nilai kontrak resmi yang dilaporkan. Sehingga tak ada masalah tunggakan pajak.

Mungkin benar, setiap daerah memang punya “keunikan” sendiri. Boleh jadi, sistem kontrak pemain yang diberlakukan di PSIS itu juga “unik” dan berbeda dengan kebanyakan tim lain di Indonesia.

Itu sah-sah saja. Tapi, kalau pajak penghasilannya sampai terlupakan saking “uniknya”, ya siap-siap saja menanggung risikonya. *

Tidak ada komentar: