Senin, Agustus 25, 2008

Arsenal, Sindrom Pasca-Vieira

SULIT bagi saya untuk tak tersenyum saat membaca komentar Arsene Wenger mengenai keinginan Thierry Henry bertahan di Arsenal. “Bersama Henry, kami akan menjadi tim terbaik di dunia,” kata Wenger, penuh percaya diri.

Tentu, sah-sah saja Wenger punya prediksi dan harapan seperti itu. Henry memang salah satu penyerang terbaik di Eropa saat ini. Dari kedua kaki dan kepalanya, sudah ratusan gol tercipta untuk Arsenal, Juventus, Monaco, maupun tim nasional Prancis.

Namun, bagi saya, menjadikan Henry sebagai alasan Wenger memprediksi Arsenal bakal jadi tim terbaik dunia tetap kurang masuk akal. Setidaknya, Henry sudah bersama Arsenal enam tahun, toh belum sekalipun mampu membawa timnya berjaya di Eropa –apalagi dunia.

Saya kira, pujian berlebihan Wenger terhadap Henry semata menunjukkan kegembiraan yang meluap-luap atas keputusan sang penyerang ulung itu. Maklum, bukan rahasia lagi, Barcelona sangat meminati Henry dan –jika tertarik— ia bisa terbang ke Spanyol pada akhir musim ini. Ternyata, Henry lebih memilih loyal terhadap Arsenal.

Namun, sebenarnya, bukan sekali itu saja kita melihat Wenger kehilangan konteks dan rasionalitas dalam menyikapi persaingan terkini di kancah Liga Primer. Pekan lalu, yang lebih sensasional, kita malah mendengar kabar bahwa pelatih asal Prancis itu mencoba merekrut kembali gelandang Patrick Vieira. Padahal, akhir musim lalu, Wenger pula yang memberi lampu hijau penjualan Vieira ke Juventus.

***

ARSENAL memang seperti kapal yang tengah limbung terombang-ambing di tengah samudra yang bergolak. Peta persaingan yang memanas dengan Chelsea, Manchester United (MU), dan Liverpool membuat Arsenal kehilangan posisinya sebagai klub terdepan di Liga Primer.

Kompetisi belum lagi separuh jalan. Namun, usai pertandingan lawan MU, Wenger sudah melempar handuk. Ia menilai Chelsea tak mungkin lagi terbendung merebut mahkota juara musim 2005/2006 karena penampilan mereka memang “terlalu konsisten”. Bahkan Arsenal sampai ketinggalan 24 poin di belakang sang juara bertahan.

Tak mudah bagi tim sebesar Arsenal mengakui kehebatan Chelsea –tetangga sekaligus musuh bebuyutannya. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Wenger sekarang. Padahal, semusim lalu, pengakuan kalah semacam ini rasanya mustahil meluncur dari mulut Wenger –pria separuh baya yang flamboyan tapi juga tinggi gengsinya. Lalu, apa yang salah dengan Wenger dan Arsenal sekarang?

Mungkin tak ada yang salah. Yang ada hanya perbedaan. Chelsea makin konsisten, sedangkan Arsenal justru kian labil. Mereka bisa tampil bagus di Liga Champions, tapi kedodoran di Liga Primer dan Piala FA. Bahkan melawan tim seperti Cardiff saja hampir kalah di putaran ketiga Piala FA.

Ada satu lagi perbedaan yang lebih signifikan. Musim-musim sebelumnya, Arsenal masih punya dan dipimpin Vieira. Sekarang tak ada lagi. Yang ada, tinggal Fredrik Ljungberg, Robert Pires, Alexander Hleb, serta sederet gelandang muda semacam Cesc Fabregas dan Mathieu Flamini.

Sebetulnya, memang, tak terlalu banyak perbedaan itu. Arsenal praktis hanya kehilangan Vieira dan Edu –pindah ke Valencia. Tapi, saya kira, justru di situlah inti permasalahannya. Bagi Arsenal, ditinggalkan Vieira tak bisa dibaca sekadar kehilangan seorang pemain.

Vieira adalah kapten, jenderal lapangan tengah, sekaligus inspirator permainan Arsenal selama satu dekade terakhir. Khususnya, sejak Arsenal ditinggalkan generasi emas sebelumnya, seperti Tony Adams, Ian Wright, atau David Seaman. Sejak itu, praktis Vieira yang jadi panutan baru seluruh awak tim “The Gunners”.

Benar, Arsenal masih punya banyak bintang lain dalam skuadnya. Ada Henry yang produktivitas golnya bahkan telah menjadi legenda baru di Highbury. Ada pula Dennis Bergkamp yang koleksi gol dan loyalitasnya hampir bisa disejajarkan dengan Wright. Bahkan juga masih ada pemain pilar lain semacam bek sentral Sol Campbell atau gelandang Pires.

Namun tak satu pun dari mereka bisa menggantikan peran dan posisi –apalagi kharisma— Vieira. Benar, mereka kini jadi bintang-bintang andalan Arsenal. Tapi mereka tak mampu menginspirasi pemain lain seperti dulu telah dilakukan Vieira.

Ada banyak pemain hebat di dunia ini. Bahkan sebuah tim mungkin bisa punya lebih dari seorang bintang besar. Tapi belum tentu bintang besar itu bisa menjadi inspirator permainan timnya. Apalagi sampai ke level yang biasa disebut para pengamat “ruh permainan tim”.

Vieira adalah salah satunya. Dialah ruh permainan Arsenal lewat kualitas skill, wibawa, kepemimpinan, dan kerja keras yang selalu dia tunjukkan di lapangan hijau. Ia mungkin tak banyak cakap seperti Roy Keane di MU. Ia mungkin juga tak banyak bikin gol seperti Steven Gerrard di Liverpool.

Tapi Vieira tetap punya posisi istimewa di lapangan maupun di kamar ganti tim Arsenal. Saat ia bicara, pemain lain mendengarkan. Saat ia memberi perintah, bintang sekelas Bergkamp dan Pires pun menuruti. Dan saat ia memberi wejangan, pemain badung semacam Robin van Persie juga mematuhi.

Wajar jika kini Henry terus-terang mengaku sangat kehilangan Vieira. Perasaan yang tak cuma dirasakannya di lapangan hijau, tapi juga di kamar ganti dan saat menjalani latihan sehari-hari.

***

TENTU saja, tak berarti bahwa pemain seperti Vieira tak boleh pergi atau pensiun dari timnya. Toh, kita tak bisa menolak hukum alam. Proses menjadi tua dan keinginan mencari tantangan baru juga termasuk hukum alam yang tak terhindari.

Namun sebuah tim sebetulnya bisa meminimalkan pengaruh negatif hukum alam itu. Caranya, dengan mempersiapkan diri untuk kehilangan “ruh tim” itu secara bijaksana dan jauh-jauh hari.

Bagaimana sebuah tim mempersiapkan diri untuk kehilangan “sang inspirator” bisa kita pelajari dari kasus Josep Guardiola di Barcelona. Sama seperti Vieira, pada era 1990-an, peran dan posisi Guardiola di Barcelona juga sulit dicari tandingannya.

Toh, Barcelona mampu melewati “sindrom pasca-Guardiola” –mulai musim 2001/2002— itu dengan baik. Jauh-jauh hari mereka mempersiapkan bintang lokal Xavi Hernandez sebagai pewarisnya. Kebetulan gaya permainan keduanya agak serupa. Tapi, karena jarak usia antara Guardiola dan Xavi lumayan jauh, maka disiapkanlah Luis Enrique sebagai “jembatan penghubung” kesenjangan generasi itu.

Tiga tahun setelah Guardiola pergi, barulah Enrique gantung sepatu. Tapi ia mundur saat Xavi sudah sangat siap menggantikannya –mulai musim 2004/2005. Bahkan, Xavi juga sudah mendapat pendamping yang lebih dari sekadar cukup dalam diri Ronaldinho, Deco, dan lain-lain.

Wenger sesungguhnya bukan tak mencoba melakukan hal serupa. Ia sudah lama menyiapkan Fabregas dan Flamini sebagai pewaris Vieira. Hanya saja, sayangnya, ia terlalu berani melepas Vieira saat pewarisnya belum cukup matang. Lebih sial lagi, ia tak punya “jembatan penghubung” antargenerasi itu karena Edu juga ikut pergi dan Gilberto Silva belakangan terlalu sering cedera.

Terpuruknya Arsenal pasca Vieira jelas bukan sebuah kesengajaan –bisa dibilang kombinasi antara ketidakberuntungan dan sedikit salah perhitungan. Namun, disengaja atau tidak, Arsenal kini merasakan langsung dampaknya. Percaya atau tidak, dalam permainan sepak bola, pemain berkualitas “ruh” atau “inspirator permainan” itu memang ada –meski tak semua tim memilikinya. ***

(Tulisan ini pernah dimuat TopSkor, Januari 2006)

Tidak ada komentar: