Rabu, Agustus 27, 2008

Beban Warisan Olimpiade Beijing

PESTA olahraga yang spektakuler itu mencapai puncaknya, semalam. Lewat upacara penutupan yang sama meriah dengan pembukaannya, Olimpiade Beijing 2008 berakhir dan memunculkan tuan rumah Cina sebagai juara umum.

Selanjutnya, pesta empat tahunan itu bakal menyeberang ke Inggris, Olimpiade London 2012. Namun, meskipun hajatan berikutnya masih setengah windu lagi, setidaknya ada satu hal yang sudah bisa dipastikan, yakni soal skala kemegahannya.

Tokoh kunci panitia penyelenggara Olimpiade 2012, Sebastian Coe, menegaskan bahwa Olimpiade Beijing akan jadi olimpiade terakhir dengan skala besar. Bahkan “warisan” Olimpiade Beijing atau olimpiade-olimpiade sebelumnya kemungkinan besar tak akan pernah dihidupkan lagi pada masa yang akan datang.

Menurut Lord Coe yang meninjau langsung ke Beijing, kesejahteraan masyarakat akan lebih menjadi agenda dibanding mencoba menyaingi apa yang telah dicapai Beijing. “Olimpiade bukanlah sekadar 16 hari penyelenggaraan yang spektakuler. Komite Olimpiade Internasional sendiri mengakui Olimpiade Beijing akan menjadi yang terakhir dengan penampilan dan suasana sebesar ini,” ia menegaskan. “Sebuah kesalahan jika berpikir olimpiade selanjutnya harus mencontoh olimpiade sebelumnya.”

Penekanan pada frasa “kesejahteraan rakyat” agaknya sengaja dilontarkan oleh Lord Coe. Ia bermaksud menenangkan publik Inggris bahwa Olimpiade London 2012 kelak tak akan menimbulkan “bencana ekonomi” seperti halnya Olimpiade 1976 di Montreal, Kanada.

Ketika itu, menurut sebuah laporan yang pernah saya baca, total biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan hajatan tersebut mencapai 1,6 miliar dolar Kanada. Sialnya, angka penerimaannya ternyata jauh di bawah itu. Alhasil, penduduk Montreal harus menanggung biaya hajatan olimpiade tersebut lewat pajak khusus hingga 30 tahun kemudian.
***
PESTA olahraga multicabang –apalagi sekelas olimpiade— memang sering meninggalkan warisan persoalan bagi tuan rumahnya. Itu tak hanya dialami Montreal. Tercatat, sejak 1956, hampir semua tuan rumah olimpiade mengalami dua hal kontradiktif. Pertumbuhan ekonominya naik menjelang penyelenggaraan olimpiade. Lalu, merosot hingga setahun setelah olimpiade.

Perlambatan ekonomi terbesar bagi negara tuan rumah, terjadi di Australia (1956), disusul Jepang (1964), Amerika Serikat (AS, 1984), dan Korea Selatan (1988). Dari sebelas kali penyelenggaraan sejak 1956, hanya Olimpiade Atlanta 1996 yang tidak menjerumuskan tuan rumahnya dalam perlambatan ekonomi.

Spanyol malah terjerat resesi pada 1993, setelah sukses menyelenggarakan Olimpiade Barcelona 1992. Olimpiade Athena 2004 dan Sydney 2000 juga membuat Yunani maupun Australia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi 1,5-2% antara sebelum dan sesudah olimpiade.

Olimpiade Beijing tampaknya juga akan mewariskan persoalan serupa. Apalagi perekonomian global saat ini tengah diombang-ambing persoalan harga minyak yang jauh di atas kewajaran. Bila sebelumnya Cina menikmati keajaiban ekonomi dengan angka pertumbuhan jauh di atas 10 persen per tahun, tahun ini diperkirakan sekitar 10 persen saja.

Perdana Menteri Cina, Wen Jia Bao, bahkan pernah menyebut tahun 2008 akan menjadi “periode yang sangat sulit” bagi Cina. Pasalnya, mitra dagang utama “Negeri Tirai Bambu” itu, seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa kini dalam cengkeraman resesi.

Jangan lupa, Olimpiade Beijing itu sendiri hasil akumulasi tujuh tahun masa persiapan dengan total biaya 60-70 miliar dolar AS –enam kali lipat ongkos Olimpiade Athena 2004. Itu merupakan angka terbesar yang pernah dikeluarkan untuk penyelenggaraan sebuah olimpiade.

Menurut Liu Zhi, juru bicara Dewan Kota Beijing, mayoritas biaya dikeluarkan untuk pembangunan fisik. “Sekitar 40,9 miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur, energi, dan transportasi sepanjang 2001-2007,” Liu Zhi memaparkan. Hasilnya, Olimpiade XXIX ini memang terkesan mewah dalam segala hal dan mungkin akan sulit ditandingi sampai kapan pun.
***
MASALAHNYA sekarang, bagaimana Cina memanfaatkan semua fasilitas itu pasca-Olimpiade Beijing? Misalnya, dimanfaatkan untuk apa 20 set alat metal detector tangan, metal detector badan, dan pemindai Sinar X –total harganya mencapai Rp 60 miliar— yang kini terpasang di Gerbang 5 komplek Stadion Nasional?

Itu hanya salah satu contoh. Belum lagi kalau kita berpikir tentang nasib Stadion Sarang Burung yang spektakuler itu. Atau Stadion Tianjin yang khusus dibangun sebagai pendampiing Beijing –padahal aktivitas olahraga di sana sebenarnya tak terlalu semarak.

Sulit membayangkan bagaimana Cina kelak memanfaatkan dan merawat semua fasilitas mewah itu. Dan itulah yang kini jadi perhatian Lord Coe. “Hari-hari mengabaikan stadion berkapasitas 90 ribu tempat duduk telah berakhir,” katanya, menyindir. “Kami harus menyediakan sesuatu bagi masyarakat setempat lebih dari sekadar menyombongkannya.”

Semoga saja, kesadaran itu tak hanya milik Lord Coe. Tapi juga tumbuh di kalangan pembina olahraga kita –khususnya di Pekanbaru, Riau, selaku tuan rumah PON XVIII/2012. Jangan sampai stigma olimpiade sebagai mercusuar yang palsu kelak juga dialami pula di pesta olahraga nasional sekelas PON.

Jadikan PON sebagai ajang “seleksi” menuju pesta olahraga multicabang yang lebih tinggi: SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Sehingga warisan yang ditinggalkannya kelak bukan lagi beban dan utang, melainkan “modal” untuk kemajuan olahraga nasional. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, edisi 25 Agustus 2008)

Tidak ada komentar: