Jumat, Agustus 22, 2008

Argentina Paling Memesona

JIKA bicara soal gaya permainan, sepak bola Amerika Latin selalu diidentikkan dengan permainan yang imajinatif dan berteknik tinggi. Sedangkan, di sisi lain, sepak bola Eropa biasa dibaca sebagai permainan yang lebih kental dengan kecepatan dan kekuatan stamina.

Pada masa lalu, saat bertemu Brasil atau Argentina, tim-tim Eropa biasanya takut dipermalukan oleh gocekan maut dan permainan satu-dua bintang sekelas Maradona, Pele, atau Socrates. Sebaliknya, para pemain Amerika Latin selalu risau menghadapi kekuatan dan penjagaan disiplin ala Hans Peter Briegel, Terry Butcher, atau Manuel Amoros.

Adakah gambaran semacam itu masih kita lihat di panggung Piala Dunia 2006? Setidaknya, masihkah karakteristik semacam itu melekat dalam penampilan 32 tim finalis setelah sama-sama memainkan satu petandingan di penyisihan grupnya?

Saya termasuk yang meragukan. Meskipun, memang, satu pertandingan saja jelas belum cukup untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang kekuatan dan karakter sebenarnya ke-32 tim peserta putaran final.

Spanyol berpesta gol, tapi lawannya tim debutan. Jerman memang atraktif, tapi belum sepenuhnya teruji. Inggris sama sekali belum menunjukkan dirinya sebagai sebuah tim dengan barisan gelandang yang mungkin terbaik di dunia. Apalagi Prancis, masih jauh dari gambaran sebagai tim yang pernah juara Eropa dan dunia. Adapun Brasil belum bisa menaikkan level permainannya dari partai uji coba ke pertandingan sebenarnya.

Sejauh ini, menurut saya, praktis baru tiga tim yang penampilannya tergolong sudah teruji dan memuaskan. Republik Ceko dengan kemampuannya memeragakan serangan balik cepat yang menusuk dan mematikan. Italia dengan keuletan barisan belakang dan potensi kedahsyatan lini depannya. Dan Argentina dengan kerapihan kerjasama antarunit, antarlini, serta keseimbangan timnya yang sangat mantap.

Nah, di antara tim-tim yang mampu menyajikan start cukup memuaskan itu, saya paling terkesan oleh Argentina. Meskipun, perlu diingat, bahwa kesan positif ini sama sekali bukanlah sebuah isyarat bahwa “Tim Tango” akan menjadi favorit terkuat untuk menjuarai Piala Dunia 2006.

Impresi saya terhadap Argentina mulanya justru dibangun oleh pesimisme yang lumayan kental. Betapa tidak, musim lalu, kita hanya melihat Lionel Messi yang jadi pemain Argentina paling menonjol. Sedangkan Hernan Crespo, Javier Saviola, Pablo Aimar, Juan Pablo Sorin, hingga Walter Samuel semua menunjukkan grafik penampilan yang datar-datar saja.

Sialnya, Messi sendiri belum termasuk pemain penting di tim senior Argentina asuhan Jose Pekerman. Apalagi pemain jenius itu belakangan sibuk berurusan dengan problem cedera yang didapat semasa memperkuat Barcelona. Sulit bagi saya membayangkan sebuah tim bisa jadi juara dunia dengan komposisi dan situasi pemain seperti itu. Apalagi hasil-hasil uji coba Argentina pun terbilang biasa saja.

Namun, pada laga perdana lawan Pantai Gading, penampilan Argentina membuat saya terkejut sekaligus terpesona. Saya begitu kagum melihat bagaimana rapih dan disiplinnya kerjasama mereka menghadapi lawan yang punya stamina dan kekuatan fisik sangat dahsyat. Jika lawannya bukan Argentina, saya kira, Pantai Gading mungkin layak mendapatkan tiga angka dari petandingan itu.

Meskipun materi pemainnya terbilang tak istimewa, barisan belakang Argentina tampil sangat kokoh. Roberto Ayala mampu menjadi komandan yang sangat berwibawa bagi Nicolas Burdisso, Gabriel Heinze, dan Sorin. Ayala sendiri tak pernah kehilangan nyali menghadapi penyerang bertipe “pembunuh” semacam Didier Drogba.

Duet Crespo-Saviola mungkin pula bukan pilihan paling ideal di lini depan. Tapi kedua pemain ini mampu memborong dua gol ke gawang Pantai Gading. Crespo dan Saviola juga terus merepotkan pertahanan lawan dengan kegigihan dan kejeliannya menempatkan diri di kotak penalti lawan. Saviola bahkan makin bersinar ketika Argentina membungkam Serbia-Montenegro pada pertandingan berikutnya.

Tapi yang paling mengesankan saya adalah kinerja lini tengahnya yang dipimpin playmaker Juan Roman Riquelme. Saya kira, performa barisan gelandang Argentina –juga Spanyol— paling menonjol di antara semua tim yang tampil pada pertandingan pertamanya.

Secara khusus, saya harus memberi kredit tersendiri bagi Riquelme. Ia bermain sangat dinamis, percaya diri, dan kreatif. Gol yang diciptakan Saviola ke gawang Pantai Gading adalah contoh nyata hebatnya visi bermain Riquelme. Ia mampu membaca rencana pergerakan pemain belakang lawan dan “menghukumnya” dengan umpan mematikan yang meloloskan Saviola dari jebakan offside.

Riquelme sering dikritik banyak orang sebagai pemain jenius yang angin-anginan. Bahkan ia dianggap tipe pemain “kolam kecil” yang hanya pas membela tim sekelas Villarreal atau Boca Juniors, tapi tak cukup layak bagi Barcelona dan tim nasional Argentina.

Riuelme juga sering dikritik terlalu lama dan lamban mengalirkan bola. Sehingga pemain cepat semacam Saviola atau Crespo kerap kehilangan momentum dan peluang. Salah satu yang sering mengkritiknya soal kecepatan ini adalah Mario Kempes, pahlawan Argentina pada Piala Dunia 1978.

Namun, jika melihat penampilannya saat menghadapi Pantai Gading, saya kira, tudingan itu salah alamat. Riquelme justru sangat percaya diri mengorkestrasi arus serangan Argentina. Ia juga berani membuat keputusan-keputusan yang berisiko tinggi. Salah satunya umpan jitu kepada Saviola yang bisa menjadi sia-sia saja jika timing dan arahnya tak cukup akurat.

Jika kita masih percaya tentang dikotomi sepak bola Eropa dan Amerika Latin, maka Argentina adalah paduan yang sempurna dari kedua aliran permainan si kulit bundar itu. Ada unsur kekuatan dan keuletan Eropa dalam penampilan Ayala, Burdisso, atau Maxi Rodriguez. Tapi juga sarat sentuhan magis dalam liukan dan operan cantik Riquelme, Saviola, dan Crespo.

Argentina mungkin tak sekuat Inggris pertahanannya, tak seulet Spanyol lini tengahnya, dan tak setajam Brasil barisan penyerangnya. Tapi Argentina punya perpaduan ketiganya sekaligus. Mereka kuat, ulet, juga tajam.

Saya kira, yang mereka butuhkan sekarang tinggal kekompakan tim, konsistensi, dan mental juara yang harus terus dipupuk mengingat kejuaraan berlangsung sebulan penuh. Dan satu lagi yang mungkin tak kalah menentukan: keberuntungan! ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Juni 2006)

Tidak ada komentar: