Jumat, Agustus 08, 2008

Terapi Istimewa Ferguson untuk Ronaldo

“OPERA sabun” kepindahan Cristiano Ronaldo ke Real Madrid berakhir antiklimaks. Penyerang sayap asal Portugal itu akhirnya memutuskan bertahan di Manchester United (MU). Minimal semusim lagi dari empat tahun sisa kontraknya.

Padahal, hingga pekan lalu, Ronaldo masih bersikeras ingin pindah ke Madrid –klub idolanya sejak masa kanak-kanak. Bahkan Ronaldo sempat bilang tak sudi kembali ke Old Trafford, kandang “Tim Setan Merah”.

Toh, semua kekerasan hati pemain berusia 23 tahun itu kini mencair. Terhitung mulai hari ini, Ronaldo menapakkan kembali kakinya di Carrington, markas latihan MU, dan bergabung dengan rekan-rekan setimnya.

Hal yang paling menarik bagi saya adalah alasan Ronaldo di balik perubahan sikapnya. Ia menyebut bagaimana Alex Ferguson begitu sabar dan telaten membujuknya untuk tetap di Old Trafford. Itu sangat berperan di balik keputusannya tidak hijrah ke Spanyol.

Sabar dan telaten? Dua kata itu mungkin terasa asing bagi kebanyakan pemain MU. Bagi mereka, Ferguson mungkin lebih identik dengan tekanan dan sumpah-serapah.

Hampir semua pemain MU pernah merasakan tak enaknya “diceramahi” Ferguson dengan rentetan kalimat penuh tekanan yang dia lontarkan tepat di depan wajah si pemain. Itulah “hairdryer treatment” ala Ferguson saat ia kesal melihat penampilan seorang pemain. Atau saat ia memacu motivasi pemain yang dilihatnya main di bawah standar keinginannya.

Ferguson nyaris tak pandang bulu dalam hal memperlakukan pemain. Hampir semua bintang MU pernah merasakan terapi khasnya itu. Dari Steve Bruce pada era 1980-an, Dennis Irwin pada 1990-an, hingga generasi Wayne Rooney sekarang.

Toh, semua itu bukan tanpa perkecualian. Konon, ada beberapa pemain yang luput dari siksaan “terapi alat pengering rambut” itu. Di antara mereka, tercatat nama-nama seperti Bryan Robson, Eric Cantona, Roy Keane, dan kini Ronaldo.

Saya kira, di situlah cerdiknya Ferguson. Ia mendasarkan perlakuan terhadap pemain tak asal pukul rata atau sekadar diukur dari kemampuannya. Tapi ia juga mempertimbangkan karakter pribadi dan kontribusinya.

Pemain keras kepala semacam Cantona dan Keane tak akan mempan diceramahi panjang-lebar. Jadi, Ferguson memilih memberi mereka keleluasaan dan kepercayaan penuh.

Ronaldo mungkin tak sekeras Cantona. Tapi ia aset terbesar MU dalam dekade terakhir ini. Ia ibarat mutiara yang butuh perlakuan khusus. Maka, Ferguson pun menyikapi keinginan Ronaldo untuk pergi sebagai kebandelan ketimbang pemberontakan. Dan, sebagai “ayah”, Ferguson tahu betul bahwa sebuah bujukan akan lebih berdayaguna ketimbang hukuman. Luar biasa!

Suka-tak suka, kita harus mengakui bahwa Ferguson memang pelatih brilian. Dan para pelatih Indonesia perlu banyak belajar dari kakek berumur 66 tahun ini. *

Tidak ada komentar: