Senin, Agustus 04, 2008

Nasionalisme Ala Tony Gunawan dan Maria Sharapova

ADA dua peristiwa olahraga menarik yang terjadi pada awal pekan ini. Yang menarik, kedua peristiwa tersebut terjadi bedekatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus –saat kita biasanya diingatkan kembalitentang arti nasionalisme.
Peristiwa pertama terjadi di Anaheim, Amerika Serikat (AS). Seorang putra Indonesia mencatat sejarah unik di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2005. Dialah Tony Gunawan yang tampil sebagai juara dunia baru ganda putra.
Bukan soal gelar juaranya yang istimewa. Pasangan Candra Wijaya/Sigit Budiarto sudah pernah meraihnya pada 1997. Sebelum itu, kita juga memiliki pasangan putra lainnya yang pernah menyabet predikat juara dunia: Ricky A. Subagja/ Rudy Gunawan (1993) dan Ricky/Rexy Mainaky (1995). Bahkan masih ada dua ganda putra kita yang juga pernah juara dunia, yakni Christian/Ade Chandra (1980) dan Tjun Tjun/Johan Wahyudi (1977).
Yang berbeda adalah benderanya. Tony, putra kelahiran Surabaya dan logat Jawanya masih kental itu, kini tampil dengan bendera AS. Bahkan juga berpasangan dengan Howard Bach, pemuda AS keturunan Vietnam.
Ada perasaan kurang nyaman saat melihat Tony merayakan kemenangannya bersama Howard. Dan semakin terasa kurang nyaman manakala lagu Star-Spangled Banner yang berkumandang, bukannya Indonesia Raya.
Kejadian kedua terjadi pada Senin lalu ketika Asosiasi Tenis Wanita (WTA) mengumumkan peringkat terbarunya. Peringkat pemain yang disusun komputer berdasarkan prestasi pemain di berbagai turnamen itu memunculkan “juara” baru. Dialah Maria Sharapova.
Lagi-lagi bukan soal Sharapova atau parasnya yang menawan itu. Toh, ia cuma wanita ke-15 yang pernah berada di posisi nomor satu dunia. Jadi, tidak terlalu istimewa.
Yang membuatnya jadi unik dan mungkin fenomenal adalah latar belakangnya. Mengingat dalam lima tahun terakhir ini kita melihat munculnya gelombang besar petenis putri Rusia menyerbu dan menguasai serangkaian turnamen WTA di berbagai belahan dunia. Dan mereka semua mengusung ambisi jadi wanita Rusia pertama yang sampai di posisi puncak.
Dari Svetlana Kuznetsova hingga Anastasia Myskina gagal meraih predikat itu. Si jelita Anna Kournikova pernah sangat dekat dengan posisi itu, dua tahun lalu. Tapi ia juga gagal dan hanya mentok di peringkat kedua. Belakangan, ia malah berhenti dan lebih menikmati kehidupan sebagai pesohor.
Justru Sharapova yang kini meraih impian itu. Padahal, ia baru empat tahun meniti karier profesional. Padahal, ia juga yang paling encer latar belakang kerusiaannya –sejak umur sembilan tahun tinggal di AS. Bahkan juga dianggap yang paling tidak patriotis karena enggan tampil membela Rusia di ajang Piala Federasi.
***
MEMANG, tak semua orang mudah berlapang dada melihat Tony berdiri tegak di podium juara dalam iringan lagu yang terasa asing di telinga kita. Seperti halnya Myskina tak sudi lagi berada satu tim dengan Sharapova di ajang Piala Federasi.
Ada rasa nasionalisme yang terusik di sana. Apalagi jika nasionalisme tersebut diterjemahkan secara verbal berupa sikap-sikap patriotis seperti yang ditunjukkan para pendukung Indonesia di Annaheim–mengibar-ngibarkan Sang Merah Putih dan ikut menyanyikan Indonesia Raya.
Namun, saya kira, nasionalisme dalam dunia olahraga kini harus dipahami lebih luas lagi. Sikap Tony yang membisu saat lagu Star-Spangled Banner berkumandang, bagi saya, adalah sebentuk kecil semangat nasionalismenya terhadap Indonesia.
Keteguhan hatinya tak mau melepaskan status sebagai Warga Negara Indonesia juga bentuk lain rasa nasionalisme yang masih mengalir di dadanya. Padahal, dalam posisi sebagai idola baru saat ini, mendapatkan kartu hijau atau bahkan status kewarganegaraan Amerika mungkin jauh lebih mudah bagi Tony.
Akan halnya sikap Sharapova yang enggan membela tim Piala Federasi Rusia, juga terlalu dangkal jika segera diterjemahkan sebagai sikap kurang nasionalis. Setidaknya, kita perlu memahami alasan dara berumur 18 tahun ini bersikap seperti itu.
Menurut pengakuan Sharapova, ia merasa kehadirannya tak penting-penting amat bagi tim Rusia. Toh, sudah banyak petenis bagus di tim itu: Kuznetsova, Myskina, Elena Dementieva, dan banyak lagi.
Sharapova sendiri merasa punya obsesi yang tak kalah penting: jadi petenis nomor satu. Dan itu impian semua petenis Rusia, termasuk mereka yang tak menyukainya.
Dengan keberhasilan Sharapova meraih impian itu, sesungguhnya juga membawa dampak positif bagi Rusia. "Negeri Beruang Merah" itu masuk deretan kelompok kecil negara-negara yang pernah menempatkan putra-putrinya di posisi nomor satu dunia. Lebih dari itu, eksistensi Rusia sebagai salah satu kiblat tenis dunia juga makin diakui.
Secara tak langsung, Sharapova sesungguhnya sudah menumbuhkan kebanggaan sebagai orang Rusia –itu nasionalisme juga, ‘kan?— melalui prestasinya di olahraga tenis. Apalagi ia juga tegas-tegas sudah menyatakan tak akan menukar kebangsaannya jadi Amerika atau Inggris.
Dunia olahraga memang telah memasuki zaman yang sangat modern. Dalam balutan semangat bersaing dan berbisnis yang amat kental, acapkali ia telah menerobos batas-batas lama geografi, demografi, bahkan psikografi.
Untuk itu, kita perlu memperluas cakrawala pemikiran dan pemahaman kita tentang makna nasionalisme maupun patriotisme. Sehingga kita tak lagi mudah tersinggung melihat Tony –atau Ronald Susilo, Halim Haryanto, dan lain-lain— jadi juara di bawah bendera negara lain. Sebaliknya, kita justru harus bangga, kalau bukan karena Tony yang asal Surabaya itu, mana mugkin AS jadi juara dunia bulu tangkis. Setidaknya, untuk saat ini. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Agustus 2005)

Tidak ada komentar: