Senin, Agustus 25, 2008

Antara Kurang Gizi dan Profesionalisme Pemain Kita

APA kesan Anda tentang para pemain Liga Indonesia? Sebagian mungkin menjawab posturnya “terlalu subur” jika yang teringat adalah Christian Gonzalez atau Danilo Fernando. Sebagian lagi mungkin memilih jawaban “kurang mantap” jika yang jadi patokan adalah pemain semacam Arif Suyono, Eka Ramdani, atau Kurniawan Dwi Yulianto.

Semuanya sah-sah saja dan ada benarnya. Tapi mungkin Anda sulit menerima jika ada yang menyebut pesepak bola kita secara umum kurang gizi. Ya, kurang gizi!

Percaya atau tidak, begitulah hasil penelitian yang mengambil sampel tiga klub sepak bola di Bantul, Yogyakarta, dan Pasuruan. Ternyata, penelitian ini menyimpulkan bahwa klub-klub sepak bola kita belum sepenuhnya memperhatikan pemenuhan gizi para pemainnya.

Fakta menarik itu diungkapkan oleh pakar gizi Mirza Hapsari dalam sosialisasi kegiatan Lustrum prodi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), akhir pekan lalu. “Meski didanai APBD setiap tahunnya, namun kebanyakan manajemen klub belum memerhatikan pengelolaan makanan secara mandiri dan profesional,” kata Mirza.

Yang paling mengejutkan, jumlah makanan yang diberikan setiap harinya ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan gizi pemain. Padahal seorang pesepak bola memerlukan status dan asupan gizi yang baik dan seimbang.

Dari hasil penelitian itu, Mirza menyimpulkan bahwa belum ada komitmen dan niat baik dari Pemerintah Daerah ataupun manajemen klub untuk mengalokasikan dana secara proporsional guna memenuhi gizi para pemain. Rata-rata pemenuhan gizi yang diberikan kepada pemain dari tiga klub yang diteliti hanya 2.500-2.800 kalori per hari. Itu berarti hanya sedikit lebih tinggi di atas kebutuhan orang normal yang mencapai 2.400 kalori/hari.

Pemenuhan gizi sebesar itu jelas jauh dari cukup. “Idealnya, untuk ukuran atlet dan olahragawan indonesia sekitar 3.000-3.500 kalori," kata Mirza, menegaskan.

Saya –mungkin juga Anda—jadi senyum-senyum sendiri membaca laporan ini. Bayangkan, pada era sepak bola profesional yang sedang digalakkan oleh BLI, kita ternyata masih berurusan dengan masalah laten yang sudah lumayan tua umurnya: kurang gizi.

Padahal, klub-klub Liga Super Indonesia dibiayai oleh Pemda masing-masing dengan anggaran belasan –bahkan di atas 20-an— miliar rupiah. Jika tiga klub yang dijadikan sampel itu adalah Persiba Bantul, PSIM Yogyakarta, dan Persekabpas Pasuruan, anggarannya memang tak sebesar Persija atau Persik Kediri. Tapi miliarannya masih dekat dengan kisaran dua digit. Masih lebih dari cukup –mestinya— untuk menjamin ketercukupan gizi para pemainnya.

Saya kira, masalahnya memang bukan soal kurangnya dana. Bisa jadi, plafonnya sudah cukup tapi “mengucur” ke seksi dapurnya agak tersumbat karena berbagai “kendala” dan “kutipan”.

Tapi sangat mungkin juga masalahnya ada pada diri para pemain itu sendiri. Makanan dengan gizi yang cukup tersedia, tapi pemain enggan menyantapnya secara cukup dan teratur. Mereka memilih makan sekadarnya dan “melengkapinya” dengan jajan di luar mes yang sifatnya serabutan. Ada tukang bakso ya beli, ada tukang somay ya pesan, dan ada tukang gorengan pun dipanggil.

Mereka mungkin menganggap kebiasaan buruk itu sebagai masalah selera belaka. Sehingga merasa tak punya tanggung jawab profesional untuk menerapkan pola konsumsi yang sadar gizi.

Padahal, seperti ditengarai ahli gizi UGM, Prof Dr Hamam Hadi, kurangnya perhatian terhadap pemenuhan gizi para olahragawan dan atlet itulah yang menyebabkan merosotnya prestasi olahraga Indonesia. Sementara di negara maju perhatian terhadap masalah gizi para atlet sangat besar demi menunjang prestasi mereka.

Makanya, jangan kaget kalau pemain bola kita sering tidak konsisten penampilannya. Kadang tampil begitu lincah dan cekatan, tapi 1-2 hari kemudian mainnya lesu dan kurang bertenaga. Jangan-jangan si pemain memang kekurangan gizi atau bahkan menderita anemia. *

Tidak ada komentar: