Rabu, Agustus 13, 2008

Sekali Lagi, Ganda Campuran

SENANG rasanya melihat dinamika perkembangan berita bulu tangkis Indonesia dalam sebulan terakhir ini. Setelah babak-belur di Kejuaraan Dunia di Madrid, para pendekar Cipayung di luar dugaan menuai sukses lumayan mengesankan di turnamen bergengsi Jepang Terbuka, pekan lalu.

Memang, hanya satu gelar yang bisa dibawa pulang dari Tokyo –lagi-lagi dari nomor ganda campuran. Taufik Hidayat yang tampil cukup spektakuler di Yoyogi National Gymnasium rupanya masih perlu meningkatkan ketahanan fisiknya untuk mengimbangi superioritas Lin Dan. Adapun gelar di nomor ganda putra harus kita bagi dengan Amerika Serikat –tempat tinggal Tony Gunawan saat ini.

Sekalipun demikian, bagi saya, penampilan pasukan Cipayung di Jepang Terbuka tetap bisa dibilang sukses. Mewakilkan tujuh atlet di partai puncak setelah babak-belur di Kejuaraan Dunia adalah sebuah lompatan sekaligus kebangkitan yang cukup berarti –paling tidak, secara psikologis.

Secara khusus, pujian harus diberikan kepada para atlet dan pembina nomor ganda campuran. Bayangkan, di Jepang, mereka sukses menyajikan “All Indonesian Final” yang sangat membanggakan.

Seingat saya, terakhir kali para pemain kita mampu menyajikan final sesama mereka di sebuah turnamen besar terjadi pada Indonesia Terbuka 2005 saat ganda putra Candra Wijaya/Sigit Budiarto dikalahkan Markis Kido/Hendra Setiawan. Namun, kalau Tony masih dianggap pemain Indonesia, maka final sesama pemain kita paling akhir terjadi di nomor ganda putra Indonesia Terbuka 2006, awal Mei lalu.

Sudah lumayan lama, memang. Apalagi kalau dibandingkan dengan keberhasilan Cina menyajikan “All China Final” secara rutin di nomor tunggal dan ganda putri berbagai kejuaraan internasional dalam kalender IBF.


***


LOLOSNYA Nova Widianto/Lilyana Natsir ke final Jepang Terbuka jelas membanggakan. Tapi sama sekali tak mengejutkan. Sepanjang 2006, ini partai final ketujuh bagi mereka. Dan empat di antaranya sudah membuahkan gelar juara di Kejuaraan Asia, Singapura, Cina Taipei, dan Korea Terbuka 2006.

Yang mengejutkan adalah ikut lolosnya pasangan campuran baru –tapi stok lama— Flandy Limpele/Vita Marissa ke partai puncak. Apalagi mereka kemudian sukses memetik gelar juara pada turnamen internasionalnya yang pertama.

Benar, belum saatnya PB PBSI menepuk dada atas sukses mereka “menjodohkan” Flandy/Vita. Setidaknya, kita masih perlu menguji mereka lebih jauh di sederet turnamen yang sudah menunggu dalam waktu dekat ini: Cina Terbuka, Invitasi Piala Dunia, Denmark Terbuka, dan kemudian Asian Games di Qatar.

Jangan lupa, di Jepang lalu, Flandy/Vita juga belum merasakan ketangguhan pasangan juara dunia Nathan Robertson/Gail Emms. Pasangan ini absen karena Robertson memilih konsentrasi ke kejuaraan Denmark Terbuka yang waktunya memang agak berdekatan dengan Jepang Terbuka.

Selain itu, karena ini penampilan perdana mereka sebagai pasangan, unsur kejutan juga banyak membantu mereka. Hampir semua ganda campuran terbaik dunia saat ini sudah kadung terbiasa dengan gaya permainan ulet Nova/Lilyana. Saya rasa, mereka cukup kaget menghadapi gaya permainan Flandy/Vita yang lebih cepat dan agresif.

Jangan lupa, saya kira tak sedikit juga lawan-lawan mereka yang mungkin sedikit meremehkan pasangan baru ini. Maklum, akhir-akhir ini, Flandy agak jeblok prestasinya saat berduet dengan Eng Hian maupun Sigit Budiarto di nomor ganda putra.

Vita juga tak pernah merasakan manisnya juara saat berpasangan dengan Devin Lahardi maupun Anggun Nugroho. Prestasi terbaik bersama Anggun hanya masuk semifinal Malaysia Terbuka 2006 yang berbintang empat. Berpasangan dengan Devin malah hanya bisa mencapai kuarter final Kejuaraan Asia dan Indonesia Terbuka 2005. Sekali menembus final tapi hanya turnamen bintang tiga Cina Taipei Terbuka 2005.



***


NAMUN, apapun dalihnya, sukses Flandy/Vita di Jepang Terbuka tetap layak disambut hangat. Rasanya tak keliru jika saya pernah berharap PB PBSI mau lebih serius memperhatikan nomor yang selama ini sering terkesan “dianaktirikan” ini.

Saya memang melihat ganda campuran sebagai nomor yang cukup ideal bagi para pemain Indonesia. Sebab nomor ini bisa mereduksi kelemahan kita di sektor putri, sebaliknya memaksimalkan potensi para pemain putra kita.

Kalau main di tunggal dan ganda putri nyaris mustahil untuk mengimbangi para pemain Cina, lain soal di ganda campuran. Sebab, secara tradisional, Indonesia selalu melahirkan para pemain putra yang punya kemampuan menguasai lapangan sangat baik. Tipe pemain seperti inilah yang biasanya kemudian berkembang pesat saat main di nomor ganda campuran.

Dalam sejarah bulu tangkis Indonesia, kita pernah mengenal sederet nama pemain putra yang berprestasi di nomor ganda campuran. Dari Christian Hadinata, Edi Hartono, Trikus Haryanto, Bambang Suprianto, hingga generasi terkini seperti Nova, Anggun, dan Flandy.

Main ganda campuran itu unik, teristimewa bagi pemain putranya. Lebih dari sekadar butuh smes kuat, kelincahan, dan daya jelajah lapangan yang luas, main ganda campuran juga butuh kecerdasan dan naluri yang kuat dalam menempatkan bola. Sebab, salah menempatkan bola –misalnya saat melepaskan servis atau mengirim lob— akan jadi bumerang yang membahayakan pertahanan sendiri.

Makanya, sosok pemain ganda campuran itu agak khas. Ia harus punya kombinasi kemampuan sebagai pemain tunggal sekaligus ganda putra. Makanya, sosok pemain ganda campuran yang sukses biasanya juga khas: smesnya mungkin tak terlalu dashyat, tapi kemampuan bertahan, variasi pukulan, dan penempatan bolanya sangat prima.

Mungkin karena kebiasaan bermain sejak kecil plus kultur budaya masyarakatnya, Indonesia sebetulnya punya banyak pemain yang memenuhi “kriteria” seperti itu. Sebagian masih bermain di ganda putra dan sebagian lagi pernah berkutat di tunggal namun kurang sukses. Sekadar menyebut nama, saya berani menyebut nama Luluk Hadiyanto, Hendra Setiawan, atau Tony Gunawan sebagai contoh pemain yang cukup potensial sekiranya mau menekuni nomor ganda campuran –secara serius ataupun sekadar “sambilan”.

Nah, di sinilah pentingnya peran jajaran pembina di lingkungan PB PBSI untuk lebih jeli mencermati potensi para atlet di Cipayung. Jika memang sukses sulit digapai di tunggal dan ganda putra –maupun putri, mengarahkan mereka ke nomor ganda campuran mungkin bisa jadi alternatif yang lebih prospektif. Tentu saja, tanpa mengorbankan pembinaan sektor tunggal dan ganda putranya itu sendiri. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, 17 Oktober 2006)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

sedikit membanggakan bahwa tim gada putra indonesia masuk ke babak semi final, ini masih menjaga peluang tradisi emas di olimpiade, dan yang lebih membanggakan lagi, marioa kristin juga masih menjaga peluang