Jumat, Agustus 22, 2008

“Tragedi Suryadi”, Titik Tolak Menuju Transparansi Dana APBD untuk Sepak Bola

KABAR mengagetkan datang dari Kediri, Jawa Timur, Kamis (21/8) lalu. Sekitar pukul 07.00 WIB, Bendahara Persik Kediri, Suryadi, ditemukan tergeletak tak sadarkan diri di mes timnya. Korban kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Syukurlah, nyawanya terselamatkan. Namun hingga sore hari korban belum dapat dimintai keterangan.

Hasil “olah TKP” pihak berwajib menunjukkan fakta mengejutkan. Di samping tubuh korban ditemukan barang bukti berupa cairan antinyamuk serta sisa muntahan di sprei. Dari temuan tersebut, muncul indikasi kuat bahwa korban minum racun.

Meski demikian, Polisi tak mau buru-buru memastikan penyebab kejadian di Jalan Diponegoro Nomor 7 –ada juga yang bilang kejadiannya di Kantor Badan Pengawas Kota Kediri di Jalan Ir Sutami— itu. Apalagi korban hingga sore harinya belum bisa dikonfirmasi.

Yang jelas, sebelum insiden itu, Suryadi baru saja dipanggil pihak Kejaksaan. Malam sebelumnya, korban juga sempat mengikuti rapat koordinasi membahas persoalan korupsi di Sekretariat Persik bersama Ketua Umum H.A. Maschut, Iwan Budianto, dan lain-lain.

Isu korupsi kini memang tengah jadi “bola panas” di “Tim Macan Putih”. Ketua Harian Persik, Antonius Rahman, sudah diperiksa Kejati Jatim. Tokoh penting Persik itu diperiksa terkait keberadaan dana sebesar Rp 4 miliar dari APBD Kota Kediri tahun 2008. Diduga dana Poltek tersebut sudah “salah jalan”, dialihkan ke kas Persik.

Sebagai orang yang tahu banyak permasalahan ini, Suryadi tampaknya jadi stres dan depresi. Apalagi dugaan penyimpangan dana itu saat ini sudah ditangani Kejati Jatim. Makanya, ia mencoba bunuh diri dengan menenggak racun serangga.

***

SEBAGAI sesama “insan sepak bola”, tentunya kita patut merasa prihatin terhadap Suryadi. Jika bukan karena beban persoalan yang kelewat berat, niscaya ia tak akan memilih jalan pintas itu. Apalagi Suryadi bukan orang baru di lingkungan sepak bola. Ia sudah hampir sepuluh tahun ikut membesarkan Persik sejak masih di Divisi Tiga.

Kenekatan Suryadi itu membuat kita bertanya-tanya. Mengapa ia harus takut berurusan dengan Kejati Jatim? Mengapa pula Suryadi yang juga menjabat Asisten Manajer Persik itu merasa tak ada pilihan lain kecuali bunuh diri?

Ini sungguh situasi yang tak mudah dipahami. Sebab, bagaimanapun, Suryadi hanya salah satu unsur dalam kepengurusan Persik. Apapun yang berkaitan dengan pengelolaan tim –termasuk urusan dana, mestinya jadi tanggung jawab bersama para pengurus. Terutama jajaran pengambil keputusan, seperti ketua umum dan manajer tim.

Tidak pada tempatnya Suryadi lari dari persoalan ini dan membiarkan masalahnya ikut terkubur. Akan lebih bijak jika ia berani menghadapi persoalan ini dan membeberkannya secara transparan –tanpa ditambah atau dikurangi.

Bukan apa-apa. Sudah lama anggaran tim eks Perserikatan dicurigai sebagai “harta karun” bagi segelintir orang yang mendapat kesempatan jadi pengelola tim. Sudah jumlahnya besar, pertanggungjawabannya sering tak jelas. Bahkan meninggalkan tunggakan pajak miliaran rupiah, seperti terjadi sekarang di PSIS Semarang.

Akibatnya, banyak daerah kini tak berani lagi mengucurkan dana untuk timnya. Apalagi setelah munculnya Permendagri No 13/2006 yang kemudian diubah dengan Permendagri No 59/2007.

Demi kemajuan sepak bola nasional, situasi gamang dan samar-samar ini harus segera dijernihkan. Suryadi bisa jadi “pionir” atau mungkin “martir” dalam hal ini. Itu tadi, dengan cara membeberkan secara gamblang sehingga masalahnya bisa dituntaskan dan jadi pembelajaran bagi semua pihak.

Sehingga nantinya kita boleh berharap tak ada lagi dana APBD yang diselewengkan atas nama sepak bola. Dan tak ada lagi tatap mata curiga dari Pemerintah maupun masyarakat terhadap keberadaan tim-tim sepak bola di daerahnya. Semoga saja, “tragedi Suryadi” bisa jadi titik tolak bagi transparansi dan akuntabilitas pemakaian dana APBD untuk sepak bola. *

1 komentar:

Unknown mengatakan...

salam olahraga bung kus, saya merasa simpati ada "orang bola" yang takut "kalah' padahal tim kalah udah biasa.kenapa takut bertanggunng jawab? semoga ada hikmah di balik tragedi ini....