Rabu, Agustus 06, 2008

Sony Belum Siap Terbebani

PEKAN lalu, sebelum berangkat ke Inggris untuk mengikuti turnamen bulu tangkis All England 2006, Sony Dwi Kuncoro menjadi incaran pers. Maklum, ia satu-satunya tunggal putra Indonesia di kejuaraan tertua itu. Yang bikin publik penasaran, seberapa jauh Sony bisa melangkah di All England tahun ini.

Kala itu, seperti biasa, pemuda asal Surabaya ini mencoba menanggapinya dengan kalem. Ia mengaku sadar betul bahwa dirinya sangat diharapkan bisa berprestasi. Kalau target menjadi juara dianggap kelewat tinggi, keinginan lolos ke semifinal ia rasakan masih masuk akal.

“Tapi saya tidak ingin beban itu menjadi penghalang. Sebaliknya, sebagai satu-satunya pemain di nomor tunggal, itu akan menjadi penambah motivasi saya,” ujar Sony, kala itu. “Tentu malu kalau saya pada babak awal langsung tumbang. Apalagi tidak ada pemain Indonesia lagi yang tampil di nomor tunggal.”

Entah apa yang dirasakan Sony sekarang setelah Rabu (18/1) lalu ternyata benar-benar tumbang di putaran pertama kejuaraan bintang empat itu. Di luar dugaan, Sony kalah mudah 5-15 dan 8-15 dari pemain Malaysia, Lee Tsuen Tseng.

Padahal, menurut perhitungan di atas kertas, Tsuen Tseng seharusnya bisa dilewati Sony. Kasubid Pelatnas Cipayung, Lius Pongoh, sempat meramalkan Sony bisa mencapai putaran ketiga dan bertemu salah satu andalan Cina, Bao Chunlai. Di titik ini, peluang Sony untuk lolos ke babak berikutnya 50:50.

Jika merujuk ambisi Sony sendiri melaju ke semifinal, artinya ia optimistis bisa melewati hadangan Chunlai. Setelah tiba di babak empat besar dan –kemungkinan besar— menghadapi Peter Gade, barulah Sony agak ragu bisa meneruskan langkahnya.

Namun rencana tinggal rencana. Sony ternyata tumbang begitu cepat. Jangankan menjungkalkan Chunlai yang tergolong trio tunggal putra terkuat Cina saat ini, bahkan melewati Tsuen Tseng pun ternyata Sony tak mampu.

***
KEGAGALAN Sony di All England kali ini sebenarnya bukan tanpa latar belakang. Kalau mau jujur, sepanjang tahun 2005 pun sebetulnya prestasi pemuda pendiam ini tak terlalu mengesankan.

Tahun lalu, praktis Sony hanya dapat mengoleksi dua gelar juara. Itu pun didapatnya dari turnamen yang bisa dibilang “kelas dua”, yakni Kejuaraan Asia dan SEA Games XXIII/Filipina. Tak mengherankan jika pada akhir tahun lalu peringkatnya melorot cukup jauh. Pada akhir 2003, Sony sempat nangkring di posisi 10 besar, tapi sekarang dia berada di peringkat 20-an dunia.

Keberhasilan di SEA Games XXIII pun tak sepenuhnya mulus. Ia memang juara di nomor perorangan tunggal putra. Namun, di nomor beregu, Sony gagal memotori “Tim Merah Putih” untuk mematahkan perlawanan Malaysia.

Ada satu fakta menarik di balik keberhasilan Sony menjuarai tunggal putra SEA Games lalu. Kala itu, ia datang ke Filipina bukan sebagai favorit. Sony hanya unggulan ketiga bersama Boonsak Ponsana (Thailand). Yang lebih difavoritkan justru duet Malaysia, Lee Chong Wei dan Muhd Hafiz Hashim. Maklum, Chong Wei menempati peringkat kedua IBF.

Di situlah Sony membuktikan kemampuan terbaiknya. Tanpa banyak gembar-gembor, ia melaju terus hingga ke partai puncak. Dan, di final, ia merebut emas setelah mengalahkan Simon Santoso 17-16 dan 15-3. Hal serupa terjadi pada Olimpiade Athena 2004. Saat itu, ketika namanya tak diperhitungkan, Sony malah melenggang hingga akhirnya merebut perunggu.

Fakta lain yang tak kalah menarik terlihat pada kejuaraan Indonesia Terbuka 2005, akhir September lalu. Kala itu, Sony juga sangat diharapkan merebut gelar tunggal putra yang sejak 1999 selalu diraih tuan rumah. Apalagi juara bertahan Taufik Hidayat sengaja “mengalah” kepada Simon di putaran ketiga.

Pada saat diharapkan seperti itu, kita bisa melihat betapa tak berkembangnya permainan Sony. Sempat merebut set pertama, ia kemudian kehilangan momentum dan menyerah kepada unggulan ketujuh Lee Hyun Il (6-15, 15-7, 15-7) pada semifinal.

Dari dua fakta ini, kita bisa memetik satu kesimpulan menarik tentang Sony. Arek Jawa Timur ini ternyata tipe pemain yang punya potensi berkembang bila tak merasa terbebani harapan atau bukan sebagai tulang punggung timnya. Sebaliknya, jika menjadi tumpuan harapan, ia cenderung tak bisa konsentrasi dan kemudian gagal menunjukkan performa terbaiknya.

Di All England ini, tampaknya, perasaan terbebani itu begitu menghantui Sony saat meladeni Tsuen Tseng. Makanya, Lius Pongoh pun sampai tak habis pikir melihat jeleknya penampilan Sony.

Saat ini, harus diakui, materi tunggal putra kita memang memprihatinkan. Ada Taufik yang prestasinya tinggi, tapi komitmennya sulit dipegang. Di bawahnya, ada Sony yang potensial tapi labil mental dan kepercayaan dirinya. Di bawahnya lagi, ada Simon yang masih sulit diharapkan prestasinya.

Dengan situasi seperti ini, suka-tak suka, kita jadi banyak berharap kepada Sony. Padahal, harapan besar justru jadi beban yang belum sanggup dipikul Sony. Dilematis, memang. Hanya Sony sendiri yang bisa mengatasi problem ini. ***

(Tulisan ini pernah dimuat di TopSkor, Januari 2006)

Tidak ada komentar: